Teman Lama

2 2 0
                                    

Letnan Holan berada di markas pelatihan polisi.
“Hormat, grak!”
Pimpinan barisan polisi memberi hormat pada Letnan Holan di lapangan.
Sejak Dio mulai masuk kuliah, Holan fokus untuk menjadi pembimbing di markas pelatihan. Ia jarang pulang dan hanya berada di rumah di hari minggu. Kedua anaknya sendiri paham kondisinya, meskipun Amy sangat bersemangat mengira akan diberi kemudahan untuk tinggal mandiri, namun Holan tetap bersikeras sesuai perjanjian awal, yaitu menunggu sampainya lulus SMA. Dio mendapatkan mobil baru dari Holan dan direktur, namun ia kadang memilih naik bus ke kampus. Ia akhirnya berhasil masuk ke universitas impiannya, kampus yang sama dengan Arvy. Arvy sendiri tinggal di apartemen yang tak jauh dari kampus, karena ia memilih yang dekat sekaligus agar bisa memantau bar-nya.
“Letnan, kau akan kembali hari ini?” tanya polisi bawahannya.
“Iya, aku ingin menjenguk isteriku.”
“Oh begitu, baiklah. Semoga anda memiliki waktu yang menyenangkan.”
Holan sore itu mengunjungi Nadia di rumah sakit, ia bahkan berbincang ringan dengan Dr. Yohan di ruangannya.
“Anda tahu Tuan Muda Dio mengambil jurusan dan fakultas apa?” tanya Yohan sembari minum kopi, Holan duduk di kursi yang dipisahkan meja di depannya.
“Entah apa yang merasukinya. Sebelumnya ia bilang ingin bekerja di perusahaan, tiba-tiba setelah hari H, dia berubah pikiran dan berkata ingin masuk kedokteran. Oh ya, Yohan, panggil saja dia Dio, tidak usah embel-embel Tuan Muda.”
“Iya, Pak Holan. Kemarin kami bertiga sempat makan chicken di kamar Bu Nadia. Mungkinkah Dio berubah pikiran setelah membaca tesisku?” Yohan tiba-tiba teringat percakapan kemarin.
“Tesis?”
“Ya. Dio tertarik dengan tesis kedokteran yang kutulis saat aku mengambil gelar magister.”
“Benarkah?” Holan nampak berpikir sejenak. Ia menyeruput kopinya. “Aku tidak menyangkanya.”
“Apa anda sudah kembali dari bertugas?”
“Tidak, aku hanya mampir karena ini akhir pekan.”
Tiba-tiba telepon di meja berdering, Dr. Yohan segera mengangkatnya. Ada kondisi darurat dari seorang pasien. Ia manggut-manggut kemudian mengatakan akan segera ke ruang operasi.
“Sepertinya kau sibuk meskipun di hari minggu,” kata Holan.
“Ya begitulah, tiba-tiba aku ada operasi hari ini. Namanya juga manusia, kita tidak tahu kapan akan jatuh sakit, kita juga tidak bisa menghindarinya, meskipun itu di akhir pekan.”
Holan tersenyum mendengar kalimat bijaknya. “Bergegaslah, aku akan ke mengunjungi Nadia sebentar lagi. Kopinya harus kuhabiskan bukan?”
Yohan membalasnya dengan senyuman kecil. Ia meraih jubah putih kebesarannya lalu berlari kecil keluar ruangan.
Holan menghela napas, ia masih menikmati kopinya di sana.
***
“Apa kau Amy yang terkenal itu?” sapa teman yang duduk di sebelahnya.
Amy mengiyakan dengan tidak nyaman. Sepertinya dia salah arah karena masuk ke sekolah yang sama dengan kakaknya. Meskipun Dio sudah lulus masih banyak orang yang mengenalinya.
“Kau benar-benar cantik seperti yang dirumorkan?”
“Kau adiknya Kak Dio, ya?”
“Kak Dio sangat tampan, jadi adiknya pasti cantik.”
“Bolehkah kita berteman.”
“Dasar cewek-cewek genit. Kalian pikir aku tidak tahu motif kalian mendekatiku? Cih dasar,” gumam Amy dalam hatinya.
Dari luar penampilan teman-temannya, Amy tahu isi terdalam hati mereka, tergambar jelas hingga mencuat keluar, aura-aura yang biasa dimiliki anak remaja, kemerah-merahan dan merah muda. Meskipun dari luar mereka tampak ramah, di dalam hati mereka tidak begitu.
“Aku harus mendekatinya, agar berhasil dapat nomornya Kak Dio.”
“Dia anak orang kaya, aku harus mendekatinya dan berteman dengannya.”
“Aku harus bisa memanfaatkan wajahnya agar bisa dapat banyak teman cowok.”
“Cantik apanya, dibandingkan dengan wajahku masih kalah banyak, dasar!”
Amy tersenyum sarkas.
“Manusia benar-benar menarik. Pikiran mereka dan wajah mereka, kepalsuan kentara yang sangat bodoh, benar-benar menarik,” ia menarik salah sudut bibirnya, matanya melirik temannya satu persatu sembari tersenyum hangat dengan penuh kepalsuan dari luar.
“Mereka berakting, bukankah aku juga harus berakting?” pikirnya.
Tiba-tiba, ia menangkap sesuatu di sudut dekat loker belakang. Ada seorang murid remaja berwajah pucat, dengan rambut terurai menutupi wajah. Kakinya telanjang dan seluruh seragamnya dilumuri darah.
Amy menghela napas, tentu saja hanya dia yang bisa lihat. Namun ia memalingkan wajahnya, berpura-pura tidak melihatnya.
“Hai,” sapa seseorang dari belakang kerumunan cewek-cewek yang mengelilinginya.
Amy tidak melihatnya, baru setelah cewek-cewek itu pergi, seorang siswa laki-laki mendekatinya, betapa terkejutnya dirinya.
“Kau…masih ingat aku?”
“Alfa?!”
Amy terkejut dan mematung sejenak. Kemudian ia bangkit dari duduknya dan menarik lengan Alfa keluar kelas. Siswa-siswi di sana menoleh ke arah mereka. Amy mengajak berbicara di lorong dekat tangga yang sepi.
“Bagaimana kau bisa di sini?” Amy melihat dari ujung kaki hingga ujung kepala, Alfa mengenakan seragam sekolah yang sama dengannya. “Apa yang terjadi denganmu.”
Alfa tak bisa menahan tawanya, ia tertawa lepas. Namun Amy yang melihatnya semakin bingung, jadi dia kembali menjaga sikap dan ekspresinya.
“Aku sudah di sini sejak tahun lalu. Aku adalah kakak kelasmu.”
“HA?!”
“Kau tidak ingat saat kita bertemu di kereta?”
Amy memiringkan kepalanya, ia pun teringat bahwa Alfa saat itu mengenakan seragam sekolah ini.
“Kenapa saat itu aku tidak menyadarinya, ya?”
“Karena kau bergegas pergi. Begitu melihatku kau langsung pergi dari sana.” raut wajahnya berubah sedih. Amy merasa bersalah.
“Maafkan aku, aku takut menghadapimu. Aku takut kau mengingatku sebagai pembunuh, aku takut kau tidak mau melihatku lagi, aku….”
Alfa tiba-tiba memeluk Amy, hingga membuat Amy membatu.
“Sudahlah. Itu semua masa lalu. Ada yang ingin aku sampaikan saat itu. Sebenarnya…aku…sangat merindukanmu, Amanda”
Degh.
“Sudah lama sekali sejak aku dipanggil dengan nama itu, seolah aku kembali ke masa kecil di panti asuhan.”
Meski semuanya bukan kenangan baik, namun ada hal-hal menyenangkan yang setidaknya otaknya rekam. Yaitu kenangan bersama saat mereka masih bertiga, bersama Rama. Tanpa sadar, Amy menitikkan air mata, ia membalas pelukan Alfa. Temannya yang dulu lebih pendek dan lebih kecil darinya itu, kini memiliki dada yang hangat dan nyaman. Ia merasa sangat bersyukur.
“Aku juga merindukanmu.”
Mereka berdua melepaskan pelukan dan berdiri berhadapan dengan canggung. Namun keduanya saling melempar senyum tipis satu sama lain.
“Ah iya, aku lupa, sekarang namamu Amy, ya,” ujar Alfa. “Maaf tadi aku lupa memanggil namamu yang dulu.”
“Tidak apa-apa.”
“Bagaimana keluargamu?”
“Baik-baik saja.”
“Apa kau…bahagia?”
Amy menatapnya sejenak kemudian menjawab. “Aku bahagia.”
“Syukurlah.”
-Flashback acara kelulusan Dio-
Dari jauh, Alfa melihat interaksi Dio dan seorang pria (Arvy) yang tidak ia kenal. Sangat berbeda dengan Alfa yang sekarang menyapa ana berbicara dengan ramah pada Amy. Ia menatap intens Dio kala itu, wajahnya dingin dan matanya memicing tajam.
“Dio tidak menyadari keberadaanku selama sekolah di sini padahal aku adalah adik kelasnya,” ia tersenyum licik. “Ini kesempatanku untuk membangun hubungan baik dengan Amanda.”
Alfa berbalik dan mendapati seseorang yang memakai setelan hitam rapi memergokinya dari belakang. Alfa yang wajahnya tadi sangat puas berubah ketakutan.
“Kemarin kau kecanduan dengan alkohol, rupanya sekarang kau akan melancarkan aksimu mendekati gadis pujaan hatimu ya,” pria asing itu menepuk pundaknya dan berbisik pelan, Alfa tegang dan menelan ludah dengan susah payah. “Kuperingatkan, kau tidak boleh menyentuh gadis itu, kalau kau membuatnya kehilangan kegadisannya, kupastikan jejakmu di bumi ini, lenyap tak bersisa.”
Sesaat kemudian pria itu pergi meninggalkan Alfa yang berdiri dengan tegang dan mematung.
-Kembali ke masa sekarang-
“Kalau begitu kembalilah ke kelasmu. Sebentar lagi bel masuk.”
“Em, baiklah. Kau duluan saja.”
Amy melangkah menjauh, sesekali ia menoleh ke belakang dan melambai. Begitu juga Alfa yang membalasnya. Ia sangat senang  mengikuti pelajaran di kelasnya, sampai-sampai teringat dengan pelukan hangat Alfa, tanpa tahu motif pria itu yang sebenarnya. Amy sendiri tidak bisa menyadari energinya diserap, karena ia memiliki energi yang besar dan hampir tidak tebatas, meski begitu ia merasa ada yang aneh, walaupun berusaha ia tepis karena terlalu bahagia bertemu dengan Alfa, teman masa kecilnya kembali.
“Ah kenapa aku tidak menanyakan tentang Rama tadi, ya?” Amy menjitak kepalanya sendiri. Ia baru ingat saat sudah sampai di kelas. “Aku pasti jadi bodoh karena terlalu senang, aishhh” gumamnya.
Sesaat sesudah Amy berbelok ke koridor lain, Alfa mengubah ekspresi wajahnya menjadi tajam. Ia tersenyum dengan puas dan menghirup tangan kanannya yang tadi ia gunakan untuk mengusap rambut harum Amy saat memeluknya.
“Aku benar-benar tidak bisa menahannya, kalau bukan karena si atasan sialan itu, aku pasti akan memangsanya..”
Alfa memeluk dirinya sendiri membayangkan kembali bagaimana tubuh Amy melekat dan menyatu pada tubuhnya saat berpelukan. Tanpa Amy sadari, Alfa menyerap energinya. Ia melenguh dan mencium aroma harum di telapak tangannya dengan penuh hasrat.

The GladiolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang