Mantra

5 2 0
                                    

Kedua tangan mayor gemetaran. Ia memegang leher Amy, sedikit meremasnya. Nafas mayor naik turun, dahinya berkerut. Dio menyadari kondisi adiknya sangat gawat hingga ayahnya bereaksi seperti itu.
“Apa tadi ada hal janggal yang terjadi?” tanya Mayor dengan masih menekan leher Amy. Tangannya gemetaran.
“Tadi Amy bermimpi sambil berteriak-teriak. Setelah bangun dia melihat ke depan lalu memelukku dengan panik. Karena hujan kita memutuskan untuk berhenti di kafe karena aku khawatir melihatnya,” Dio menjelaskan.
“Itu saja?” mayor melihat telapak tangan kiri Amy yang dibalut perban. “Luka apa ini?”
“Aku sendiri tidak tahu. Tangannya sudah seperti itu sejak kemarin, tapi dia tidak memberitahuku alasannya.
“Sial! Kenapa aku tidak menyadarinya padahal kami berbincang lama di halaman kemarin.” batin Mayor. Ia menyalahkan dirinya sendiri.
Dipegangnya telapak tangan kecilnya yang diperban.
Degh
Mayor melihat sesuatu yang sangat berbahaya di tangan kecil putrinya. Ia tiba-tiba membuka balutan kain kasa itu dengan tergesa-gesa. Dio nampak kaget dan tidak mengerti apa yang ayahnya lakukan.
“Apa kita masih lama?” tanya mayor.
“Sebentar lagi, Pak,” kata supir.
Beberapa menit kemudian mereka sampai di rumah. Mayor menggendong Amy dna berlari ke dalam rumah. Ia menaiki tangga dan mebawanya ke kamar, diikuti Dio dari belakang. Para asisten berkumpul di bawah dengan khawatir.
Balutan di tangan Amy masih belum terbuka sepenuhnya. Dio melihat ayahnya yang ketakutan, panik, khawatir semua emosinya campur aduk, persis seperti malam itu, malam dimana terjadi peristiwa ganjil pada ibunya. Dio tidak berani berkata apa-apa.
Mayor hampir membuka seluruh balutan itu, namun sesaat ia ingat Dio masih berdiri di sampingnya.
“Keluarlah, Dio. Aku akan mengatasinya sendirina.”
“Ayah….”
“Serahkan pada ayahmu.” mayor menatap Dio dengan kesungguhan. “Tutup pintunya rapat-rapat dari luar
Setelah Dio keluar, mayor membuka balutan perban itu seluruhnya. Betapa terkejutnya mayor hingga mulutnya menganga.
Sebuah lubang hitam melebar di telapak tangan kecil Amy. Seperti black hole yang berputar-putar di galaksi. Disertai asap hitam yang terus-terusan keluar seperti terbakar. Sedang benang kebiruan di lehernya berubah menjadi keunguan. Hingga urat-urat Amy terlihat dengan jelas.
“Ini mantra hitam! Sejak kapan ada di sini?! kenapas udah sebesar ini? Kenapa begini? Kenapa aku tidak mengetahuinya?!” mayor jatuh berlutut di lantai sembari kedua tangannya memegang kepalanya. Ia meringis menahan nyeri di dadanya.
“Bagimana aku bisa menhapus mantra ini. Ini adalah mantra ilusi yang menyerang ingatan. Ini jelas-jelas membuat Amy terkubur perlahan di dalam ingatannya. Bagimana aku menyelamatkannya?!” mayor berteriak dalam hati.
Tiba-tiba seseorang membuka pintu tergesa lalu menguncinya dari dalam.
“Kubilang keluar!” teriak mayor. Ia terkejut bukan kepalang ketika melihat direktur yang tengah berdiri di sana.
“Holan, menyingkir dari sana,”  kata Direktur dengan wajah tajam dan serius. Ia melangkah mendekati Amy dengan tertatih meski dibantu tongkatnya.
“Mantra ini tidak bisa kau hapus. Mantra ini bukan kutukan, namun terpatri dalam ingatan dan menghancurkan orang itu dari dalam. Tapi masih ada kesempatan, Amy belum 17 tahun. Kita bisa menghapusnya.” direktur memegang leher kiri Amy lalu menekannya agak kuat. Direktur meringis hingga tangan tuanya gemetaran.
“Serat ini adalah roh-roh yang masih etrsisa di tubuh anak ini.” direktur menoleh. “Kau sudah tahu sebelumnya bahwa putrimu diinangi beberapa roh?”
Mayor membuang muka. Dia menahan tangisnya agar tak pecah di hadapan direktur. Dirinya memang kuat tetapi jika itu menyangkut keluarganya mendadak semuanya melemah, termasuk dinding pertahanannya.
“Rupanya kau sudah tahu, ya. Dia bukan manusia fyber, tapi hanya menginangi beberapa roh. Ini menguntungkan bagi tubuh dan ingatan Amy sendiri. Kita tidak perlu terlalu menekan roh-roh ini.” barulah direktur berhenti menekan leher Amy. “Kita hanya perlu mmengunci mantra ilusinya. Sisanya serahkan pada anak ini. Jika jiwa-jiwa itu mengsi serat ingatannya makin dalam, kita tidak bisa memastikannya. Seseorang harus menekan mantranya dahulu dari luar. Pada dasarnya roh-roh itu tidak membahayakannya kecuali di situasi tertentu.”
Saat direktur berbicara panjang lebar ia baru sadar mayor masih memegang kepalanya yang pening. Ia mencengkeram lengannya dan menyadarkannya.
“Holan! Sadar! Kalau kau lemah kau tidak akan mampu menyelamatkan siapapun!” teriak direktur. “Lakukan seperti saat Nadia di ganggu oleh roh jahat. Lakukan seperti yang biasa kau lakukan!”
Direktur berbicara pelan dan meyakinkan kemudian. “Ayo kita lakukan bersama. Hancurkan mantra hitam ilusi ini.”
Di luar Dio menunggu di pintu. Anehnya meski seberisik apapun di dalam dari luar tidak terdengar. Dio menyadari itu. Saat ia berusaha menyentuh kenop pintu, telapak tangannya seperti tersengat listrik. Dia menyadari bahwa kakek dna ayahnya tengah menangani sesuatu dengan serius, bahwa adiknya tengah berada di situasi yang amat berbahaya. Tanpa ia sadari ada sebuah batas pelindung berwarna hijau di luar ruangan yang tak bisa orang lain lihat.
Beberapa jam kemudian, direktur dan mayor membuka pintu kamar. Mereka berdua dengan kondisi acakadut dan kelelahan. Direktur sendiri kening hingga lehernya berkeringat begitu juga mayor yang menggulung lengan bajunya hingga ke siku. Baju bagian bahunya sobek lebih tepatnya seperi teriris oleh benda tajam.
Dio melihatnya keduanya keluar. Ia terdiam dan membisu lalu berlari ke dalam kamar Amy. Ia mendapati adiknya tengah tidur dengan nyenyak. Matanya terpejam dan wajahnya yang tadi mengkerut sekarang terlihat nyaman. Ia memeluk adiknya hingga tangisnya pecah. Mayor tidak tega melihatnya dan menutup pintunya perlahan. Setelah itu ia berbicara empat mata dengan direktur di ruang kerja.
“Mantra itu…mungkin akan meninggalkan bekas luka hingga putrimu dewasa,” kata direktur.
“Aku akan melindunginya, appaun yang terjadi aku akan melindungi putriku!” tangis Mayor pecah. Ia menggigit bibirnya sendiri sembari menutupi matanya dengan telapak tangan.
Direktur menatap menantunya dengan pilu. Ia mengingat kembali bagaimana mayor menangisi Nadia di depan ruangan dingin dimana Nadia yang koma tengah dirawat.
“Putrimu akan kulindungi sebagaimana aku melindungi putriku,” kata direktur tiba-tiba. “Karena anak itu memiliki darah yang sama denganku.’
Mayor terkejut dengan pernyataan tiba-tiba direktur. Ia menatapnya tajam dengan seribu tanda tanya di wajahnya.
***
Seorang gadis cantik berusia 20 tahun tengah bekerja part time di sebuah kafe. Ia bekerja dengan riang dan menikmati pekerjaan itu. Sampai tiba-tiba nampan yang ia bawa tiba-tiba terjatuh, gadis itu memegang kepalanya yang nyeri dan pening. Suara-suara asing memenuhi yang memenuhi telinga berkerumun di pikirannya. Ia jatuh terduuduk di lantai, meringis sembari memegang kepalanya dengan kesakitan.
Seorang pria mendekat dan berlari ke arahnya.
“Amanda!”
Pria itu menyandarkan kepala Amanda di dada bidangnya. Sembari berusaha menyadarkannya.
“Kau harus mengalahkannya. Jangan melemah! Usir mereka semua! Merekas emua tidak lebih lemah darimu!”
Amanda meremas ujung baju pria itu dengan gemetaran. Ia masih terpejam menahan sakit di sekujur tubuhnya yang amat sangat. Tiba-tiba telapak tangan kirinya ia tekan dengan kuku-kukunya yang panjang di tangan kanan, saking kuatnya hingga tersayat dan berdarah.
“Amanda, hentikan!”
Setelah beberapa saat, Amanda baru berhenti melukai telapak tangan kirinya. Nafasnya yang tersengal kini pelan-pelan teratur kembali. Matanya yang terpejam perlahan terbuka. Tubuhnya jatuh lemas. Ia mendapati seorang pria menggendong tubuhnya. Entah kenapa tangannya melingkar di leher pria itu dengan nyaman, kepalanya bersandar di dadanya. Ia bisa merasakan dirinya diangkat dan dibawa pergi dari sana. Siluet pria yang tadinya buram itu kini terlihat jelas. Amanda memanggilnya lirih dengan kekuatannya yang tersisa.
“Alfa…”
Pria itu melangkah sembari menggendongnya di depan. Ia tersenyum menatap Amanda

The GladiolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang