Eunoia

2 2 0
                                    

“Kami datang, Bu,” sapa Dio pada ibu, bersama Amy.
Mereka berdua datang ke rumah sakit dan berkunjung ke kamar ibunya. Amy membawa bunga mawar merah besar yang ia letakkan di meja samping. Keduanya berdiri di samping ibu.
“Bagaimana kabar, Ibu? Kuharap ibu melihat kami di acara kelulusan kami kemarin,”
Dio memandangi wajah ibunya dengan sendu. Entah sampai kapan mata indah itu akan tertutup. Amy juga melakukan hal yang sama, lalu melirik Dio sekilas. Dio benar-benar menyayangi ibu, secara dirinya sudah dirawat sejak masih bayi oleh bu Nadia, berbeda dengan Amy. Ia memegang tangan kakaknya yang bersedih, ia mendapati air matanya ditahan hingga buliran bening itu memenuhi iris mata.
“Ibu, sampai kapan kau akan tidur? Kau pasti akan sangat bangga melihat putramu jadi siswa terbaik. Dia anak yang pintar, selalu dapat peringkat pertama, sopan dan bisa diandalkan. Tapi dia kadang-kadang menyebalkan, Bu. Jadi, cepatlah siuman, dan hajar anak laki-lakimu ini.” ujar Amy.
Dio yang mendengarnya tersenyum. Ia menunduk, makin bersedih dan tak kuasa menahan air matanya.
“Aku masih ingat bagaimana gendongan Ibu saat masih kecil. Benar-benar hangat, seolah tidak ada lagi tempat hangat kecuali di pangkuan Ibu. Aku…selalu berdoa agar Ibu bisa bertahan, selama apapun itu, aku akan menunggu. Aku akan menunggu sampai kapanpun hingga Ibu bisa tertawa kembali.”
Dio menitikkan airmata, begitu juga Amy, yang mengusap air matanya yang luruh di pipi agar tidak dilihat Dio. Ia berusaha menyembunyikannya. Melihat Dio saja sudah cukup membuatnya pilu. Siang itu, mereka menceritakan banyak hal tentang sekolah dan kejadian aneh di rumah. Seperti Dio yang ingin masuk universitas bergengsi, dan Amy yang malas melanjutkan sekolah, dan ayah yang masih tidak mengijinkannya tinggal sendiri sampai lulus SMA. Mereka berada di sana seharian untuk merawat ibu.
“Amy,” panggil Dio sembari membersihkan leher ibu dengan handuk putih basah.
Amy berdehem, ia berdiri di depan jendela dan menyingkap tirai. Kamar VIP sangatlah luas. Ada sofa besar yang bisa digunakan untuk tidur, beserta meja tengah dan furniture khusus lainnya.
“Kau ingat saat hampir ditabrak mobil?” tanya Dio.
Amy terdiam, ia ragu menjawab. “Entahlah. Aku tidak terlalu ingat. Kenapa?”
“Tidak. Aku cuma penasaran apa kau ingat bagaimana bisa selamat dari tabrakan.”
“Benar juga, kenapa aku melupakannya, ya,” gumam Amy.
Dio membasuh tangan ibunya sembari terus bertanya.
“ Kau benar-benar tidak ingat, atau tidak tahu?”
“Saat itu aku seperti bermimpi ada seseorang yang menggendongku, tapi aku tidak mengenalinya. Aku juga tidak terlalu yakin dengan ingatanku sendiri.”
“Bukankah kau indigo?”
“Lalu? Apa hubungannya?”
“Bukankah kau harusnya ingat dengan hal-hal semacam itu?”
“Apa?”
“Maksudku saat itu situasinya sangat aneh, sesaat aku merasa berhenti tapi…ah pokoknya ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan saat itu.”
“Kau sendiri? Apa kau tidak melihatku? Kenapa kau diam saja? Harusnya kau yang paling tahu apa ada orang yang menyelamatkanku saat itu atau tidak? Aishhh bebal sekali.”
“Bebal? Berkaca dulu sebelum mengatai orang lain.”
“Nyenyenye.”
Dio hampir saja melemparkan handuk basah ke Amy yang dari tadi melawan omongannya.
“Aku benar-benar tidak mengingatnya. Ingatanku hari itu seolah dihapus. Aku curiga saat itu ada seseorang yang menyelamatkanku namun dia tidak ingin diketahui. Memang saat itu apa yang kau ingat?” tanya Amy.
Dio yang gantian ragu menjawab. Ia sendiri mengingat bagaimana waktu seolah berhenti untuk sepersekian detik. Benar-benar tidak masuk akal. Fenomena indigo sendiri sudah anomali di kehidupan inj, sekarang muncul hal yang lebih aneh dan supranatural lagi.
“Kau percaya ada kekuatan yang bisa menghentikan waktu?”
“Kau akan melihatnya jika menonton acara fantasi anak-anak di tivi.”
“Aishhh aku serius tahu.”
“Kenapa kau tanya itu? Tentu saja aku tidak tahu,” culasnya. “Kau kira indigo tahu segalanya.”
“Jujur saja padaku. Apa yang kau lihat dariku selama ini, My?”
“A…apa maksudmu?” Amy gugup. “Kenapa tanya itu tiba-tiba.”
“Aku hanya penasaran. Kau tidak pernah mengatakan apapun tentang auraku. Kau memang tahu kepribadianku selama ini, karena kita adik-kakak. Tapi kau tidak pernah membahas itu denganku. Kau tidak percaya padaku? Atau kau berusaha tidak melihat auraku?”
“Tidak bisa.”
“Maksudnya?”
“Aku tidak bisa melihat auramu.”
“Apa? Kau bohong, kan?”
“Untuk apa aku bohong.”
“Kenapa bisa begitu?”
“Tidak tahu. Memang sudah begitu sejak awal. Kau banyak menangis malam itu, kau memeluk ibu dengan erat untuk terakhir kalinya malam itu. Aku tidak tahu pasti, tapi aku tidak bisa membacamu. Kau puas?!”
“Setelah dipikir-pikir, kita tidak pernah membahas hal semacam ini sebelumnya,” Dio tertawa kecil. “Aku sudah dewasa, kau juga Amy, kau mulai beranjak dewasa. Harusnya kau lebih terbuka denganku. Aku senang melihat kau dan ayah saat bertengkar saat kita swafoto di acara kelulusan. Bukankah hal-hal itu sudah cukup membuat kita hidup normal?”
Amy terdiam menunduk, sembari memainkan kukunya. Meskipun ia berpikir demikian, tidak ada yang seperti itu di keluarga ini. Sejak awal tidak ada yang mudah di sini. Dan Dio masih tidak paham dengan kondisi keluarga.
“Sudah lama aku ingin menyerah dengan hidupku, tapi saat melihat ibu….aku jadi paham kalau aku tidak boleh menyerah,” kata Amy.
“Karena kalau aku mati, tidak akan ada yang bisa menemukan pelaku yang melakukan ini pada Bu Nadia dan tidak akan ada yang bisa membuka segel dalam tubuhnya. Aku harus hidup sampai saat itu,” lanjut Amy, namun di dalam hati.
“Aku tidak pernah sekalipun menganggap hidupmu mudah, kau cukup bergantung padaku. Kita saudara, kan?”
“Apa? Kau gila?” Amy duduk di sofa panjang sembari menyilangkan lengan depan dada. “Jangan sok akrab denganku setelah ini, meskipun kita membicarakan ini.”
“Sepertinya ada alasan dibalik kenapa kau tidak bisa melihat auraku,” Dio tersenyum simpul.
“Kenapa senyumanmu aneh begitu?”
“Tidak kok. Tidak ada apa-apa.”
Dio tersenyum semakin lebar,  Amy menghampirinya, memukul-mukul lengannya dan menggelitiki perutnya. Dio hanya menahan pukulannya dengan tertawa, sedang Amy sangat kesal padanya. Keduanya berhenti setelah mendengar suara pintu terbuka. Mereka berdua menoleh.
“Amy, Dio, kalian sudah makan?”
Itu adalah Dr. Yohan (Dokter pribadi Bu Nadia). Dio dan Amy kemudian memeperbaiki sikap, mereka berhenti bertengkar meskipun menatap satu sama lain dengan umpatan.
“Kalian suka chicken?” Dr. Yohan masuk sembari membawa 3 kotak makanan berisi big chicken spesial. “Ayo makan dulu.”
Karena tidak nyaman duduk di sofa saat makan, mereka duduk di karpet bawah dan menaruh makanan di meja. Dokter membuka kotak makanan itu.
“Kau tidak perlu repot-repot membelikannya untuk kami, Dok,” kata Dio sungkan.
“Bukan aku yang membelikannya,” Dokter tersenyum.
“Lalu siapa?” tanya Amy.
“Direktur yang membelikannya. Katanya kalian berdua ke sini. Beliau menyuruhku membelikan makanan dan menemani kalian makan.”
“Oh ya Dok, sejak kapan kau dan kakek dekat?”
Dokter terkejut mendengar pertanyaan semacam itu, ia mengira Dio salah paham. “Kau berpikir aku mendapatkan pekerjaan ini karena orang dalam?”
“Ah bukan bukan, bukan itu maksudku.” Dio menggeleng sembari mengangkat tangannya dan melambai-lambaikannya. “Aku tahu kau tidak mungkin seperti itu, lagi pula Dr. Yohan adalah orang cerdas, kau pasti mendapatkan pekerjaan ini dengan jalur yang benar. Maksudku adalah, kakek sepertinya sangat menyukaimu.”
“Oh begitu, haha. Maafkan aku, ya, akhir-akhir ini aku agak sensitif karena banyak desas-desus aku menjadi dokter utama di bagian VIP karena orang dalam. Direktur melihat tesisku saat aku pertama kali masuk ke sini, beliau bilang tesis milikku menarik. Jadi dia sering berdiskusi denganku.”
“Tesis? Apa itu?” Amy bingung, ia sibuk makan paha ayam dengan rakus.
“Anak-anak tidak usah ikut campur,” Dio menjitak kepalanya.
“Sialan, kau.”
Dokter cukup terkejut mendengar Amy mengumpat. Dio menegaskan bahwa mulutnya sudah biasa seperti itu, terutama di rumah.
“Aku jadi penasaran dengan tesismu, Dok,” kata Dio.
“Mampirlah ke perpustakaan rumah sakit lantai dua. Kau bisa mencari tesisku di sana.”
“Baiklah, terima kasih.”
Mereka berdua melempar senyum satu sama lain. Amy yang melihatnya tak menggubrisnya, ia asyik melanjutkan makan.
“Kenapa mereka saling tersenyum begitu? Apa mereka syuting film?” batin Amy sembari menggeleng.
***
Holan dan Rataka bertemu di bari. Keduanya menikmati wine sembari membincangkan sesuatu yang penting.
“Bagaimana?” tanya Holan.
“Aku membunuhnya.”
“Sudah kuduga.”
“Selanjutnya apa?”
“Liska baik-baik saja?”
“Aku memandikannya dengan 7 kembang.”
Holan tersenyum, ia meneguk wine dengan sekali tenggak.
“Apa ada yang harus kubunuh lagi?” tanya Rataka.
Holan tersenyum satire.
“Tentu saja ada.”

The GladiolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang