Garis Batas

4 2 0
                                    

“Dokter Yohan?”
Amy tertegun melihat seseorang yang masuk ke dalam ruangan itu adalah Dokter Yohan, dokter pribadi Bu Nadia. Beberapa dokter memang merawatnya, namun Dokter Yohan mendapat tugas khusus langsung dari Direktur. Ia lebih muda dari Mayor, usianya sekitar 30-an namun ia dokter yang cerdas dan tampan. Ia populer dan dicintai banyak orang di rumah sakit ini.
“Nona Muda Amy, ternyata benar ada di sini. Tadi beberapa suster membicarakanmu di lobi bawah.” dokter tersenyum ramah.
Amy masih waspada, namun ia berusaha membalas senyumannya dan kembali berpura-pura menjadi karakter nona muda yang menyenangkan.
“Jadi Dokter kemari karena mendengarku menjenguk ibu?” tanya Amy polos. Ia tengah megarahkan pembicaraan.
Dokter Yohan mendekat dan memeriksa kondisi vitasl Bu Nadia. Ia memeriksa denyut nadi di pergelangan tangan  kemudian memeriksa cairan infus.
“Bukan, tapi itu juga salah satunya.”.
“Akhir-akhir ini aku jarang menjenguk ibu. Jadi tidak pernah melihat Dokter Yohan.” Amy kembali duduk dan mengobrol santai dengannya. Begitu juga dengan Dokter yang menanggapinya dengan ramah seperti biasanya.
“Nona Muda mau segelas susu? Aku akan mengambilkannya.”
“Tidak. Tidak perlu repot-repot. Daripada itu, bagaimana kondisi Ibu?”
“Tidak ada yang berubah. Tidak membaik maupun memburuk. Masih stagnan seperti sejak dulu.”
“Begitu, ya,” sahut Amya. Ia bergumam dalam hatinya. “Tentu saja aku tahu kondisi ibu stagnan. Karena aku dan Mayor yang membuatnya dalam kondisi statis seperti ini.”
Dokter Yohan tersenyum hangat ke arah Amy. Ia menganggapnya anak kecil yang tengah mengkhawatirkan ibunya.
***
Amy duduk di depan minimarket. Ia meminum sekaleng soda dan ngemil beberapa snack. Ia meletakkan coatnya di atas meja bundar depannya.
Tiba-tiba seseorang mengambil coat itu dan meletakkannya di bahu Amy dari belakang. Ia sudah menduga siapa orang iseng yang sok memperhatikannya.
“Siapa yang menyuruhmu kemari?” Amy bertanya dengan judes.
Dio muncul dari belakang lalu duduk di depannya.
“Ayah mencarimu.”
“Lalu?”
“Tentu saja dia menyuruhmu pulang.”
Amy membuang muka ke samping sembari menyeruput minumannya.
“Kau sebenci itu denganku?”
“Hem.”
“Kudengar kau juga cuek dan dingin di sekolah. Tidak bisakah kau lebih terbuka? Maksudku agar kau berhenti berpura-pura baik di depan keluarga, tapi ubah sifatmu menjadi seperti itu.”
“Kau ini kenapa sih, terus-terusan menceramahiku?”
“Dasar keras kepala.”
“Kau pernah dengar menyukai orang tidak butuh alasan? Itu juga berlaku untuk sebaliknya.” Amy berdiri hendak meninggalkan Dio. “Membenci seseorang juga tidak perlu alasan.”
Amy melangkah pergi. Dio mengejarnya dan meneriakinya dari belakang.
“Karena ibu?”
Amy berhenti. Membisu sejenak.
“Aku tahu kau begini karena kondisi ibu,” cecarnya. “Karena kau merasa bersalah tentang ibu pada malam itu, kau jadi membuat jarak denganku. Aku pernah lihat kau masuk ke kamar ayah, setelah keluar matamu sembab. Ayah pasti menceritakan banyak hal tentang ibu kan?”
Amy menoleh ke belakang. Ia tidak sadar Dio melihatnya sejauh itu.
“Kau takut aku membencimu karena kau merasa menanggung apa yang menimpa ibu! Kau takut Mayor akan membuangmu dan mengembalikanmu ke panti asuhan yang kau benci itu! Kau takut dan kesepian tapi bersamaan dengan itu kau juga menginginkan seseorang di sisimu! Kau bersikap layaknya Nona Muda untuk terlihat sempurna di depan kakek dan keluarga yang lain agar kau tidak mempermalukan ayah! Kau…”
“Berhenti! Berhenti! Berhenti!” Amy berteriak sembari menutupi telinganya. Ia berjongkok frustasi. Tangannya gemetaran, matanya berkaca-kaca.
“Kenapa? Kenapa?! kau takut mendengar kenyataan? Kau takut menghadapiku kan?!” Dio mendekat dan mencengkeram bahunya. “Aku tahu kau berbeda dari yang lain. Di usiamu yang lebih muda dariku ini kau memahami semuanya seperti orang dewasa. Karena itu aku berbicara begini. Sadarlah Amy!” ia mengguncangkan bahu kecil adiknya.
“Sadarlah kau tidak sendirian!” mata Dio berkaca-kaca. Ia merasakan tubuh Amy gemetaran. Dilepasnya cengeramannya di bahu kecil itu. Dio menatapnya pilu.
Sesaat dirinya baru menyadari telapak tangan kiri Amy dibalut perban. Ia memegangnya lembut.
“Pasti sangat sakit,” mirisnya. “Kau sudah terlalu sering terluka.”
Dio membantunya berdiri, lalu memeluknya. Mereka berdua sama-sama menyembunyikan air mata satu sama lain.
Amy berusaha tenang sembari menarik napas pelan, ia bersusah payah mengendalikan emosinya. Dirasakannya tangan halus kakaknya menyentuh luka di telapak tangannya yang perih. Kali ini dirinya lebih menurut.
Mereka berdua akhirnya pulang dengan menaiki mobil yang sebelumnya dibawa Dio. Keduanya duduk di belakang. Amy tertidur di bahu kakaknya. Dio menyelimutinya dengan coat agar tidak kedinginan. Hari sudah malam.
“Kita pulang saja, Pak Supir,” perintahnya. Supir mengangguk dan mobil melaju pelan menuju rumah.
Di dalam ruangannya, Mayor tengah sibuk mengetik sesuatu di laptopnya. Ia menyadari pintu utama terbuka. Amy dan Dio sudah pulang. Mayor menutup laptopnya dan keluar menghampiri mereka. Betapa terkejutnya begitu melihat pemandangan langka, Amy yang tengah digendong Dio. Padahal mereka tidak pernah akur sebelumnya kecuali dalam acara keluarga.
“Apa kalian bertengkar hebat hari ini?” tebak Myor sembari menyilangkan lengan di depan dada.
Dio mendongak menatap ayahnya. Ia hanya diam, tidak ingin berbicara apapun.
“Sepertinya kau lelah. Tidurkan Amy di kamarnya, setelah itu mandi dan tidur,” kata Mayor. Ia tersenyum simpul lalu menepuk lengan Dio kemudian kembali ke ruangan kerjanya.
Dio membawa naik Amy, dua asisten rumah tangga perempuan yang mengenakan baju maid bergegas menghampirinya.
“Apa perlu kami membantu Tuan Muda membawa Nona Muda naik?”
“Tidak perlu, Bi. Aku saja.”
Sesampainya di kamar Amy, Dio menurunkan adiknya perlahan ke kasur. Menyelimutinya dengan lembut, lalu melepaskan high heels-nya dengan pelan, dipandanginya kakinya yang merah-merah.
“Aku lupa kalau dia kabur dari acara keluarga tadi siang. Bagaimana bisa dia pergi dengan memakai sepatu yang menyakitkan ini?”
Selama ini Dio tidak menyadari bahwa adiknya hanya bersikap pura-pura kuat, tanpa tahu bahwa dia juga menderita. Menahan semuanya seperti orang dewasa padahal hanyalah gadis kecil di matanya. Ia teringat Amy yang menahan tangisnya tadi.
“Kenapa kau menahan air matamu? Kenapa kau berpura-pura kuat? Kenapa kau tidak membiarkanku jadi kakak yang berguna?” Dio memegang erat high heels berwarna ungu itu sembari menunduk menahan kesedihannya. Ia memegang dadanya yang sesak. Begitu pedih dirinya melihat Amy yang menahan semua ini sendirian.
Tanpa Dio ketahui, Amy membuka matanya perlahan. Air matanya luruh, menetes perlahan di bantalnya. Di dalam selimut ia memegang luka di telapak tangan kirinya, sembari bergumam.
“Ternyata luka fisik ini, sama sekali tidak ada apa-apanya dibanding melihat Kak Dio menangis di depanku. Aku sudah melebihi batas hari ini. Kenapa aku begini?”
Amy melihat kakaknya menunduk mengenggam sepatunya dan menangis sesenggukan. Bahunya naik turun dalam keheningan.
“Maafkan aku, Kak,” batin Amy. Ia ingin berteriak sekeras mungkin.
Di luar, Mayor tengah menghentikan Bibi yang membawa nampan berisi segelas susu hangat  untuk Amy.
“Pak Satria?” Bibi terkejut melihat Mayor berdiri di depan pintu Nona Muda tanpa melakukan apapun.
“Bawa kembali susu hangat ini, Bi,” Mayor tersenyum. “Sepertinya anak-anakku sudah tumbuh dewasa tanpa meminum susu itu.”

The GladiolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang