Samsara

1 0 0
                                    

Rataka dan Arvy masih saling bersalaman dengan erat. Arvy tersenyum tipis kemudian mengatakan.
“Sepertinya kita memang pernah bertemu sebelumnya.”
Mereka melepaskan tangan.
“Mungkin saja. Aku sudah menemui banyak orang selama hidupku, bisa jadi kau salah satunya.” Rataka tersenyum tipis.
“Sepertinya kita seumuran.”
Direktur melihat interaksi keduanya.
“Arvy, apa yang membawamu kemari?” sela direktur di tengah-tengah percakapan mereka.
“Ah itu…”
“Sepertinya saya masih ada urusan, Direktur,” Rataka menyela, ia berdiri. “Kalau begitu terima kasih atas waktunya. Saya permisi dulu.”
“Baiklah.” Direktur tersenyum.
Setelah Rataka meninggalkan ruangan, barulah direktur berbincang dengan Arvy.
“Kakek, aku ke sini….”
“Sepertinya kau bukannya tanpa alasan membawakanku hadiah,” tebak Direktur sembari tersenyum. “Apa masalah ada, Vy?
“Bukan masalah besar. Aku cuma ingin mencari seseorang. Bisakah Kakek menemukannya untukku?”
“Sayang sekali, bunga tulip yang kau bawakan terlalu cantik. Aku jadi tidak bisa menolak. Jadi, siapa orang yang ingin kau temukan?”
“Bukan siapa-siapa. Cuma teman kuliahku dulu.”
“Perempuan?”
“Iya.” Arvy memalingkan mukanya malu.
“Yess!” Direktur mengepalkan tangannya dan meninju pahanya pelan.
“Kenapa?”
“Kau tahu betapa frustasinya aku dan ayahmu, anak sialan! Ayahmu selalu datang mengeluh bahwa kau tidak pernah dekat dengan wanita manapun sejak dulu. Dia mengkhawatirkanmu! Apalagi sekarang istilah ‘itu’ semakin marak di internet. Kau tidak tahu betapa hampir gilanya ayahmu?!”
“Ayah tidak pernah bertanya.”
“Itu karena kau sangat dingin. Aku bertanya-tanya AC merek apa yang kau letakkan di otakmu, sampai jadi sedingin ini.”
“Kenapa Kakek jadi memarahiku?”
“Maksudku, lebih terbukalah dengan ayahmu. Sekarang ini dirinya sudah tidak muda, dia khawatir melihat putra satu-satunya tumbuh tanpa cinta. Perbaikilah hubungan keluarga kalian.”
“Iya iya, Kek. Tadi maksudnya ‘itu’ apa?”
“Iya ‘itu’ loh. Yang pria tidak menyukai wanita, tapi menyukai…”
“Apa?! Ayah mengira aku g*y? Gila sekali. Kenapa kita jadi  membahas ini?”
“Berapa usiamu sekarang?”
“Jangan menyuruhku menikah.” Arvy memalingkan wajah.
“Jadi gadis mana yang ingin kau dapatkan?”
“Dia hanya temanku, Kek! Aku kan sudah bilang tadi!”
“Iya iya Vas bunga itu hanya untuk menyogokku. Dasar. Tidak apalah setidaknya kau agak normal hari ini.”
Arvy hanya berdehem. Ia kemudian mengeluarkan sebuah foto dari balik coat-nya. Lalu diletakkan di meja.
“Dia,” Arvy menatap foto itu lama. “Dia temanku semasa kuliah dulu.”
Direktur mengetahui dari tatapan matanya.
Mata itu, menggambarkan sebuah kerinduan yang tertahan, rasa ingin menyampaikan sesuatu yang terdalam, namun berhenti ditengah-tengah, lalu perlahan tenggelam. Perasaan manusia adalah bagian yang lemah dan rentan. Sekuat apapun fisik manusia, sebagian besar dari mereka dikalahkan oleh perasaan.
Direktur mengambil foto itu. Memperhatikan gadis manis berambut panjang agak kecoklatan. Kemudian menghela napas panjang, diliriknya Arvy yang berekspresi tidak biasa.
“Arvy…kau tahu kan mudah menemukan orang lain bagi kakekmu ini. Tapi maukah kau jawab dengan jujur satu pertanyaanku?”
Arvy diam sejenak kemudian menjawab dengan mantap. “Baiklah. Aku akan menjawab apapun itu.”
“Mendengar jawabanmu sepertinya gadis ini benar-benar penting untukmu.”
“Tidak. Aku hanya berhutang padanya. Karena itu aku ingin membalasnya.”
“Kuharap kau benar-benar jujur. Aku bukan tipe orang yang murah toleransi seperti ayahmu. Selama ini, apakah kau bisa melihat sesuatu yang seharusnya tidak dilihat orang biasa?”
Degh
Arvy membulatkan matanya, beberapa detik kemudian ia menghindari tatapan serius kakeknya. Ia tidak ingin menjawabnya. Entah bagaimana kakek tahu tentangnya sebanyak itu. Padahal dia sengaja menghindar dari keluarga utama.
“Apa maksud, Kakek?”
“Aku tanya apa kau indigo?”
“Kenapa tanya hal tidak masuk akal seperti itu?”
“Kau hanya perlu menjawab iya atau tidak, kan. Kenapa kau kelihatan kesulitan?”
“Bukan begitu, aku hanya…” Arvy menatap kakek, sepertinya ia tahu apa yang dipikirkannya. “Aku kira kau sudah tahu jawabannya.”
“Sejak kapan?”
“Bukannya tadi Kakek bilang satu pertanyaan?”
“Arvy…Aku tidak tahu persis kenapa kau menyembunyikannya. Tapi kau bisa mengonslutasikannya dengan…”
“Berhenti, Kek.” Arvy menatap dingin kakeknya. “Seperti keputusanku salah untuk datang ke sini.”
Arvy berdiri hendak meninggalkan ruangan namun kakek mengatakan sesuatu yang mencegahnya.
“Amy, keponakanmu…kau paham kondisinya sekarang?”
“Itu bukan urusanku.”
“Tentu saja itu urusanmu. Aku hanya ingin tahu sejak kapan kau menjadi anak indigo.”
“Kenapa, Kek? Kenapa baru sekarang kau peduli?! Apa karena Amy?” Arvy menatap kakeknya dengan benci.
Direktur Rossan sendiri terkejut melihat reaksinya. Ia tidak tahu Arvy bisa mengeluarkan emosi seperti itu. Perlahan kakek menunduk, sepertinya ia mengerti apa yang sedang dibicarakannya.
“Jawab pertanyaanku, Kek? Bukannya kau membenci ayah? Bukannya kau benci keluargaku?! Aku bahkan tidak sudi datang ke sini. Aku sampai tidak habis pikir kenapa kau akhirnya menyerahkan perusahaan pada ayah. Setelah kucari tahu ternyata menantu kesayanganmu Holan tetap berada di kepolisian,” Arvy tersenyum miris. “Apa kakek pernah sekali saja… sekali saja menjenguk ibu? Aku tidak akan berterima kasih atas uang yang sudah kau berikan, meskipun aku sangat muak menerimanya. Dan sekarang apalagi? Memang akan ada yang berubah jika aku indigo? Kupikir hal itu tidak seistimewa sebutannya. Kau tahu aku menyebutnya apa? Samsara. Semua yang terjadi di hidupku adalah samsara…”
Matanya berkaca-kaca dan memerah, tangannya mengepal. Arvy memaksa keluar tanpa mendengarkan penjelasan dari kakeknya. Ia menutup pintu dengan keras. Kakek tidak berniat menjelaskan apapun. Ia kembali duduk di sofa panjang dengan tatapan nanar ke udara.
“Samsara ya…” Kakek tersenyum miris. “Aku tidak kepikiran itu sebelumnya. Keturunanku telah dikutuk. Rasa sakit yang tidak pernah hilang turun temurun dan bekas luka itu….sepertinya akan ada selamanya. Memang benar, ini adalah samsara….”
Kakek menunduk pedih. Dilihatnya foto yang diberikan Arvy tadi, seorang gadis muda yang tersenyum lebar dan ceria.
“Aku harus menemukan gadis ini. Aku harus menyelamatkan cucuku (Arvy).”
Sementara itu Raziva tidak dirawat di rumah sakit keluarga seperti Nadia, ia dirawat di rumah sakit yang berbeda. Ini karena dahulu Ardana mengira kecelakaan Raziva disebabkan oleh ayahnya dan ketika keduanya sudah mereda, Arvy-lah yang menolak untuk memindahkan ibunya.
Setelah meninggalkan kantor direktur, Arvy mengunjungi ibunya dalam keadaan pedih dan marah. Ia menggenggam tangannya erat, sembari menangis sesenggukan tanpa mengucapkan satu patah kata-pun. Dirinya hanya ingin melihat senyum ibunya lagi, namun itu semua seolah hanya keajaiban yang tidak akan pernah terjadi.
“Ibu…selamatkan aku,” pasrahnya.
***
Amy keluar dari kamar apartemennya. Alfa yang berada di kamar sebelah ikut keluar setelah mendengar pintu Amy terbuka.
“Kau mau kemana?”
Alfa mengikuti langkah Amy di sampingnya.
“Kenapa?” ketusnya.
“Janganlah begitu. Aku ikut, ya.” Alfa mengengeh.
Amy berhenti. Sembari memasukkan tangan ke saku jaket, ia menoleh sarkas.
“Tidur sana!”
“Kau mau kemana malam-malam begini?”
“Terserah aku mau kemana. Apa kau pacarku?”
“Ha?” bahunya turun. Ia merengek. “Kau mau minum-minum tanpaku, ya. Sebenarnya kau ini anggap aku apa sih?”
“Sudahlah jangan drama. Sana pergi tidur!” Amy mendorong Alfa hingga ke pintu kamarnya, lalu memaksanya masuk.
“Iya, iya aku masuk. Jangan mendorongku.”
“Cepat, cepat.”
“Pulang jam berapa nanti?”
“Aku meningap.”
“Apa?!”
“Kenapa kau serius sekali, sih! Nanti aku bawakan chicken saat pulang.”
“Benarkah? Janji ya, janji. Awas kalau bohong.”
“Hem.”
“Kalau begitu, bye bye. Hati-hati di jalan.”
Amy melangkah pergi. Alfa tersenyum lebar begitu mendengar chicken, namun sesaat setelah Amy telah melangkah pergi, senyumnya lenyap. Tatapan matanya mendadak berubah tajam.
Sementara itu, Amy sampai di bar Arvy. Seorang pramusaji perempuan menghampirinya.
“Aku ingin bertemu Arvy.”
“Mungkinkah anda…”
“Aku keponakannya. Yang kemarin kemarin sempat mabuk berat di sini.”
Pramusaji itu teringat kejadian saat Amy menggoda Arvy untuk dijadikan pelayan plus plus. Ia menunjukkan ruangan di atas yang disambungkan dengan tangga. Kemarin tidak ada tirainya, namun sekarang dari bawah tidak terlihat karena tertutup tirai. Amy tersenyum, ia mengira Arvy menuruti sarannya untuk mengubah tempat itu menjadi lounge. Ia naik ke atas.
Namun betapa terkejutnya ia ketika melihat Arvy yang telah menghabiskan banyak botol alkohol hingga dirinya mabuk berat. Ia duduk dengan kepala menunduk hampir menabrak meja di depannya. Ada dua sofa panjang di sana, Arvy duduk dengan posisi hampir pingsan.
Ia bergegas mendekat dan memegang dahinya kemudian mengangkat kepalanya lalu ia sandarkan di sofa. Arvy setengah tertidur.
“Apa yang kau lakukan? Kenapa kau semabuk ini?” Amy menghela napas. “Padahal sebelumnya ia tidak pernah melewati batas Apa terjadi sesuatu padanya?”
Arvy membuka matanya sipit. Ia mengenali Amy, merangkul bahunya dengan setengah sadar.
“Oh keponakanku rupanya, ha ha,” mabuknya.
“Ah lepaskan.” Amy melepaskan lengan Arvy yang melingkar di bahunya. “Hoi! Apa yang terjadi padamu?! Apa kau sudah gila mabuk sampai seperti ini?! Sepertinya kau lupa pada prinsip yang kau buat sendiri.”
“Amy…” panggilnya lirih, sendu. Arvy menatap kedua mata Amy dengan berkaca-kaca.
“Jangan menatapku begitu. Kau membuatku takut.”
“Aku…ingin lenyap dari dunia ini.”

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 11, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The GladiolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang