Liz tuh kadang suka binggung. Kok bisa ya dia kenal, sahabatan dan jadi tetangganya si Jungwon. Kaya gak nyangka sama jalan hidupnya sendiri, makin dipikir makin Liz mumet.
Tapi Liz juga gak nyangka kalau ternyata perasaannya ikut campur dalam persahabatannya sama Jungwon. Liz kira dia juga bakal bersikpa murni kaya Jungwon yang nganggap dia saudara biasa.
Ternyata semua itu salah dan berakhir Liz jatuh hati sama sahabatnya itu. Gak tau kapan, tapi Liz udah yakin dan nerima kalau dia beneran jatuh hati sama Jeon Jungwon.
Dan si Jungwon nempel ke Liz terus. Gak tau kalau jantung Liz akhir-akhir suka berdetak dua kali lipat.
"Kok diem aja sih, Liz?"
Malam ini dibalkon kamarnya Jungwon, Liz mangku kepala Jungwon dipahanya. Liz duduk nyender ditembok.
"Ya emang aku harus ngapain, won?" tanya balik Liz.
"Biasanya juga elus-elus rambut aku atau gak ceritain sesuatu."
Liz buang nafas pelan. Mau cerita-cerita sama Jungwon tapi dia lagi males bicara. Mau elus-elus rambut Jungwon kaya biasa nanti efeknya malah ke dia, Liz yang ambyar.
"Diem-dieman aja ya. Lagi males aku."
Jungwon natap Liz dari bawah, sedangkan Liz mandang lurus ke depan. Walau lubang hidung Liz kelihatan jelas dari bawah sini tapi bagi Jungwon itu masih cantik, bahkan menambah kesan aesthetik dalam figur Liz.
Harusnya malam ini Liz bantuin bunda Yerin lipat baju dirumah, tapi tadi Jungwon datang dan nyulik Liz. Berakhir Liz duduk lesehan dibalkon kamar Jungwon.
"Kamu takut sama aku?" tanya Jungwon pelan.
Liz yang awalnya gak lihat muka Jungwon alihin pandangannya kebawah dan sekarang mereka berdua tatap-tatapan.
"Takut?"
"Iya... Soal tadi pagi!"
Masalah tadi pagi sebenernya udah selesai. Liz udah maafin dan Jungwon udah lupain, tapi bagi Jungwon ada yang sedikit berbeda sama Liz. Gadisnya ini agak pendiam dan kaya sering ngelamun.
Dengan menggeleng Liz nyubit hidung Jungwon. "Enggak. Sama-sama makan nasi ngapain juga takut."
"Kalo kamu makan paku, baru aku takut." tambah Liz diiringi tawa kecilnya.
Lihat Liz yang ketawa sampek dimple mininya kelihatan Jungwon jadi lega. Dalam hatinya juga bahagia, reflek dia senyum. Adem banget lihat tawa anggun Liz.
"Kamu cantik malam ini."
Liz yang lagi ketawa reflek berhenti, sama seperti jantungnya yang serasa berhenti berdetak.
Ini bukan yang pertama kalinya Jungwon bilang Liz cantik, tapi gak tau kali ini kenapa kesannya beda.
"Kamu juga ganteng," ucap Liz tenang, walau agak terasa canggung baginya.
"Iyalah, tau sendiri kan banyak yang antri buat jadi pacar aku."
Berkat perkataan Jungwon barusan, rasa aneh dalam diri Liz perlahan menghilang dan digantikan rasa ini menguliti muka tengil Jungwon.
"Banyak yang kamu tolak dan kamu buat sakit hati, iya." skakmat, Jungwon ketawa ngakak karena komuk wajah Liz yang kelihatan sebel.
"Biarin. Lagian juga aku udah punya kamu sahabat iya, pacaran kayanya juga iya."
Diakhir kata Jungwon tertawa, beda dengan Liz yang kembali diam.
"Tapi cocoknya kamu jadi adek aku, deh." gak ada sahutan karena Liz udah beralih mandang yang lain.
Jungwon juga gak terlalu mempermasalahkan. Karena kadang emang Liz suka gak nyaut setiap diajak ngobrol.
"Jung, aku mau tanya."
"Iya apa?"
Dengan lamat Liz natap tepat dimata Jungwon. Biasanya dia bakal bisa natap mata itu, tapi kenapa kali ini enggak. Jadi Liz beralih menatap hidung mancung Jungwon.
"Bang jeno kan punya temen cewek. Tapi temen ceweknya cuma nganggap dia temen, sedangkan bang Jeno ada rasa lebih sama cewek itu." dalam hati Liz meminta maaf sama abangnya.
Maaf, karena Liz terpaksa menggunakan Jeno sebagai tokoh dalam dirinya.
"Temen? Mantan kali."
"Ih, bukan. Temen, Won bukan mantan," ucap Liz.
Jungwon mengganguk walau kurang percaya. Bang Jeno punya temen cewek? Amazing bagi Jungwon.
"Menurut kamu gimana? Apa ada yang salah." ulang Liz.
"Kalau menurut aku, seharusnya dalam hal pertemanan jangan pernah melibatkan perasaan. Apalagi kamu bilang tadi temennya gak punya rasa kaya bang Jeno, nah itu salah bang Jeno. Harusnya dia jangan baper." Jungwon berucap dengan nada serius.
"Jangan baper, ya!" lirih Liz.
"Yap, jangan baper. Karena gak semua perhatian itu menjerumus dalam hal cinta. Bisa aja perhatian itu tercipta karena ada rasa sayang sebagai sahabat atau sebagai saudara. Kaya aku ke kamu, aku sayang kamu kaya kamu adek aku."
Liz diam, otaknya berkelana kemana-mana. Jadi pada intinya dia salah karena menaruh hati kepada cowok dipangkuannya ini.
"Tapi temennya itu nyebelin. Dia suka ngasih perhatian berlebihan dan selalu bilang kalau bang Jeno itu pacarnya, tapi pas diajak pacaran malah katanya bang Jeno dianggap kakak sendiri."
Bagi Liz dia tak sepenuhnya salah karena menaruh rasa terhadap tetangganya ini. Jungwon juga salah, karena selalu mengistimewakan dia dan selalu memberi perhatian melebihi rasa sabahat menurut Liz.
"Kaya yang aku bilang diawal. Seharusnya jangan baper dan jangan terlalu percaya diri, siapa tau itu cuma bercandaan doang. Kalau memang ada rasa cukup simpan sendiri karena belum tentu kan dia juga suka. Kadang kalau diungkapin bisa merusak persahabatan loh, Liz." Jungwon kembali serius. Sepertinya mereka akan berdebat.
"Iya, yang salah bang Jeno," ucap Liz akhirnya.
"Iya, salah aku. Selama ini semuanya salah aku."
Dari sini dia mengambil kesimpulan. Bahwa Jungwon benar-benar menggangapnya sahabat, tetangga dan adik. Yang terpenting Liz tidak boleh terbawa perasaan terhadap sikap Jungwon kepadanya.
Dan rasa ini biarkan Liz simpan seperti petuah Jungwon.
Liz menghempuskan nafas dan kembali menatap lurus kedepan, ingin menenangkan hati dan pikirannya. Namun, perkataan Jungwon membuatnya panik dan ingin menanggis.
"Kamu gak akan kaya beng Jeno kan, Liz?"
--------------------------
Bagaimana bestie, sudah lama menunggu cerita saya yang tidak jelas ini?????
Mohon dimaafkan saja, karena mengembalikan mood ngetik saya sama seperti mengembalikan uang pinjaman. SUSAH!
Selamat dinikmati, para ayangku 😙❤❤❤❤❤❤
KAMU SEDANG MEMBACA
FAMILY-Zone [End]
Fiksi RemajaLiz dan Jungwon itu tetangga, satu sekolah dan satu kelas juga. Jungwon udah anggap Liz yang sahabatnya dari jaman bayik sampek remaja itu bagaikan saudara sendiri. "Kenalin, ini Liz tetangga sekaligus saudara gue." "Oh... cuma saudara, iya saudar...