Red Flag ; 13

22.9K 1.9K 40
                                    

Anyway Enjoy!

•••

Selama sepersekian detik, aku menatap Melanie tanpa suara. Bagaimana aku bisa hamil? Aku juga bertanya pada diriku sendiri, bagaimana aku bisa hamil?

Bukan, maksudku. Kami menggunakan pengaman, tentu saja. Aku bahkan tidak pernah lupa memakan obat kontrasepsi, pencegah kehamilan. Aku dan Jeffrey, di tahun pertama pernikahan kami, memang sama-sama berencana untuk tidak memiliki anak terlebih dahulu. Seharusnya jika aku hamil, aku harus berhenti meminum obatnya, tapi aku tidak pernah melewatkan obat itu.

Kecuali karena obat itu berbeda...

Yaa... Obat itu yang berbeda. Harusnya aku sudah sadar sejak dulu, sejak Jeffrey tiba-tiba saja mengganti tablet obat yang biasa kuminum dengan sebuah tabung kecil. Aku harusnya sudah sadar.

"Ngang ngong, ngang ngong. Lo diajak ngomong kaya wawancara kerja. Berpikir keras mulu. Ditanyain kok bisa hamil, malah menghayal."

"Gatau lah, gila aja. Masa harus jelasin lagi, gue kan udah nikah." masih mencoba untuk tenang dalam pikiran kalutku, aku tetap menjawab pembicaran Melanie.

"Jiiih sombong amat, ni elo ngejekin gue gitu, baru belum nikah?!"

"Bukan gitu Mell."

Segera setelah itu, Bu Tuti membawakan minuman dan makanan yang diminta Melanie, ada jus buah untukku juga yang dibuatkan Bu Tuti.

"Btw Pak Bos mana?"

"Jeffrey?"

"Hooh, bilangnya libur kemarin aja, ini udah siang bolong belum nyampe kantor juga."

Aku menatap Bu Tuti yang masih berdiri di dekat kami. "Jeffrey kemana Bu?"

"Anu-u gini Non, Bapak cuma pamit tadi pagi, katanya sih kerja. Bisa-bisa gak pulang malam ini. Cu-cuma gitu Non."

"Waittt Wait. Ini kenapa jadi horor suasananya. Lo lagi marahan sama Jeff?"

"Engga."

"Emang kalo bumil itu beneran sensitif banget ya hahaha." Tangan Melanie menepuk lenganku. "Suami lo kerja kali, salah ngomong doang gue hehe." bukannya menjadi tenang, perkataan Melanie malah membuatku semakin kesal.

Aku tidak bodoh, saat tau kalau Melanie hanya tertawa yang dibuat buat. Jangan Bercanda, kami berteman sudah empat tahun lebih. Bahkan dengan mata tertutup pun, aku tau kalau gadis di depanku ini berbohong.

Melanie langsung merubah raut wajahnya begitu melihatku. "Iiih maaf Gi, gue keceplosan. Macet kali ah, mobil laki lo di jalan. Bukannya gak dateng. Gue tadi ke kantor sebentar banget soalnya. Cuma mau kasi ucapan selamat ke Jeff sambil ijin libur."

"Gue gakpapa, lebay banget. Hari gini, curiga-curigaan." Rasanya jika bersama Melanie memang seperti ini, sedikit bebas dan menyenangkan. Aku seperti terlempar ke masa kuliah. Saat belum seperti sekarang, yang seperti remaja labil.

"Anjay, gitu dong. Eh gimana liburan lo? Jeff gaada bilang sih, cuman lo sempet pulang ke Singapura kan?" Sambil memakan makanannya, Melanie bicara padaku. "Gue sebagai ipar yang baik, tau banget loh kegiatan Anda."

Tapi Melanie tidak sampai tau kalau aku mengajukan perceraian.

"Mumpung mau weekend, beli perlengkapan bayi mau gak?"

Tidak. Itulah jawabanku waktu itu, hariku berubah menjadi buruk. Kami akhirnya hanya makan bersama sambil bercerita, sempat menelepon ibu mertuaku juga. Wanita cantik, yang meskipun umurnya sudah lebih dari 50 tahun itu terlihat sangat tulus menyayangiku. Ibunya Jeffrey mengucapkan selamat untukku, sampai sekarang aku tidak menyaka bahwa wanita paruh baya yang dulu merupakan ibu sahabatku kini sudah menjadi ibu mertuaku juga.

"Gue pulang yaa..." harusnya itu merupakan sapaan Melanie sebelum menaiki mobil, tapi wanita itu malah mendekat selangkah kearahku.

"Tau gak, bestinya Jeff mau cerai. Gue gak habis pikir sih, padahal selama ini harmonis banget. Mana suaminya artis papan atas lagi, makin menjadi-jadi aja sekarang beritanya."

"Diana?"

"Iyalah, emang siapa lagi sohib suami lo?"

"Yang ngurus kasusnya Jeffrey?"

"Engga kayaknya, kalo yang ngurus Jeffrey, itu kuntilanak udah keliaran sana sini di kantor. Tapi selama ini aman sih, bau-baunya belum gue deteks- " belum selesai kalimat yang dikeluarkan Melanie, ponsel yang ada di tangannya berdering, menghapus fokus kami berdua. "Ehh ini, suami Lo nelepon gue."

Aku membiarkan Melanie berbicara dan memberikan dia ruang dengan menjauhinya. Tapi Melanie malah menyusulku, bahkan memegang ponselnya diantara tubuh kami. Dia juga mengeraskan suara Jeffrey hingga aku bisa mendengarnya.

"Hallo, Mel?"

"Jeff, tebak gue ada di mana plus sama siapa??" wajah sumbringan Melanie tercetak sangat jelas.

"Please jangan bercanda, ini masalah serius."

"Hah??"

"Udah denger kasus perceraian Diana kan? Gue tugasin, kasusnya Lo yang ambil. Prepare dari sekarang, dua hari lagi harus udah siap."

"Waiiit pelan-pelan dong."

"Atau kalo ngak, ambil di laci meja gue yang paling bawah. Disana data Diana udah lengkap, lo tinggal pelajarin kasusnya. Sisanya gue yang atur."

"O-ooke. Tapi ini kok mendadak banget."

"Soalnya peting. Lebih penting dari urusan Lo sekarang."

Lalu Jeffrey memutuskan sambungannya. Aku berakhir saling menatap dengan Melanie. "Jih, nanya dulu kek." gerutunya.

Baru mendengar sahutan Jeffrey yang seperti itu saja, hatiku rasanya sakit sekali. Aku memang bukan yang sepenting itu untuknya. Benar. Aku tidak penting. Memangnya siapa aku? Aku bukan sesuatu hal berharga yang harus dipertahankan. Bagi Jeffrey, aku memang tidak penting.

"Taik, baru aja gue wujud syukur, kenapa sekarang jadi gue yang ngurus kasusnya."

Yang kutahu, bagi Melanie, Diana adalah perebut keluarganya. Wanita cantik yang sudah berteman dengan Jeffrey sejak kecil selalu merebut perhatian di sekelilingnya, termasuk keluarga Melanie. Bukannya aku menjelekkannya tapi, aku sendiri juga memang tertarik untuk memperhatikannya.

"Diana kenapa cerai?"

"Gatau dah. Denger-denger ada KDRT, mana hamil lagi si kunti. Makin menjadi aja gosipnya."

Aku menunduk, menatap perutku. Aahh hamil. Dia ternyata juga hamil. Pantas saja.

•••

Semoga update selanjutnya bisa lebih panjang dari ini🤣🤣

⚜️⚜️⚜️
Post : Minggu, 14 Mei 2022

Red Flag || COMPLETE ||Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang