Rubah

5 2 0
                                    

“Darimana dia mengetahui tentang panti asuhan itu?”
“Dokumen tidak mencantumkannya, tapi Ando tahu panti asuhannya bernama Motherwood.”
“Menarik. Kau ingin aku terlibat?”
“Tidak.”
“Kenapa?” Rataka terdengar kesal.
“Kau pikir ini game?”
“Pak Tua, jujur saja,” Rataka tiba-tiba mendekat. “Kau harus mulai menyekolahkan anak laki-lakimu padaku.”
“Kau gila?!”
“Kau akan membiarkannya seumur hidup seperti itu tanpa mengetahui jati dirinya? Kejam sekali. Ayah macam apa kau.”
Holan tertegun. Alisnya mengkerut. Ia makin tidak nyaman melihat senyum hardik Rataka.
“Jangan memancingku.”
“Iya, iya. Lucu sekali melihat mukamu yang tegang itu. Tapi…aku tidak bercanda. ”
“Baiklah, baiklah. Lakukan semaumu pada Ando sialan itu.”
“Benarkah? Hoi kau jangan tarik ucapanmu ya.”
Holan membuang muka. Rataka memainkan lidahnya sembari melirik ke arah samping. Tidak jauh dari tempat ia berdiri, di sudut bar, ada sebuah peti panjang yang berada di dalam kotak kaca. Terlihat tua dan menyeramkan, benda itu mengeluarkan aura sakti berwarna keemasan.
“Aku akan sedikit main-main besok denganmu, mainan kecilku.”
***
“Dio,” panggil ayah dari luar pintu. “Kau sudah tidur?”
“Belum. Masuklah, Ayah.”
Holan membuka pintu kamar dan mendapati anaknya tengah mengerjakan sesuatu di depan laptopnya.
“Kau sibuk?”
“Ya begitulah. Apa ada yang mau ayah bicarakan?”
Holan duduk di tepi kasur. Dio memutar kursinya dan bersiap mendengarkan ayahnya.
“Kau dan Amy baik-baik saja kan akhir-akhir ini?”
Dio menyadari ayah menanyainya dengan hati-hati.
“Kami baik-baik saja. Tidak ada hal serius yang terjadi, kecuali Amy yang tiba-tiba mendatangi sekolahku kemarin tanpa bilang apa-apa hingga membuat semua teman-temanku heboh.”
“Benarkah?” Holan tertawa renyah membayangkan Amy mengacau. “Anak itu… dasar…”
“Kalau ayah? Apa kau baik-baik saja akhir-akhir ini?”
“Jangan mengkhawatirkan ayahmu ini. Semuanya baik-baik saja.”
“Apa ayah menangani kasus yang sulit lagi?”
“Tidak ada kasus yang mudah.”
Dio tersenyum lega.
“Kalau begitu lanjutkan kegiatanmu. Ayah kembali dulu.” Holan berdiri dan beranjak hendak keluar kamar, namun tiba-tiba Dio mengatakan seuatu yang membuat langkahnya terhenti.
“Itu saja?”
Ayah menoleh. Ia melihat Dio yang tersenyum lembut seperti biasa. Namun sorot matanya berbeda dari yang tadi.
“Ada apa?”
“Ada rubah di matamu.”
“Apa?” Ayah melebarkan matanya tidak paham.
“Itu pepatah.”
“Ada pepatah seperti itu?”
“Ada.”
“Apa artinya?”
“Bohong. Ayah sedang berbohong.”
Holan mendekat ke meja Dio. “Apa pepatah itu dari negara kita? Aku tidak pernah mendengarnya.”
Dio hanya menarik kedua sudut bibirnya, tidak berniat membalas pertanyaan ayah.
“Apa ada yang ingin kau ketahui?”
“Tidak, Yah. Kembalilah bekerja. Aku bisa mencarinya sendiri.” Dio lagi-lagi melempar senyum yang misterius, yang tidak diketahui artinya oleh Holan.
“Baiklah. Aku akan kembali ke ruang kerja. Kau belajarlah.”
Ayah menepuk bahunya kemudian keluar meninggalkan kamar. Dio pura-pura menatap layar laptop dan sibuk mengetik, padahal ia menyadari gerak-gerik ayahnya yang menyembunyikan sesuatu. Meski sudah ketahuan, ayah masih tidak memberitahunya.
Di luar kamar, Holan menghela napas berat. Sepertinya kata-kata Rataka benar bahwa ia memang harus segera mengatakan semua detailnya pada Dio.
“Aku tahu kau fokus pada Amy, tapi jangan lupakan putramu. Dia punya sense yang tinggi dan aku melihat ada aura aneh di tubuhnya. Meski kau tetap memaksa membesarkannya menjadi anak normal, ketahuilah Holan, kau adalah ayah mereka, dan harusnya kau yang paling paham kalau mereka berbeda dari anak-anak biasa.” Rataka serius memperingatkan Holan.
“Lain kali ajaklah Dio kemari. Dia cocok jadi adikku. Bukankah begitu?” candanya lagi.
“Ingatlah. Kau itu sudah kakek-kakek,” cibir Holan.
“Cih. Kau ini. Aku ini pria 25 tahun! Ingatlah itu!”
“Kalau kau menangani Ando, jagalah Amy dan Dio sesekali. Kemarin ada yang ingin membuat mereka kecelakaan saat pulang sekolah.”
“Apa? Kenapa kau baru bilang padaku?! Tapi selama Ando tidak mengetahui kalau kau mengetahui rahasianya sih, sepertinya dia bukan ancaman untuk sekarang. Aku akan memantau anak-anakmu. Sepertinya usia mulai memakan kepekaanmu.”
***
“Pergi! Pergi! Jangan menempel di tubuhku! Cepat mati, Anak Sialan! Jangan menempel di tubuhku seperti lintah!”
Amy melihat seorang wanita muda yang wajahnya buram dan tidak jelas tengah memukul-mukul perutnya, padahal tengah hamil besar. Amy menatapnya intens. Wanita itu terus memukul perutnya, awalnya tidak terlalu keras hingga pukulannya terdengar di gendang telinga Amy seolah dirinya yang dipukuli.
Buk! Buk! Bukk!
Suara itu memenuhi telinga hingga jantungnya sesak dan nyeri.
“Jangan menempel di tubuhku! Pergi!!! Aaaaaaa!”
Deg degh, deg degh, deg degh
Wajah Amy memucat, sekitarnya menjadi buram dan gelap. Bibirnya terlipat ke dalam, lidahnya ia gigit untuk menahan sakit di ulu hati. Jantungnya seolah akan mencuat keluar. Kepalanya berputar-putar, suara wanita itu mengelilingi otaknya, nafasnya tak beraturan, Amy tak mampu lagi menahan rasa sakit ini. Ia seperti berada di dalam kotak kecil sempit, tidak ada oksigen dan terus-terusan dipukuli menggunakan palu dari luar kotak tersebut.
Itu adalah rahim ibunya sendiri.
Amy memegang kepalanya dan berjongkok lemas di tengah jalan raya sembari memegang kepalanya. Ia memejamkan mata dan menahan nyeri. Dio berteriak memanggilnya dari seberang jalan hingga warna lampu berubah merah. Teriakan Dio tak sampai padanya.
“Amy! Awas mobil!”
Bab 17 Nekrolalia
“Aku ingin mati…”
“Aku ingin tenggelam…”
“Aku ingin lenyap dari dunia ini….”
“Kenapa aku dilahirkan?”
“Kenapa aku hidup?”
“Kenapa….”
“Aku berjalan dengan kedua kakiku sendiri. Aku melewati tebing dan kerikil tajam seperti paku dengan kakiku sendiri. Aku melewati badai dan angin yang hampir menggulingkan tubuhku di tanah. Aku hanya punya diriku sendiri. Aku ingin hidup tapi aku takut melaluinya. Aku tidak punya siapa-siapa tapi aku ingin disayangi. Aku ingin dipeluk tapi tangan dinginku tidak bisa menghangatkan tubuhku sendiri. Aku bukan kucing, tapi aku manusia yang terlantar seperti kucing. Aku ingin jatuh ke lautan yang paling dalam. Tenggelam bersama ikan-ikan, dimakan lumut dan menjadi fosil. Aku tidak mendengar apapun, aku tidak melihat apapun, aku mati tanpa siapapun tahu.”
“Amy! Awas mobil!”
Syaaaat
Seekor rubah berlari cepat ke arah Amy dan melewatinya begitu saja. Rubah berwarna keemasan dengan mata tajam menghadang mobil itu kemudian berlari menabrakan diri hingga mobil tersebut oleng ke sisi jalan dan menabrak pohon. Rubah itu terlempar ke pepohonan dengan darah yang tercecer di jalan. Sesaat sebelum menghilang menjadi debu.
Seolah waktu berhenti. Udara berhenti, Dio mematung, daun-daun mengambang di udara dan asap dari depan mobil membeku. Seorang pria menghampiri Amy, menggendong tubuhnya yang  pingsan terkapar di jalan ke tepian. Dio menggerakkan pupil matanya tanpa bisa menggerakkan seluruh tubuhnya. Ia menatap Amy dan pria asing itu.
“Dia bukan ancaman. Tapi siapa dia?”

The GladiolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang