Monolog

20 5 5
                                    

Ada yang berada di balik meja. Tersungkur dibawah kaki-kakinya yang dingin. Wajahnya putih, sangat putih seperti kafan yang dahulu di jahit mama untuk orang mati. Matanya melebar, menyala seperti sorot lampu. Bibirnya melebihi ukuran manusia normal, giginya bertaring di sudut dan besar-besar di tengah. Runcing seperti pisau. Kukira aku menguap sangat lebar hingga ia tersedot dalam lamunan dan khayalan fantasiku. Ia tidak berpikir bahwa aku mungkin musuhnya. Dia ingin berteman.
"Aku tidak lari," kataku padanya. "Mau main?"
Dia merangkak mendekat. Aku melebarkan mata hampir melotot melihat wajahnya tadi yang tidak seram sama sekali, ternyata bertubuh kurus. Kulitnya seperti hampir mengelupas. Rambutnya panjang setubuh dan jari-jari tangannya gosong seperti terbakar. Sekarang ia berdiri di bawah lampu yang menyala. Yah begitu, dengan mudahnya ia terbakar. Dasar bodoh.
"Khaaaaaaaakkkkkhhhh"
Seperti suara burung yang dicekal sayapnya, sama sepertinya. Ia terguling dengan punggung lebih dulu. Setelah kuperhatikan kakinya, ternyata panjangnya lebih dari ukuran tubuhku. Mama akan datang jika dinding jebol karena ia tendang. Jadi aku mendekat dan ingin membungkam mulutnya yang menjijikan. Makhluk tak punya otak, jelek, bodoh dan mudah kupermainkan. Tangannya cacat tak bisa di gerakkan. Hanya terlipat depan dadanya dan jari-jarinya yang mirip cumi-cumi entah ada berapa itu. Ekspresi wajahnya jadi aneh saat aku mendekat. Dia menjerit lebih keras dari bayi. Sangat menyenangkan.
"Diam makhluk busuk!" Aku bekap mulutnya. Aku menerngit saat cairan lendir dari mulutnya menempel di telapak tanganku. Matanya yang menyala itu mengeluarkan air yang bau seperti toilet. Indah sekali melihatnya merintih dan menangis.
Dari luar ibu mengetuk pintu kamarku beruntun. Awalnya hanya sekali dua kali, lama-lama ketukannya tanpa jeda, kini terdengar panik dan gugup. Aku berdiri meninggalkan makhluk lemah tak berkulit yang sangat panjang itu di lantai. Namun kakiku dia cekal dengan kuku-kukunya yang panjang. Wajahnya makin menyedihkan, namun aku tak mengasihaninya. Kulitnya sobek dan berdarah.
“Cih!” kulempar tangan cekingnya dengan kaki kecilku. Ia ganti menusuk-nusuk kakiku dengan giginya. Tak kupedulikan, aku masih melangkah menuju pintu dan membukanya.
Ibu dengan wajahnya yang berbuku-buku mirip tarantula itu kedua tangannya gemetaraan sembari menutup mulut. Meski ditutupi aku tahu bibirnya bergetar dan mengumpat.
“Anak setan!”
Ternyata matanya tak cukup jeli. Aku membisu menatap kedua pupilnya yang hampir copot karena ketakutan seolah melihat monster padahal tinggi badanku tak lebih dari perutnya.
“Kau tidak lihat aku sedang bermain dengan mainan baruku?” aku menunjukkan dengan menundukkan kepala dan memberi tanda seolah ada sesuatu di kakiku.
Ibu melihat ke bawah mengikuti arah kepalaku. Lalu ia berteriak seperti kesetanan meskipun telah mengataiku anak setan sebelumnya.
“Aaaaaaaakkkkkkk!”
Pintu dibanting hingga bersuara prang mirip kayu yang ditebang kapak. Anehnya aku tidak terkejut. Dia memang cukup serius untuk usianya yang memasuki paruh baya. Lain kali kalau ia tidak gila akan aku ajak main bersama mainan-mainan lamaku.
(POV aku end)
“Ada apa, Bu?” tanya Marina, ia khawatir melihat wajah ibu yang pucat ketika keluar dari kamar Amanda.
“Anak itu…anak itu sudah tidak waras,” bisiknya di telinga Marina. Kedua matanya tidak berhenti melirik ke kanan dan ke kiri. Kakinya gemetaran tidak kuat berdiri, ia duduk di sofa sembari memegang dadanya yang tidak beraturan, nafasnya tersengal.
“Tenang dulu, Bu.” Marina duduk di sampingnya. “Apa yang terjadi dengan Amanda? Ada apa di kamarnya?”
“Siapa yang sempat masuk kamarnya?” kata Bu Sari dengan penuh penekanan namun tetap berusaha pelan-pelan agar tidak terdengar. “Dia memang membuka pintunya tapi siapa yang sudi masuk. Kau tahu apa tadi yang kulihat? Benar-benar mengerikan, apa ibu kandungnya membuangnya ke panti asuhan ini karena sudah tahu kalau dia adalah anak setan?”
“Kenapa bicara begitu, Bu?”
“Kau memang tidak tahu apa yang kulihat! Dia benar-benar mengerikan. Wajahnya dipenuhi darah seolah-olah ada darah satu ember yang di siram ke wajahnya, tidak hanya wajahnya tapi sekujur tubuhnya, tangannya, bajunya, dan di kakinya ada makhluk aneh yang panjang dan dikuliti oleh….howweeeekkk,” belum sempat Bu Sari melanjutkan ceritanya, lidahnya tiba-tiba terjulur keluar seolah akan muntah. Ia akhirnya berdiri dan berlari ke belakang. Ia muntahkan semuanya di toilet.
Marina mengikuti Bu Sari dan berhenti begitu melihat kondisi Bu Sari sangat parah di toilet. Ia muntah sembari berjongkok di depan toilet duduk, ia juga batuk-batuk parah. Air muka Marina mendadak berubah, yang tadinya khawatir sekarang berubah serius. Telapak tangannya mengepal, sorot matanya tajam dan menyipit. Ia berbalik arah dan melangkah tegas menuju kamar Amanda.
“Bocah kurangajar!”
Sesaat setelah masuk kamar Amanda, ia kunci dari dalam dan mendapati kamar itu gelap. Namun Marina seketika mengetahui dimana anak itu bersembunyi.
Cklek.
Dibukanya pintu almari namun bukan Amanda yang ada di sana, ia mendapati makhluk yang panjang dan menyeramkan terlipat dan terhimpit sempit. Makhluk itu berwajah seram sekaligus suram. Dia merintih minta dibebaskan. Marina menatapnya buas tak sekalipun simpati, ia lalu menjulurkan tangannya ke wajah makhluk itu, beberapa detik kemudian makhluk itu menjadi hangus dan abunya pun beterbangan dan menghilang, ia musnah di tangan Marina. Setelah menjulurkan tangannya, kini ia membalik telapak tangannya. Sebuah garis berbentuk segitiga dan garis tegak ditengahnya terpatri di telapak tangan pucatnya. Tanda itu mengeluarkan asap merah lalu ia hirup. Ia membuka mulutnya, asap merah itu terserap ke  dalam seolah ia telan. Marina tersenyum sembari memejamkan mata, menikmati santapannya. Ia adalah gadis picik yang berpura-pura hidup sebagai manusia di panti asuhan itu
“Keluar! Keluar kau!” teriak Amanda dari belakang. Ia melempari Marina dengan bantal, boneka dan apapun yang tangannya raih.
“Dasar monster! Kau apakan temanku?!”
“Teman?” Marina menoleh. Ruangan gelap itu sekarang sedikit demi sedikit bersinar akibat tirai jendela yang mendadak terbuka oleh hembusan angin pelan entah darimana. Sinar rembulan menyinari sisi wajah mereka.
“Dimana Jhony?”
“Jhony? Maksudmu makhluk jelek yang kau sembunyikan di lemari kecil sempit itu? Haha lucu sekali,” Marina mendekat ke arah Amanda. “Kau bahkan memberi mahkluk burik itu nama. Biar kuingatkan, mungkin kau lupa kalau temanmu adalah makananku,” ia mencengkeram pipi Amanda dan mengangkatnya ke atas.
“Dasar mahkluk terkutuk! Kau pikir aku takut?” Amanda meninju perutnya hingga Marina terjengkakng ke belakang. Ia bangkit dan meringis menekan perutnya, sembari mendecih dan memutar kepalanya hingga bersuara kretek kretek.
“Rupanya kau melatih tubuhmu yang payah itu ya sekarang. Aku heran bagaimana bisa ibu panti melihat makhluk itu tadi saat ke kamarmu.”
“Jhony…adalah manusia.”
“Apa?”
“Dia adalah manusia Fiber, Jhony bukan hantu.”
Marina terlonjak kaget. Ia melihat kembali telapak tangannya dan melihat tanda segitiga di tangannya tadi yang berwarna merah kini berubah warna menjadi biru. Marina tercengang dan menganga.
“Bagaimana mungkin…bagaimana mungkin aku tak menyadarinya?” Marina berjalan mundur.
“Manusia Fiber lahir dari serat-serat jiwa yang terkumpul dan menyatu menjadi sebuah hasrat dan ambisi yang kuat. Aku tahu kau akan menelannya, bersiplah makhluk rendahan. Sebentar lagi kau akan dibakar oleh jiwa-jiwa yang dibakar amarah dalam makhluk itu.
“Aaaaaaaaaaakkk,”
Jeritan Marina terdengar oleh Bu Sari dari luar. Bu Sari berlari ke kamar Amanda dan memanggil Marina dengan gugup dan takut. Pintu terkunci dari dalam. Hingga beberapa menit kemudian pintu terbuka dengan sendirinya. Bu Sari membukanya dan mendapati penampakan yang mengerikan, yang mungkin terdengar fiksi bagi orang lain.

The GladiolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang