Tumbal Pertama

2 2 0
                                    

“Apakah benar-benar ada manusia seperti itu di dunia ini?” pikirnya saat itu.
Tanpa dirinya sadari, dari jauh pria itu menatap Yohan yang masih mematung di tempat sembari memandangi genangan darah di aspal.
Pria itu adalah Rataka.
Ia bersembunyi dari balik pohon sembari menatap mahasiswa berkacamata, Yohan. Auranya berwarna biru terang, berwarna silver di keseluruhan tubuhnya.
“Anak itu…” gumamnya.
Hari kecelakaan Raviza, isteri Ardana
“Kau senang bisa masuk ke SMP favoritmu?” tanya Raziva, ibu Arvy, isteri dari Ardana.
“Tentu saja, Bu. ayah akan mengantarku hari ini.” Arvy bersemangat.
“Kalau begitu kita harus siap-siap.”
“Ibu juga ikut?”
“Tentu saja.”
“Benarkah? Yeay!”
Arvy berlari keluar dengan sumringah menuju mobil yang terparkir di depan. Ayahnya mengelap kaca depan mobil. Ia tersenyum melihat keluarga kecilnya yang bahagia.
“Ayah, ibu akan ikut kita hari ini!”
“Benarkah?”
“Iya, Yah.”
Namun Raziva tiba-tiba mendapat telepon dari seseorang. Ayah dan Arvy melihat ekspresinya yang tadinya tersenyum berubah tertekuk. Ayah meminta Arvy bersiap-siap dan masuk ke dalam kamarnya untuk mengambil barang-barangnya. Ardana menghampiri Raziva.
“Ada apa?”
“Sepertinya aku tidak bisa ikut bersama kalian.”
“Apa yang terjadi? Kenapa?”
“Ah tidak apa-apa. Akan lebih baik kalau ayahnya yang menemani anak laki-lakinya di hari pertama sekolah. Arvy akan malu jika teman-temannya melihatnya diantar ibunya.” Raziva tersenyum memaksa.
Ardana melihat ada yang aneh, namun ia tak begitu menganggap itu hal yang mengkhawatirkan. Isterinya bukan tipe ibu-ibu arisan, jadi tidak perlu khawatir Raziva menyembunyikan sesuatu.
Pagi itu Ardana dan Arvy akhirnya berangkat sekolah berdua, tanpa Raziva.
Sesaat setelah keduanya pergi, Raziva kembali menelepon orang misterius yang menghubunginya tadi. Raut wajahnya berubah taja dan serius. Setelah menutup panggilannya, ia keluar rumah, entah kemana dia akan pergi.
Di jalan trotoar Raziva berjalan tergesa-gesa. Ia berhenti di depan jembatan penyeberangan (zebra cross). Saat itulah, ponselnya lagi-lagi berdering, lampu pejalan kaki berubah hijau. Saat itu sepi hanya ada dia seorang yang menyeberang. Ditengah jalan Raziva mendapat telepon dari nomor yang sama yang meneleponnya tadi pagi. Ia mengangkatnya, mata Raziva melebar seketika, terkejut pada sesuatu yang dikatakan orang dari seberang telepon.
Sebuah truk yang berasal dari arah barat, pengemudinya tertidur tidak mematuhi peraturan hingga menerobos lampu merah. Raziva tidak menyadari bahwa truk itu melaju ke arahnya. Karena ia terkejut melihat dari seberang jalan pria berpakaian serba hitam bertudung meletakkan ponsel di telinga kiri. Raziva membelalakkan matanya, bahwa pria itulah yang sedang bertelepon dengannya.
“Akhirnya kau menyadariku…Raziva Satria?”
“A..apa?”
“Sudah berakhir.” Pria itu memakai masker hitam.
Dari balik tudung hitam, matanya bersinar merah.
Raziva membeku melihat pria di seberang jalan itu yang ternyata menghubunginya. Ia tidak sadar truk semakin mendekat ke arahnya. Raziva menoleh, namun semuanya sudah terlambat.
Dari kejauhan, Rataka yang melihat kejadian itu berlarian di tepi jalan. Ia berlari secepat itu, tapi ia tidak berhasil meraih Raziva. Dengan kedua mata kepalanya sendiri ia melihat kecelakaan itu terjadi. Tubuhnya lemas, dipegangnya jantungnya yang berdebar tak karuan, ia berkeringat dingin, napasnya sesak. Semuanya sudah terjadi.
“Aku…terlambat…”
Rataka mematung. Melihat nanar orang-orang yang berkerumun sesaat setelah suara tabrakan terdengar. Dari tengah kerumunan itu darah merah mengalir di aspal. Ia makin sesak begitu melihatnya. Raziva terkapar di sana.
***
Tuuuuuut tuuuuuuut tuuuuuut
“200 Joule!”
“250 Joule!”
Ardana berlarian di lorong rumah sakit. Ia berhenti di depan ruang gawat darurat, namun semuanya terlambat. Ia jatuh dengan posisi lutut menapak tanah, sembari menunduk menangis, dipukulinya kepalanya sendiri.
“Maafkan aku, maafkan aku. Kumohon bangunlah, kumohon Raziva…” pintanya dengan pedih.
Arvy melangkah gontai, ia mendekati ayah dan berdiri di sampingnya. Melihat reaksinya ia paham apa yang terjadi pada ibunya. Air matanya tak berhenti mengalir di pipi. Arvy diam termenung, wajahnya datar dan nanar.
Rataka berlarian di lorong dan sampai di lorong belokan. Ia berhenti berlari dan melangkah gontai tidak percaya, bahwa Raziva kritis dan hampir tidak tertolong nyawanya. Tanpa ia sadari, Rataka berdiri tidak jauh dari Arvy. Matanya berkaca-kaca hingga tak menyadari ada seorang bocah laki-laki yang menatapnya.
Beberapa hari kemudian.
“Putramu kelas berapa?” tanya suster pada Ardana ketika melihat seorang anak laki-laki duduk di depan ruangan Raziva.
“Dia baru 13 tahun,” sahut Ardana.
Mereka berdua mengobrol di sudut lorong. Ardana melihat Arvy, putra semata wayangnya yang duduk dengan ekspresi menatap udara, kosong dan datar. Ia pasti khawatir mendapati kenyataan bahwa ibunya tertabrak sebuah truk saat akan menyebrang jalan, entah kemana tujuannya.
“Hanya ini, Pak. Barang yang kami temukan kemarin,” kata Suster itu sembari menyerahkan ponsel Raziva ke Ardana.
“Baik, Sus. Terima kasih.”
“Sama-sama.” suster itu melenggang pergi.
Ardana memasukkan ponsel milik isterinya di balik saku jasnya. Ia kemudian menghampiri Arvy dan duduk di sampingnya.
“Mau makan sesuatu yang enak?”
“Aku tidak lapar.”
“Kau belum makan sejak tadi malam.”
Arvy diam tak berniat menjawab ayahnya.
“Aku akan membeli makanan untukmu di kantin.”
Ayah berdiri dan melangkah pergi, namun ia berhenti begitu mendengar Arvy.
“Ayah bisa makan?”
Ardana menoleh.
“Ayah bisa makan saat ini?”
“Hem. Ayah lapar. Tenang saja, aku akan kembali membawa makanan untukmu.”
“Apa ayah bisa makan saat ini?!” sentaknya.
Ardana terkejut mendengar Arvy meninggikan suara padanya, untuk pertama kali. Putranya yang ceria dan riang kini telah berubah. Saat itu adalah pertama kali Arvy berteriak pada seseorang, dan juga yang terakhir kalinya. Sejak ibunya koma ia tak sangat tertutup, jarang berbicara dan tidak punya teman. Ia menghabiskan waktu sendirian dan kesepian, tidak berbicara pada siapapun bahkan terhadap ayahnya sekalipun.
Malam harinya, Arvy masih berada di sisi ibunya. Ardana melihat dari kaca pintu, Arvy duduk di samping ranjang Raziva sembari terus menggenggam erat tangannya. Ia duduk di kursi tunggu depan sembari menghela napas berat.
“Bagaimana putra kita, Ziva? Bagaimana dia bisa hidup kedepannya tanpa dirimu? Anak kita sudah kehilangan keceriannya, dia menjadi anak yang berbeda dari yang kita kenal. Apa yang harus aku lakukan?” Ardana menutup matanya dengan telapak tangan.
Ia menoleh ke arah samping, sebuah kresek putih berisi makanan dan sebotol air mineral. Ardana tadinya berharap Arvy makan sesuap nasi saja agar dia tidak sakit. Tiba-tiba ponselnya berdering. Diambilnya dari saku celananya, namun ternyata bukan ponselnya yang berdering melainkan ponsel yang berada di balik saku jasnya, ponsel milik Raziva.
Ardana terkejut melihat sebuah nomor asing menghubungi isterinya. Diangkatnya panggilan itu.
Hening, seseorang dari balik telepon mapun Ardana, keduanya sama-sama tidak mengeluarkan suara. Ardana semakin curiga, ia menekan tombol ‘rekam’. Hingga a terkejut ketika terdengar suara seorang pria.
“Kau terlambat.”
Degh
Ia membelalakkan matanya, menganga sembari menutup mulutnya.
“Isterimu sekarang ada di cengkeraman kami. Dia akan jadi tumbal pertama untuk menghancurkan bangsamu. Camkan itu Satria.”

The GladiolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang