Polisi berpencar ke seluruh bangunan di panti asuhan Motherwood untuk menemukan keberadaan Amanda. Bocah sembilan tahun yang mengenakan rok selutut berwarna ungu gelap telah hilang dari kamarnya sejak kejadian semalam. Bu Sari menghubungi polisi sekitar pukul sebelas malam. Meskipun ia ragu apakah harus menghubungi polisi atau orang pintar, ia akhirnya menghubungi polisi dengan tubuh gemetaran hingga jari-jarinya kesemutan dan mati rasa.
“Apa anda baik-baik saja?” tanya polisi yang berjongkok memegang bahu Bu Sari yang duduk di kursi plastik kecil di tengah ruangan.
Bangunan yang Bu Sari tinggali adalah bangunan utama, dimana ada dua bangunan lain yang berada di sebelah timur dan barat. Bangunan utama nampak seperti rumah pada umumnya, yang ditinggali oleh Bu Sari, Marina, Pak Santos, Amanda dan beberapa anak khusus dan disabilitas. Lantai satu adalah tempat tidur pengasuh dan lantai dua tempat tidur anak-anak. Namun malam itu, Marina dan Bu Sari memutuskan untuk tidur di atas karena Amanda beberapa hari terakhir menunjukkan tanda-tanda aneh. Dan terjadilah peristiwa itu.
Polisi datang hampir tengah malam, karena lokasi berada di panti asuhan, sirine sengaja tidak dinyalakan. Sesampainya di sana tim polisi melihat Bu Sari yang tergeletak pingsan dengan teleponnya yang masih menyala di lantai satu dekat tangga. Polisi membagi tim untuk menelusuri bangunan utama di lantai satu. Pak Santos keluar dari kamarnya setelah pintu kamarnya diketuk polisi.
“Loh ada apa ini? Kenapa ada polisi?” Pak Santos linglung. Ia digiring polisi menuju ruang tengah dan mendapati Bu Sari pingsan di sofa, ada polisi wanita berjaga di sampingnya.
“Bu Sari!” paniknya. “Apa yang terjadi dengan Bu Sari?”
“Ada pembunuhan di lantai atas, kamar paling sudut dekat kamar mandi anak. Ada polisi yang menelusuri di lantai dua. Apakah anda mendengar sesuatu sebelumnya?”
“A…apa? Tidak mungkin. Aku tidak mendnegar kekributan apapun,” Pka Santos nampak berpikir keras. “Aku akan ke atas.”
Pak Santos naik ke lantai dua dan melihat seluruh anak berkebutuhan khusus berada di luar dan dijaga dua polisi. Ia mendekat dan memeluk anak-anak tersebut. Dua dari lima anak menangis.
“Anak-anak, tenanglah, tidak ada yang terjadi.”
“Apa anda wali anak-anak selain Bu Sari?”
“Iya. Saya suaminya.”
“Silahkan antar anak-anak ke lantai satu dan mohon setelahnya ikut saya,” polisi menunjuk dengan sopan kamar Amanda yang dibatasi garis kuning.
“Amanda…apa Amanda…tidak mungkin kan Pak Polisi, tidak mungkin Amnada meninggal?” Pak Santos berkaca-kaca.
Dua polisi itu saling melihat satu sama lain dan akhirnya berat hati berbicara.
“Amanda adalah pelakunya.”
Degh.
Pak Santos hampir terjatuh dan oleng. Matanya terbuka lebar dan alisnya berkerut, mulutnya ia bungkam, tidak ingin mempercayai kenyataan.
Pak Santos mengantarkan anak-anak ke bawah. Ia lalu kembali ke atas dan melihat pemandangan kamar Amanda yang tak manusiawi.
“Ini…mayat Marina?”
Sebuah kerangka manusia tergeletak utuh dengan tulang belulang putih berwarna aneh kebiru-biruan. Nampak seperti kerangka palsu yang biasa dipajang di laboratorium sekolah. Seluruh dinding dan perabotan di dalam kamar itu terciprat darah, termasuk di bawah kolong kasur, kolong lemari, gorden dan kaca jendela. Bagaimana mungkin seorang anak mampu menguliti kulit dan daging orang dewasa dan membuat seluruh kamar menjadi ladang darah seperti ini?
“Bukan Amanda…ini bukan perbuatan Amanda, Pak? Percaya dengan saya!” Pak Santso berusaha meyakinkan polisi dengan segenap kekuatannya.
“Kami juga tidak seketika mempercayainya, Pak. Namun pemilik kamar ini adalah Amanda. Dan anak itu sekarang menghilang, kami sudah mengerahkan tim untuk mencarinya di seluruh bangunan panti.”
“Aku harus menyadarkan isteriku segera. Dia pasti tahu ini. Tolong jangan memutuskan anak itu sebagai pelaku, Pak. Sepertinya ini ada hubungannya dengan kekuatan supranatural. Polisi tidak akan memahaminya!”
Pak Santos berjongkok dan melihat darah di lantai dengan seksama lalu menjulurkan jali telunjuknya untuk ditempelkan.
“Darah ini bukan darah biasa, ini bukan hanya milik Marina. Ini lebih banyak daripada itu. Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa aku tidak mendengar apapun dan malah dengan bodohnya tertidur nyenyak?” gumam Pak Santos dalam hati, merutuki sikapnya sendiri.
“Bapak?” Bu Sari melihat Pak Santos berjongkok di depan mayat Marina.
“Ibuk?” Pak Santos keluar. “Kau baik-baik saja? Di mana Amanda, Buk? Apa yang terjadi?”
“Anak itu sudah tidak waras, Pak! Dia anak setan! Anak setan! Anak setan!” Bu Sari tiba-tiba menggila.
Bu Sari terjatuh dan terduduk di lantai depan kamar. Dua orang polisi dengan sigap mendekat dan membantu Pak Santos membawa Bu Sari turun dari lantai dua.
Sementara itu beberapa polisi yang berpencar di bangunan barat membuka satu persatu kamar. Anak-anak lainnya berkumpul di aula tengah, tidak ada yang menangis namun mereka gemetar ketakutan melihat polisi berbadan besar tiba-tiba memasuki rumah mereka. Di bangunan sebelan timur beberapa anak masih tertidur dna beberapa yang lainnya harus menggendong mereka di punggung dan keluar dari kamar. Di sebelah barat ada tiga anak berusia 13 tahun dan 14 tahun yang cepat tanggap memahami situasi.
“Apa kita melakukan kejahatan, Kak?” tanya seorang anak berusia lima tahun yang di gendong.
“Tidak. Pak Polisi datang untuk membersihkan pencuri (permainan anak-anak) yang mencuri mainan kita,” kata anak laki-laki yang menggendongnya.
“Kakiku kesemutan, Kak.”
“Iya. Sebentar lagi ya. Sebentar lagi kita akan kembali ke kamar dan tidur.”
Polisi juga menelusuru area halaman depan dan belakang. Halaman belakang dipisah dengan pagar panjang, tingginya sekitar dua meter.
“Laporkan keadaannya sekarang,” suara dari seberang telepon yang diangkat salah seorang polisi.
“Pukul 23.40 telah ditemukan kerangka seorang perempuan yang teridentifikasi sebagai salah satu pengasuh di panti asuhan bernama Marina Edawa, 26 tahun, perempuan. Kondisinya hanya tersisa kerangka tulang belulang dengan darah yang bercecer di seluruh ruangan termasuk langit-langit kamar. Jika diidentifikasi, ini bisa tercatat sebagai bom bunuh diri terberat dan terparah namun kami tidak menemukan ranjau di sekitar. Pemilik kamar adalahs eorang bocah berkebutuhan khusus bernama Amanda, 9 tahun,perempuan. Saat ini dia menghilang, kami sedang mengatasi situasi karena anak-anak mulai ramai dan menangis. Apa kita perlu evakuasi seluruh anak-anak di pantu asuhan, Mayor?”
“Terima kasih informasinya. Cukupkan dulu penjagaannya. Ini masih jam 2 pagi, kondusifkan anak-anak, suruh mereka kembali tidur. Aku akan ke sana jam 5 pagi.”
Mayor Holan menutup telepon. Ia duduk di depan meja, di ruangannya yang agak gelap di rumahnya. Ia mengaitkan kedua tangannya di tas meja, nampak berpikir serius dan juga tidak terkejut dengan peristiwa aneh itu. Dia menghela napas dan berdiri dari kursinya lalu berjalan ke arah saklar lampu. Ia menekannya dan lampu pun menyala.
Seorang anak perempuan bergaun ungu yang seluruh tubuhnya di lumuri darah berdiri di depan jendela panjang seukuran badan orang dewasa. Mayor Holan meletakkan kedua tangnnya di belakang punggung, seolah sigap. Ia menatap anak perempuan itu dengan wajah datar.
“Aku tidak membunuhnya,” kata anak itu.
Dia adalah Amanda.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Gladiol
Mystery / ThrillerSegitiga Merah, sekte sesat yang menumbalkan jiwa-jiwa yang berasal dari bangsa Penyegel Mantra dan keturunannya, salah satunya adalah Amanda. Ia adalah seorang gadis kecil indigo yang berusia 9 tahun yang tinggal di panti asuhan Motherwood. sebuah...