Alex, laki-laki berpostur tinggi itu tengah memandanginya tanpa ekspresi yang jelas. Ia melihat Zia yang meringkuk diatas brankar. Gadis itu turut memandanginya, terlihat sisa airmata yang telah membasahi pipi tembam itu.
Ia pun berjalan mendekati. Tepat ketika berdiri dihadapan Zia yang masih sesegukkan, sebersit rasa bersalah mulai menghinggapi. "maaf" sesalnya lirih. Matanya bergerak untuk mengamati luka yang tidak begitu parah. Ada rasa khawatir berdatangan tanpa bisa ia hentikan.
"apa terlalu sakit?" tanyanya karena Zia yang mulai mengeluarkan airmata yang sempat mengering.
Sebelumnya, ia sempat mendengar perbincangan yang terjadi diantara Zia dan Erlan. Karena Tasya yang tengah menguping mencegahnya agar tidak masuk sehingga ia memilih berdiam diluar sembari menunggu semuanya kelar.
"k-kenapa lo peduli?" Zia berucap dengan gemetar. "gue terluka juga tidak ada sangkut pautnya sama lo"
Terdengar helaan napas. "gue minta maaf" ulangnya
Zia kembali membenamkan wajah dikedua lutut. Rasa sakit yang mendera membuatnya tak bisa menahan tangis ditambah lagi ketika melihat kehadiran laki-laki yang tidak ingin ia temui saat ini. Suara tangisan yang terus terdengar berusaha ia redam agar tak mencoreng image-nya sebagai gadis bar-bar yang berarti anti cengeng.
"gue susah payah ngelupain dia" ucapnya ditengah tangisan. "tapi dia seenaknya datang ketika sudah berhasil nyakitin gue" Zia kemudian mendongak. "sama seperti yang terjadi sekarang. Tapi bedanya...," ucapnya tertahan. "gue ngejar cowok yang selalu nyakitin gue!"
Alex hanya diam mendengarkan. Perlahan tangannya terulur untuk mengusap airmata yang terus meluncur bebas.
Laki-laki itu tersenyum. Zia melihatnya dengan jelas ketika tangan kekar itu sibuk dipermukaan wajahnya. Dengan jelas pula ia melihat lebam yang menganggu wajah tampan yang akhir-akhir ini sangat ia gemari untuk dipandang.
"tidak ada kata 'bersama' untuk kita" terangnya. Ia menjauhkan tangan lalu menegakkan tubuh yang semula condong kearah gadis itu.
"karna lo sudah punya pacar baru?" Tanya Zia dengan mata berkaca-kaca. Pagi tadi, ia melihat kebersamaannya bersama Darsha. Itulah yang membuat pikirannya melalang buana selama kegiatan belajar mengajar berlangsung. Ia terus memikirkan gadis berambut pirang dengan kulit putih pucat yang terlihat seperti memiliki hubungan lebih dari sekadar teman. Apalagi ketika ia melihatnya membawa mobil Alex, tebakannya seolah membenarkan semua apa yang ia saksikan.
Hening. Alex hanya mematung tanpa berniat memberi jawaban.
"benar, ya?" tanyanya nyaris tak terdengar. Tangannya yang gemetar beralih memukul dada bidang Alex dengan tangisan yang kian menjadi. Ia merasa bahwa ini bukanlah dirinya, tapi rasa sakit yang mendominasi cukup menghilangkan akal. Hatinya seolah teremas perih. Kenapa orang-orang yang ia temui selalu tidak punya hati?
"gue memang salah dari awal" Alex menahan tangan mungil itu yang terus membabi buta. Tak terlalu kuat, tapi karena luka yang sudah kian ada membuatnya meringis tertahan.
"semua memang pengkhianat!"
Alex memejamkan mata kemudian berkata "tidak dengan gue!"
"apa bedanya, Al? lo sama saja dengan orang-orang yang pernah gue temui" Zia berucap lirih dengan kepalan tangan yang lemah. "bahkan laki-laki yang benar-benar gue percaya ternyata pengkhianat. Papa, Erlan, dan sekarang lo. Semuanya hanya tahu cara nyakitin"
Alex smirk. "lantas apa yang lo mau gue lakukan sekarang?!"
Zia menurunkan pandangan ketika Alex dengan mudahnya terpancing amarah. "g-gue" tangisannya pecah sebelum ia melanjutkan kalimat yang sedari tadi ingin terucap. Airmata pun meluruh tanpa aba-aba. "gue hanya mau lo kembali" ia menutup wajah menggunakan kedua tangan karena tak ingin Alex menyaksikan bagaimana tersakitinya dia dengan semua ini.
"pengkhianat? Ck! Lo bodoh karna nganggap perasaan gue serius, Zia!"
Dring dring
Dering telepon yang menganggu berhasil menghentikan suasana yang menegang saat ini. Terpampang kembali nomor yang sama tadi pagi.
"lo beneran nantang gue, bangsat! Lo pikir gue hanya main-main setelah tahu lo nyakitin orang yang gue sayangi! Hati-hati saja" tawa mengejek terdengar nyaring. "Gue benar-benar kehilangan akal saat ini buat cari cara agar lo mati lebih cepat"
Tut tut
Ancaman saat ini terdengar lebih serius sehingga meningkatkan sedikit kewaspadaan dalam dirinya meski ia tidak gentar. Ia hanya tidak mau permusuhan yang tidak ia harapkan terjadi dan semakin berlanjut.
Ia menunduk. Embusan napas berat meluncur dari bibirnya. "sekali lagi, maaf"
Zia sudah lebih tenang ketika tak sengaja mendengar suara yang mengancam dari telepon Alex. Rasanya ia mengenal suara itu, tapi siapa?
"lo diancam sama s-siapa" Tanya Zia khawatir dengan sesegukkan. Tangannya langsung menggapai tangan Alex untuk memegangnya. Laki-laki itu tak menepisnya sama sekali.
"gue tahu ini tidak boleh gue lakukan" Alex menjeda. "tapi, ayo perbaiki hubungan yang telah retak. Itukan yang lo inginkan?"
Reflek, Zia menaikkan pandangan dengan tatapan tak percaya."apa lo masih mau manfaatin gue?" Tanyanya dengan suara tercekat. Tangan yang semula memegang tangan laki-laki dihadapannya segera ia lepas. Perasaannya campur aduk hingga mengangguk pun tak sanggup ia lakukan.
Senyuman terulas dibibir itu. "hanya mencoba bersikap lebih baik"
Hatinya mencelos sakit. Tapi, senyuman tipis tak mampu ia sembunyikan.
"Al..."
"pulang sekolah akan gue antar. Itu saja" pungkasnya. Ia meninggalkan ruang unit kesehatan sekolah tanpa menunggu Zia lagi untuk melanjutkan kalimat yang tertunda.
Tepat setelah Alex keluar, Tasya pun muncul.
"maaf Zi, gak bisa bantu lo" ia langsung menghambur memeluk Zia
"gue gak apa-apa sya. Gak usah lebay" ujarnya. Meski memaksa tersenyum, tetap saja airmata tak tahu diri mengalir dipipinya.
"tapi lo nangis" mata Tasya ikut memerah. "maaf disaat situasi buruk gue hanya bisa sembunyi, gue memang teman tak tahu diri"
"lo memang gak tahu diri dari dulu. gak usah ngasih tahu lagi" ujar Zia agar tangisan alay ini tak berlanjut.
Tasya tertawa. "yakin saja, Alex bakalan luluh dan sepenuh hati nerima lo" Zia hanya mengangguk mendengarnya.
Tasya kembali menangis meski setitik airmata belum berhasil keluar. "pulang sekolah kesalon ya, Zi? Gue perlu ngubah style rambut gue dengan gaya yang lagi ngetrend"
"lo memang gak tahu diri sama gak tahu situasi" cibirnya kemudian hingga gelak tawa pun menggema.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALEXANDER
Novela Juvenil"Ada beberapa hal yang tidak bisa di perbaiki. Waktu yang terbuang sia-sia dan kepercayaan yang telah rusak" ~Lorezia~ *** Cerita murni dari pikiran penulis, jika ada kesamaan nama,tempat dan peristiwa Itu ketidaksengajaan dan bukan hasil copas kar...