Red Flag ; 19

24.6K 2K 84
                                    

Anyway Enjoy!

•••

Mike terdiam begitu saja. Tak lama setelah Bu Ias datang dengan baskom dan handuk kecil, Mama juga datang membawa kotak P3K, satu-persatu kalimat pertanyan mulai dikeluarkan tapi Mike membungkam mulutnya. Raut wajahnya benar-benar dingin. Aku tidak bisa membantu apa-apa karena semua orang sudah mendekatinya, dari tempatku berdiri, dapat kulihat Mike menatapku sebentar. Hembusan napasnya terdengar dalam.

Cukup lama, aku melihatnya berpikir keras. "Dia ada di Mobil."

Satu kalimat pendek itu berhasil membuatku menoleh, begitu juga dengan Mama yang tadinya mengelap wajah Mike.

"Siapa?" tanya Mama.

Aku tidak menunggu jawaban itu, kakiku dengan lugasnya langsung berjalan cepat keluar. Kenapa? Aku juga tidak tau, melihat langsung terasa lebih nyaman daripada, aku harus bergulat dengan segala pemikiranku.

Aku tau, itu pasti Jeffrey entah kenapa hatiku yakin akan hal itu.

Mungkin karena terlalu cepat berjalan Papa memanggilku dengan khawatir begitu aku pergi.

"Pelan-pelan Gi!"

Mobil yang dinaiki Mike tadi masih ada di depan rumah kami, sepertinya taksi karena aku lihat Mike membawa mobil Oma tadi pagi. Sementara yang di depan sana, adalah jenis mobil yang berbeda. Aku bergegas berjalan keluar. Dari kursi depan dapat kulihat supir yang sedang menolehkan tubuhnya kebelang. Lalu ada bayangan pria disana, ya tuhan itu adalah Jeffrey. Entah sejak kapan, air mataku mengalir dengan deras. Sungguh, meski Jeffrey memiliki tubuh sebesar itu tapi Mike juga tidak kalah jauh. Aku takut Jeffrey mati mengingat darah yang ada di seluruh tubuh Mike bukanlah karena lukanya sendiri. Bercakan itu terlalu banyak.

Begitu membuka pintu, aku melihat Jeffrey bersandar, benar saja. Wajahnya penuh luka, pakaian kantornya sudah tidak berbentuk apapun lagi. Supir yang ada di dalam mobil juga terlihat panik.

"Tolong Mbak, dikeluarkan. Ini saya baru bersihkan darahnya."

Ada banyak tisu di sebelah kaki Jeffrey. Banyak, penuh dengan darah. Sementara pria itu terdiam, seperti orang pingsan. Tanganku langsung saja meraih Jeffrey. Menepuk ringan bagian pipinya agar pria itu tersadar.

"Jeff... Jeffrey." masih dengan suara isak tangisku, aku mencoba membangunkannya.

Dua menit setelah melakukan itu, Jeffrey meringis. Tangannya menggenggam tanganku yang berada di atas pipinya. Aku menangis. Sial. Aku menangis lagi.

Genggaman Jeffrey erat. Disaat seperti inipun dia masih mencoba untuk mencium tanganku, meski wajahnya penuh ringisan. "Kenapa kamu gak mati aja!"

Jeffrey tersenyum, senyum menyebalkan. Aku tau luka yang ada di pinggiran bibirnya lebih dari sekedar lebam, "Ssshh... ahh." ringisnya lagi.

Pada akhirnya dia mendekapku, meski dengan susah pajah.

"Kalau aku mati, siapa yang nanti jadi ayahnya baby?"

Sial. Tadi, aku benar-benar takut sekali. Tapi merasakannya masih bisa bernapas dengan baik, juga membuatku kesal. Tanpa sadar tanganku kencengram bahu Jeffrey dengan erat. Yang bahkan baru kusadari setelah pria itu memindahkannya. Ringisan sakitnya baru terdengar setelah itu.

"Disana ada luka."

Aku mengangguk, kami masih tenggelam bersama jika saja bukan supir tadi dan juga papa menghampiriku. Membantu Jeffrey agar bisa mengeluarkan tubuhnya. Meski susah payah. Pria itu ternyata masih bisa berdiri dengan baik. Dengan bantuan papa, dia dinaikkan ke lantai atas, di tempat kamar tidurku. Mama dan Oma masih mengurus Mike, membuatku terpaksa, ikut membersihkan luka Jeffrey dengan bantuan Bu Ias.

"Kenapa sampe luka-luka atuh Pak."

Aku juga tidak bisa membayangkan apa yang mereka berdua lakukan. Dan kenapa? Maksudku, mereka berdua adalah pria dewasa, saling memukul satu sama lain bukanlah hal yang dilakukan oleh orang dewasa.

"Kangen Bi. Saya pas kecil seringnya berantem sama buku." saat Bu Ias mengelap bagian perut Jeffrey, pria itu terbatuk. "Sekarang pengen sama temen dulu, mumpung kakaknya Giandra juga." jawabnya enteng.

Tatapan mata Jeffrey tak pernah terlepas sedetikpun dariku. Jeffrey bukan orang yang luwes bercanda, Bu Ias tertawa saja saat pria itu berbicara, padahal nada bicaranya datar. Tidak ada letak kelucuannya sama sekali.

Dibanding membantunya membersihkan diri, aku lebih cocok disebut sebagai mengawasi. Dari tadi hanya Bu Ias yang membersihkan Jeffrey menggunakan air dan alkohol, sama seperti Mike tadi. Sementara aku terduduk di sofa panjang yang ada di sudut ruangan. Melihatnya. Setelah tadi, kami berpelukan. Aku tidak ingin Jeffrey salah paham.

"Kenapa jauh-jauh? Takut?"

Aku diam saja, pria itu bicara sendiri, terkekeh sendiri. Mungkin karena benar-benar sakit, Jeffrey sama sekali tidak bergerak setelah selesai dibersihkan, dia memilih merebahkan tubuhnya dan memejam. Tak lama Bu Ias datang dengan kotak obat. Tadi masih dipakai Mike, jadi kami garus bergantian. Disini stok peralatan hanya satu jadi harus mengantri dengan baik, tidak seperti dirumahnya yang melimpah.

"Ini non, Bibi mau masak dulu, udah mau sore."

Aku tidak bisa menahan Bu Ias lebih lama lagi, Oma dan Opa butuh makanan khusus mereka. Lagipula, aku tingga meneteskan obat merah saja karena Bu Ias sudah menggunakan antiseptik tadi.

Cukup lama aku hanya memandanginya dari sofa. Tidur Jeffrey lelap. Napasnya juga teratur dengan baik. Aku memberanikan diri untuk mendekat. Beruntung ranjang yang ada di sini lumayan tinggi, jadi aku tidak perlu terlalu membungkukkan badanku. Beberapa wajah Jeffrey sudah kuisi, tapi karena kesusahan saat akan meneteskan bagian pipi kanannya, pria itu berbalik sendiri. Memerengkan wajahnya. Dia tersenyum menatap perutku. Terlihat dari uratan pipinya yang tertarik.

Hembusan napasnya terasa dekat sekali dari depan perutku. Aku memakai gaun lama milik Mama saat mengandungku. Karena lupa memebeli pakaian, aku jadi terpaksa memakai miliknya. Ada kancing di bagian depannya. Tapi karena perutku yang membesar beberapa kancing bawahnya tidak bisa kupasang. Tidak terlalu terbuka tapi karena tadi sempat berjalan cepat, mungkin beberapa kancing menjadi terbuka lagi.

"Anak Papa."

Wajah Jeffrey maju untuk mengecupnya. Aku reflek langsung berdiri tegap. "Jangan cium aku."

"Aku kan nyium baby."

"Aku serius Jeff."

"Oke, sorry mommy. Ini yang sebelah sini belum." Jeffrey sedikit membalik tubuhnya, ada luka juga di rahang kirinya. Aku sampai bingung, tidak ada bagian yang baik-baik saja. Jika ada Ibu mertuaku disini, aku yakin dia juga akan menjerit dan memanggil dokter langsung. Sama seperti Mama tadi.

Dalam wajah yang sudah tidak menatapku lagi Jeffrey bergumam.

"Bilang sama Baby, aku kangen dia." bisiknya.

Aku juga bergumam seadanya. Tidak ingin melanjutkan pembicaraan lebih jauh. Setelah selesai aku berniat untuk keluar, tapi pria itu meminta beberapa es batu untuk mengompres bagian yang membiru. Meminta makan dan minum juga. Bukan meminta lebih tepatnya tapi menyuruh, nada bicaranya penuh perintah bukan pertolongan. Rasanya ingin kukembalikan ke mobil tadi saja, agar dia bisa mengurus dirinya sendiri.

•••

Jujur tadi aku udah tidur. Tapi kebangun gara-gara inget harus double update. Ini bikinya gaada sejam, maaf ya kalo banyak typo.

Ternyata aku juga baru sadar? Red Flag gak punya hari tetap buat Update padahal udah hampir masuk Chapter puluhan 🤓🤓🤓

Enaknya Update hari apa?

⚜️⚜️⚜️
Post : Minggu, 19 Juni 2022

Red Flag || COMPLETE ||Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang