Red Flag ; 09

26.4K 2K 54
                                    

Anyway Enjoy!

•••

Berbanding terbalik dengan wajah Dimas, aku pucat pasi. Tidak. Jeffrey tidak boleh tau keberadaan Dimas. Setidaknya untuk saat ini tidak boleh. Akan sangat berbahaya jika Jeffrey mengeluarkan emosi, mereka berdua bisa saling membunuh dalam hitungan detik. Maka dari itu, aku tidak akan mengambil keputusan bodoh dengan sengaja mempertemukan mereka berdua dalam keadaan seperti ini.

Tapi aku sendiri juga bingung, apa yang harus kulakukan agar Jeffrey dan juga Dimas tidak bertemu untuk saat ini.

"Itu kamar tamu, kosong kan?" seakan bisa menebak isi pikiranku, Dimas menunjuk salah satu kamar dengan dagunya. Aku bernafas lega untuk sepersekian detik.

"Kunci dari dalem. Aku coba mengalihkan perhatian Jeffrey, nanti kamu cepet-cepet keluar." perintahku langsung pada Dimas, sekaligus mendorongnya untuk cepat berdiri karena gedoran pintu dan juga segala ancaman Jeffrey yang terdengar semakin keras.

Sedikit mengatur nafas, aku berdiri tepat di depan pintu. Membuka sandi apartemenku, belum beberapa detik pintu itu terbebas dari bunyi terakhir sandi yang kumasukkan. Jeffrey langsung mendorong keras pintu geser itu. Menampilkan wajah bengisnya yang memerah, menahan emosi. Jika pintu itu berbahan seperti kaca, aku jamin sudah pecah berkeping-keping.

"Pulang."

Nada dari perintah itu benar-benar menakutkan, bagaimana geraman Jeffrey menampilkan rahangnya yang menekan keras. Menahan amarah.

"Gak." aku hendak menutup pintu kembali. Tapi tangan besar Jeffrey menahannya. Menekannya kuat hingga menghasilkan bunyi yang lumayan keras. "Pergi dari sini Jeff! Jangan paksa aku."

Jeffrey melonggarkan dasi yang dipakainya. Aku juga baru sadar Jeffrey sepertinya belum selesai bekerja karena seluruh pakaiannya masih terbalut rapi. Tidak memperdulikan perkataanku Jeffrey memasuki apartemenku lebih dalam. Melempar tas kantornya ke sofa, setelah itu pergi menuju dapur yang ada di sisi kanan, bersebelahan dengan ruang tamu. Sama sekali tidak menganggapku ada. Apa-apaan maksudnya?!

Ternyata Jeffrey mengambil beberapa buah yang ada di kulkas setelah beberapakali membuka lemari kaca. "Kamu gak masak?"

Aku malas menjawab. Tanpa menghiraukannya, aku berjalan melewati dapur menuju kamarku di lantai atas. Tapi belum sampai langkahku di undakan pertama tangga. Jeffrey mencekal sebelah tanganku. "Aku tanya kamu Giandra, kamu gak masak?" pertanyaan itu mendesak dan memaksa. Aku memutar mataku, pertanyaannya seolah harus dijawab seperti pertanyaan yang sangat penting.

Dari kemarin malam, sebenarnya aku memuntahkan seluruh isi perutku. Tidurku tidak nyenyak, tidak ada satu pun yang bisa kumakan kecuali jus buah yang biasa kuminum di pagi hari tapi itupun berakhir kumuntahkan juga.

"Wajah kamu pucat, kamu sakit?"

Aku menahan tawaku, lucu. Setelah tadi berteriak tidak jelas, lelaki ini berubah sepenuhnya dengan nada lembutnya yang memuakkan. Disaat seperti ini, aku tiba-tiba saja ingin menamparnya.

Plak!

Aku melakukannya, menampar sebelah pipinya. Jeffrey juga kelihatannya terkejut, tubuhnya sedikit tersentak. Menatapku dengan penuh kebingungan.

"Pergi dari sini Jeff! Aku gak bakalan mau pula--ngg." aku meraup jas Jeffrey, takut terjatuh saat bibirnya menciumku hingga membuat aku hampir terjatuh ke belakang. Satu tangan Jeffrey menyangga pinggang dan kepalaku, menciumku semakin dalam sementara aku masih sangat terkejut dengan keadaan ini. Untungnya di sela-sela saat dia hendak mendorong kakiku untuk menaiki tangga dibelakangku, suara dari ponsel berbunyi.

Nafasku tersenggal, masih dengan tanganku yang mencengkram kerah jas yang dipakai Jeffrey, pria itu menyernyit bingung. Membuatku juga mengikuti arah pandangannya yang menuju pintu kamar tamu yang tepat berada di depan tangga. Tepat di depan kami.

Sial, Dimas bodoh. Itu bukan suara ponselku yang di sofa atau ponsel Jeffrey, itu ponsel milik Dimas! Jeffrey kembali menatapku, "Siapa?" aku menelan ludahku kasar.

"Bukan siapa-siapa."

What the hell, jawabanku malah terdengar tidak meyakinkan. Jelas-jelas terdengan deringan ponsel yang dimatikan secara paksa, Jeffrey jelas semakin curiga. Jika aku menjadi Jeffrey, aku juga mungkin akan melakukan hal yang sama dengannya saat ini, Jeffrey melepaskan pegangan tangannya padaku, berbalik berjalan menuju kamar itu.

Aku panik, tidak bisa berpikir. Mati sudah. Sampai pada tangan Jeffrey mencoba untuk membuka pintu itu. Tapi tidak bisa. Aku sedikit bernafas lega dan segera menghampirinya. Jelas pintu itu terkunci, untung saja. Tapi aku haru berpikir keras agar Jeffrey tidak membuka paksa pintu itu seperti pintu apartemenku tadi. Bisa-bisa bukan hanya pintu itu yang dihancurkan olehnya tapi Dimas juga.

Benar saja, setelah beberapa kali tidak bisa membukanya, Jeffrey menatapku dengan alis berkerut. "Siapa di dalem Giandra?" aku menggeleng. "Apa aku keliatan sangat bodoh sampai kamu mau bilang gak ada orang di dalem sini?" Jeffrey kembali membentakku. "Siapa yang coba kamu sembunyikan dari aku?" kedua tangan Jeffrey memegang bahuku. Mensejajarkan tinggi kami. "Giandra?"

Aku bingung, satu-satu cara yang kupirkan saat ini adalah hal yang mungkin akan aku sesali nanti. Tapi hanya itu cara yang mungkin bisa kulakukan untuk mengalihkan Jeffrey, setidaknya untuk saat ini.

Aku meraih bahu Jeffrey, mendekatkan kepalaku. Mencium bibir Jeffrey seperti dia menciumku tadi. Jeffrey terdiam sejenak tapi dengan cepat lelaki itu menarik pinggulku, semakin memperdalam ciuman kami. Mengecap semakin dalam, aku sangat tidak bisa menahan desahanku untuk tidak keluar. Lidah Jeffrey terlalu lembut, menggodaku pada setiap sesapannya. Semakin lama kecapan itu terdengar semakin keras, Jeffrey dengan cepat mengambil alih sepenuhnya.

"Aahhh..." aku memejam semakin dalam. Ohh tuhan, ini terlalu nikmat. Aku tidak bisa menghentikan diriku sendiri, begitu juga dengan Jeffrey. Kedua tangannya berganti menganggkat pinggulku hingga melekat di tubuhnya. Menggendongku sambil menaiki tangga menuju kamar atas.

Dengan tergesa-gesa Jeffrey membuka pintu kamarku dengan satu tangan dan kakinya. Suara nafasnya terdengar sangat seksi, setiap gerakan kakinya terasa sangat nikmat di pahaku. Perutnya yang terbentuk dan otot tangannya tertarik benar-benar menambah gairahku. Bibir Jeffrey turun, menuju leherku. Berganti menyesapnya disana.

Tanganku juga otomatis bergerak membuka pakaian Jeffrey, semuanya terasa salah tapi aku menikmati kesalahan ini. Semua terasa tidak benar, tapi aku tidak bisa menghentikan ketidakbenaran ini.

Jeffrey medorongku hingga belakang kakiku menabrak ranjang. Dia merebahkanku secara perlahan, lalu kembali mengangkat tubuhnya sendiri. Melepas kemejanya yang belum sempat kubuka. It's too hot, aku tidak bisa mengalihkan pandanganku. Gerakannya sangat menggoda, menambah hawa panas dalam tubuhku.

Setelah melepas kemejanya, pria itu beralih melepas sabuk hitam yang melakat di celananya. Arah mata Jeffrey juga ternyata tidak lepas dariku. Mentapku tajam. Sama sekali tidak teralihkan oleh hal lain. Aku menelan ludahku gugup. Sekali lagi aku mengingatkan diriku. Tapi semua pemikiran buruk tentang apapun yang akan terjadi selanjutnya menguap entah kemana.

"Akan aku buat kamu menikmatinya hingga bisa mengingatkan kamu bagaimana bahagianya pernikahan kita selama ini." Jeffrey mendekati ranjang. Menarik kakiku yang terlentang.

"Aku gak akan berhenti walaupun kamu memohon."

•••

Hallo!
Untuk saat ini, Jeffrey & Giandra gak punya jadwal tetap jadi upnya masih tergantung alur kelanjutannya ceritanya. Karena jujur, aku membuat cerita ini tanpa plot apapun sebelumnya, jadi emang asli pas update emang baru ngetik. Happy Weekend semua🌤🌤
⚜️⚜️⚜️
Post : Jumat, 15 April 2022

Red Flag || COMPLETE ||Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang