Plak!
Suara tamparan keras menggaung di ruangan sempit tak berlampu.
“Aku bilang tabrak dia sampai mati, kan!” seorang pria bertudung menampar seseorang yang menggunakan pakaian serba hitam-hitam.
Pria itu hanya menundukkan kepala meski telah berkali-kali ditinju atasannya.
“Tolong beri saya kesempatan sekali lagi. Kali ini saya tidak akan membuatnya lama, saya akan membunuhnya malam ini.”
“Sepertinya lebih mudah karena dia berada di rumah sakit. Tapi kau tidak tahu sifat ketua?! Dia akan membunuhku begitu tahu kau gagal! Argghh.”
“Kali ini saya pasti bi…”
“Aaargg pergi sana!”
Pria itu menganggukkan kepala hormat lalu meninggalkan ruangan gelap tersebut.
***
“Isterimu sekarang ada di cengkeraman kami. Dia akan jadi tumbal pertama untuk menghancurkan bangsamu. Camkan itu Satria.”
Setelah si penelepon mengatakan itu panggilan terputus, Ardana hanya bisa mematung. Ia segera menyimpan jejak suara yang ia rekam. Diperiksanya riwayat panggilan isterinya, dan betapa terkejutnya dirinya, riwayat panggilan tanpa nama ada 3 teratas. Yang pertama adalah saat yang bersamaan ketika Raziva ingin pergi bersama mereka, kedua adalah saat sebelum Raziva tertabrak dan yang terakhir tadi barusan saat Ardana mengangkatnya. Anehnya, di bawah 3 riwayat itu, ada lagi urutan yang cukup aneh, yaitu panggilan masuk dari Direktur Rossan dan Nadia, isteri Holan.
“Nadia dan ayah? Kenapa mereka sering menghubungi Ziva?”
Tercatat riwayat Nadia berbicara sekitar 10 menit dan riwayat durasi bicara dengan direktur lebih dari 30 menit.
“Kenapa mereka berbicara lama sekali di telepon? Ziva… sebenarnya apa yang kau sembunyikan dariku?” Ardana frustasi. Ia berlari keluar rumah sakit dan hendak menemui entah siapa.
Arvy mendengar suara langkah ayahnya yang terdengar semakin menjauh dari ruangan, ia keluar dan memeriksa. Dan benar saja, ayahnya sudah tidak ada, namun ia menemukan sekotak makanan yang ditinggalkan di kursi. Ia meliriknya.
“Ah, dasar.”
Sementara itu Ardana menuju ke kantor direktur.
Pintu ruangan direktur utama, Rossan Satria, didobrak dengan brutal. Seseorang berdiri di sana, itu adalah putra semata wayangnya sendiri.
“Ayah…”
Ardana menatapnya dengan tatapan marah, kesal dan terkhianati. Matanya bengkak dan berkaca-kaca.
Direktur hanya membisu, seolah sedang tak terjadi apa-apa. Ia menatap putranya datar.
“Aku tahu dari awal kau tidak pernah memihakku apapun yang kulakukan,” Ardana melangkah mendekat ke meja direktur. “Aku tahu kau tidak pernah menyukai apapun keputusanku. Aku tahu! Aku paham semuanya, Ayah!”
Ardana menggebrak meja. Direktur masih tenang, ia menatap tajam Ardana.
“Kupikir kau tidak pernah tertarik dengan keluargaku sebelumnya. Sekarang apa? Apa yang kau lakukan pada isteriku?!”
“Aku tidak paham apa yang kau katakan.”
“Direktur!” bentaknya.
Direktur berdiri. Ia juga nampak kesal atas tuduhan Ardana.
“Apa yang kau bicarakan? Bicaralah yang jelas, Dana!”
“Aku melihat riwayat panggilan Ziva. Kenapa kau sering menghubunginya akhir-akhir ini? Apa yang kau rencanakan?” Ardana mengeluarkan ponsel Ziva dan memperlihatkan riwayat panggilannya.
“Kenapa ponsel isterimu ada ditanganmu?”
“Ah kau tidak tahu rupanya,” Ardana lemas. “Raziva, isteriku tengah koma di rumah sakit sekarang.”
“Apa?!”
Direktur terkejut, ia hampir oleng dan terjatuh. Ardana tidak menduga reaksinya ayahnya, namun ia keukeuh menyalahkannya atas apa yang terjadi pada isterinya.
“Kau..apa yang kau katakan? Kau tidak sedang membohongiku, kan?” Direktur menatap Ardana.
“Apa kau bilang? Bohong? Kau pikir aku sedang berbohong huh?! Isteriku sekarat dan kau bilang aku sedang berbohong?” Ardana menahan tangisnya. “Apa kau pernah sekali menganggap aku putramu…Ayah?”
Ardana menitikkan air mata, pilu nan sendu. Ia keluar dari sana tanpa mendengar penjelasan ayahnya. Pintunya ia tutup dengan keras. Ardana sudah tidak tahan lagi mendengar ocehannya.
Sementara itu, Direktur Rossan terduduk di kursinya dengan tatapan nanar ke udara. Ia tak bisa membayangkan apa yang terjadi pada menantunya. Namun ia yakin satu hal, bahwa dirinya tahu pelakunya.
“Aku akan membiarkan putraku membenciku. Aku akan jadi pelampiasannya. Aku pasti akan menemukan sekte sialan itu. Pasti.”
***
Masa Sekarang
Pemilik apartemen memberikan sebuah amplop yang sangat tebal pada Amy.
“Terima kasih sudah membantu mengusir hantu itu. Kami benar-benar ketakutan,” katanya.
“Ah bukan apa-apa.” Amy tersenyum ramah.
Alfa mendecih, ia tahu bahwa rekannya itu tengah menyombongkan diri dalam hati.
“Kalian berdua bebas tagihan kamar untuk dua bulan ke depan.”
“Eh benarkah?” Alfa terkejut.
“Tidak perlu, Bu. Sungguh,” Amy berpura-pura menolaknya.
“Tidak apa-apa, kok. Aku yang lebih senang karena tidak akan diganggu lagi.”
“Kalau kau tetap memaksa, baiklah kalau begitu. Terima kasih.”
Setelah pemilik apartemen pergi, Amy mengintip isi amplopnya yang benar-benar fantastis. Alfa hendak menyentuhnya namun Amy segera memukul punggung tangannya.
“Aishhh. Kau tahu kau itu cuma Robin, kan? Aku Batmannya.”
“Arghh.”
“Tidak, tidak. Aku bercanda. Hari ini ayo makan semuanya, Partner!” Amy merangkul bahu Alfa sembari melangkah senang.
Mereka pergi ke restoran mewah dan berbelanja di mall, makan es krim bersama, ke taman bermain dan tempat-tempat yang ingin mereka datangi. Keduanya menghabiskan akhir pekan dengan bersenang-senang.
Keduanya duduk di bangku taman dengan bando lucu di kepala mereka.
“Pasti menyenangkan bisa terus bermain seperti ini,” Alfa menikmati es krimnya sembari menatap orang-orang yang lalu lalang bahagia, bersama pacar, keluarga dan teman-teman.
“Apa kita perlu pakai bando norak seperti ini?” Amy hendak melepas bando berbentuk kucing Doraemon di kepalanya. Alfa mencegahnya.
“Jangan dilepas, kau jadi imut kalau pakai ini.”
“Ha! Kau gila? Aku jadi makin ingin membuangnya.”
Alfa memakaikan bando itu lagi. Amy cemberut.
“Bukankah kita terlihat seperti pasangan? Kencan di akhir pekan tidak buruk juga,” kata Alfa. “Kau juga lelah kan terus-terusan membersihkan setan-setan?” ia menoleh ke Amy.
Amy diam saja tak berniat menjawab. Ia menikmati es krimnya yang hampir meleleh. Alfa masih menatapnya dengan senyuman hangat.
“Aku sangat lega melihatnya sekarang,” batin Alfa. “Astaga aku pasti sudah gila. Aku harus fokus ke tujuan awalku!” gumamnya lagi sembari menyadarkan dirinya sendiri dari lamunan fantasi Amy, gadis yang ia sukai.
“Alfa.”
“Hem?”
“Bagaimana kita mencari Rama?”
Degh.
Alfa gugup, hingga es krim yang ia pegang jatuh. Amy terkejut, ia memukul punggungnya karena ceroboh. Ia menatap mata Alfa yang bergerak ke kanan kiri atas bawah seperti khawatir dan takut, gerak bibirnya aneh.
“Kau kenapa?”
“T..tidak.”
“Apa yang kau sembunyikan? Kau kira aku bodoh?”
“Sejak dulu aku tidak tahu banyak tentang Rama. Kau tahu sendiri kita berdua sering bertengkar, dia tipe anak yang aktif dan sering bermain dengan yang lain dulu, sangat beda denganku yang pemalu.”
“Tapi kalian sahabat, kan? Kalian bahkan satu kamar.”
Amy tidak tahu bahwa setelah kepergian Amy 11 tahun yang lalu, Rama dan dirinya sempat bertengkar hingga memutuskan untuk mengganti kamar. Alfa hanya berdehem mengiyakan. Namun sesaat setelah Amy tidak fokus padanya, ia menatap wajah samping Amy dengan tajam, matanya menyipit dan wajah gugupnya tadi hilang.
“Aku tidak akan membiarkanmu bertemu Rama, Amanda,” gumamnya dalam hati. Alfa menarik sudut bibirnya sembari tersenyum sinis.
Di kantor, ruangan direktur Rossan.
Arvy berjalan di koridor kantor menuju ruangan direktur. Ia menuju ke meja sekretaris di samping kantor.
“Apa kakek, ah maksudku Direktur ada di ruangannya.”
“Ah Tuan Muda Arvy. Direktur pasti sangat senang anda berkunjung kemari,” Sekretaris perempuan itu tersenyum lebar.
“Apa aku boleh langsung masuk ke dalam?”
“Tentu saja. Silahkan masuk saja, Tuan Muda.”
Setelah dipersilakan, Arvy berdiri di ruangan direktur sembari membawa sebuah vas bunga kecil yang berisi bunga tulip kuning di dalamnya dan juga sebuah foto. Ia memandangi foto itu lama, lalu ia masukkan kembali ke saku coat-nya Setelah ragu-ragu ia akhirnya memutuskan masuk ke dalam.
Namun ia terkejut, kakeknya ternyata memiliki seorang tamu di dalam. ia hendak keluar namun kakeknya menghentikannya.
“Arvy, masuklah. Tidak apa-apa.”
“Baiklah.”
Ia berjalan masuk dengan canggung kemudian duduk. Di ruangan tersebut ada beberapa kursi dan dengan satu meja di tengah. Direktur sekarang tengah duduk berhadapan dengan seorang laki-laki yang terlihat seumuran dengannya.
“Duduklah, Vi.” kakek mempersilakan duduk. Ia menuangkan teh ke cangkirnya.
Anehnya, Arvy melihat sudah ada satu cangkir yang ditempatkan di sana sebelumnya, seolah-olah mereka tahu akan ada tamu yang datang. Tamu yang terlihat muda itu tersenyum menyapanya.
“Aku senang sekali kau mampir ke sini,” kata Kakek sembari tersenyum lebar.
“Oh ya, aku membawakan vas bunga untukmu, Kek.”
Arvy memberikan vas bunga mini itu.
“Wah cantik sekali. Aku akan menyimpannya.” Kakek menaruhnya di meja kerjanya, kemudian duduk kembali.
“Ah ya, Arvy. Dia teman lama Kakek.” Kakek memperkenalkan pria yang duduk di hadapan Arvy.
“Teman lama?”
“Maksudnya, saya adalah anak dari teman lama direktur,”
Jawab pria itu.
Kakek gelagapan, ia meminta maaf karena sudah tua dan agak pikun sembari tertawa garing.
“Perkenalkan, namaku Rataka.” pria itu mengulurkan tangannya untuk bersalaman.
Arvy menerimanya dengan sopan.
“Aku Arvy.”
Arvy memperhatikan Rataka dengan seksama.
“Apa kita pernah bertemu sebelumnya?”
Rataka menanggapinya dengan tenang, kecuali direktur yang agak gugup.
“Entahlah.”
Rataka tersenyum dengan ekspresi yang tidak jelas di wajahnya. Entah penuh kebohongan atau air muka yang menyembunyikan sesuatu dengan handal. Arvy masih menatapnya dan memperhatikan ekspresi dan gesture-nya dengan intens. Mereka masih bersalaman dengan erat. Arvy tersenyum tipis kemudian mengatakan.
“Sepertinya kita memang pernah bertemu sebelumnya.”
KAMU SEDANG MEMBACA
The Gladiol
Mystery / ThrillerSegitiga Merah, sekte sesat yang menumbalkan jiwa-jiwa yang berasal dari bangsa Penyegel Mantra dan keturunannya, salah satunya adalah Amanda. Ia adalah seorang gadis kecil indigo yang berusia 9 tahun yang tinggal di panti asuhan Motherwood. sebuah...