Pertemuan

68 11 4
                                    

Sudah setengah bulan atau lima belas hari Anatasa Zorka menetap disini, sebuah panti asuhan yang dikelilingi oleh gunung-gunung gersang serta semak belukar. Dia tidak yakin dimana dirinya berada, namun yang jelas, ini masih di Amerika Serikat. Badan Perlindungan Anak tidak akan membawanya jauh-jauh, bagaimanapun, dia hanyalah anak terlantar, mereka tak mau ambil pusing.

Anatasa duduk dibangku halaman ketedral yang tepat berada disisi rumah pengasingan anak-anak. Bagian dimana siapapun yang keluar dari tempat berdoa itu akan menyaksikan matahari terbit dan tenggelam. Jingga yang tecipta dari sang surya menghangatkan hati Anatasa, namun matanya selalu mengungkapkan kedinginan.

Selama berhari-hari, dia menjauh dari anak-anak seusianya, tidak mendengarkan ibu panti, berusaha menyendiri, membentuk semesta dimana hanya dirinya berada. Dia terbiasa seperti ini, ketika ibunya pergi untuk mengais dollar, kegelapan dan kesepian selalu menemani, dia tidak membutuhkan orang lain, pikirnya.

Ketika menyaksikan bagaimana anak lain masih tetap ceria meski tinggal ditempat pembuangan ini, dia merasa lebih kacau. Apakah hanya dirinya yang menyadari bahwa dunia tidak seindah dalam dongeng. Apakah Cuma dia yang tahu, kalau penjaga panti asuhan ini adalah seorang pria cabul yang sering mengusap bokong anak gadis disini. Lalu, apakah hanya Anatasa seorang yang selalu menangkap bibi Yasmin, wanita tua pengelola dapur sering memasukkan air kotor kedalam sayuran ketika air bersih tidak mengalir dari keran. Bahkan dua hari yang lalu, dia melihat belatung pada sayuran brokoli dan bayam. Mentang-mentang kami hanya anak bodoh dan miskin, mereka memperlakukan kami seperti binatang, Anatasa berkata dalam hati.

Dia tidak tidur dengan baik selama berada disini, entah karena kasurnya yang lepek dan bantal bau apek, atau mungkin karena memori tentang Renata Zorka yang mendepaknya kesini. Nafsu makannya berkurang begitu ingat proses memasak Bibi Yasmin, serta dia tidak dapat bermain dengan anak lain karena sifat pemalu dan pendiamnya.

Anatasa Zorka hanyalah rumput liar dipekarangan rumah yang bobrok, sebagus apapun dirinya dibentuk, tetap tidak mengubah fakta bahwa dia dilahirkan karena keidaksengajaan dan tanpa afeksi apapun.

Dia nyaman sendirian, hening, namun dalam posisi ini, korneanya tak pernah kehilangan focus. Nyatanya, kemampuan menelitinya membuat Tuhan memperlihatkan beberapa hal yang tak disadari orang lain. Seperti hari ini, dia menyaksikan tiga bocah lelaki yang sepertinya dua tahun lebih tua darinya sedang mengendap-ngendap sambil memegang ketapel masing-masing.

Mereka berjalan dan melewati Anatasa begitu saja, seolah gadis kecil berkuncir miring rendah itu tidak berwujud dan berarti. Tetapi, salah satu dari mereka menoleh, kekhawatiran tercetak di romannya.

"Biarkan saja, dia bisu dan tuli," ucap bocah kedua, dengan menekan kata terakhir.

Ya benar, mereka semua menganggapnya bisu dan tuli, saking pendiam dan tak pedulinya dengan sekitar, Anatasa dijuluki gadis manis yang bisu dan tuli.

Ketiganya pergi melangkah kebelakang gereja, menghilang dalam sekejap. Anatasa menyadari bahwa anak-anak nakal itu mungkin sedang merencanakan sesuatu disana. ketiganya merupakan bocah paling tua disini. Mereka sering mengganggu dan berbuat onar, seperti penguasa dan raja dinegeri tirani. Satu hal yang pasti adalah, mereka tidak menganggu anak-anak lemah, karena terasa membosankan. Anatasa sendiri merupakan kandidat yang dianggap paling lemah dan menyedihkan menurut para pengacau itu.

Sudah bisu, tuli, lemah lagi. tidak menantang sama sekali.

Anatasa merenung, dia masih menapaki pantatnya dikursi panjang, bintang paling besar digalaksi bima sakti mulai menguap kantuk, langit barat segera membuka tangan untuk mendekap dan menidurkannya. Diantara fenomena senja yang menakjubkan itu, dorongan untuk ikut campur dalam urusan orang lain menghimpit dadanya, bongkahan keibaan muncul melalui netranya.

Failed PlanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang