Animo Part 2

3 2 0
                                    

“Aku akan masuk SMA ini tahun depan. Sejak Kak Dio masuk ke sini aku jadi ingin sekolah di sini juga.”
“Bolehkah aku bersalaman denganmu? Namaku Reza.”
Amy tersenyum lebar dan menanggapi semua teman Dio yang duduk mengitarinya di bangku penonton. Beberapa teman perempuan juga penasaran dengannya. Ia tengah mendalami perannya sebagai adik impian.
“Dia sangat imut dengan baju SMP-nya. Benar-benar tipeku.”
“Kudengar kau selalu mendapat rangking dan sering ikut lomba, benarkah?”
“Apa kau suka coklat?”
“Kau lebih suka boneka atau bunga?”
Beragam pertanyaan terlontar untuk si manis Amy. Ia tersenyum ramah dan menjawab semua pertanyaan-pertanyaan yang sedikit menyebalkan itu.
“Dek Amy, apa di sekolahmu, kau…punya pacar?”
“Eh itu…”
“AMY!”
Teriakan keras terdengar menggema di lapangan. Semua orang di sana termasuk Amy serentak menoleh. Dio tengah berjongkok memegang lutut sembari mengatur napasnya yang tak beraturan. Ia berlari menghampiri adiknya.
“Kakak….” Amy melihat keringat di pelipis Dio mengalir seperti hujan.
Tanpa bicara sepatah katapun Dio langsung menarik lengan adiknya yang dikerumuni teman-teman lelakinya dan membawanya pergi keluar lapangan. Mereka bicara di parkiran bawah.
“Apa yang kau lakukan?!” teriak Dio. Wajahnya merah berapi-api.
Amy sedikit terkejut. Baru pertama kalinya ia melihat Dio semarah ini. Ekspresinya tegas dan serius. Namun Amy masih membalasnya dengan percaya diri.
“Bukankah ini yang kau inginkan? Kau ingin memamerkan adikmu kan?”
“Ha?! Apa kau gila?!”
Suara Dio semakin meninggi. Amy yang melihatnya agak takut. Ia memainkan kukunya dan sedikit menunduk. Tidak berani menatap matanya.
“Ke…kenapa kau marah? Apa salahku?”
Dio berkacak pinggang. “Arggghhh! Bisa gila aku!” Dio mengacak rambutnya hingga acak-acakan. Dirinya serasa ingin memukul samsak.
“Terus aku harus apa?”
“Kenapa kau tanyakan itu padaku? Bersikaplah sesuka hatimu seperti biasa!” Dio memasukkan tangannya ke saku celana, hendak meninggalkan Amy begitu saja. Namun Amy memegang ujung kemeja seragamnya.
“Maaf.”
Dio menghentikan langkahnya. Ia hendak berbalik namun menunggu sejenak.
“Apa? Aku tidak dengar.”
“Maaf. Aku minta maaf. Maaf! Maaf! Maaf!”
“Untuk apa?”
“Tidak tahu.”
“Kau pikir aku akan melunak hanya karena kau minta maaf?”
“Maaf sudah menolak kue dan ice cream mu kemarin. Maaf aku adik yang jahat. Maaf untuk semuanya.”
Amy ganti memegang lengannya dan menatapnya. “Aku lapar,” katanya tiba-tiba dengan memasang wajah memohon.
Dio melihat kedua mata Amy yang lebar, ia tidak terbiasa minta maaf lebih dulu. Dio masih cemberut, namun akhirnya ia mengalah.
“Baiklah. Kau menang,” kata Dio sembari membuang muka.
Amy mengengeh sembari melingkarkan lengannya di lengan kakaknya. Meski begitu Dio mengalihkan mukanya, menahan senyumannya. Ia benar-benar ingin berteriak senang sekarang, namun dirinya berusaha jaga image.
“Aku mau makan di kantin sekolahmu.”
“Tidak boleh.”
“Heh? Kenapa?”
“Kenapa kau masih tidak paham? Aku tidak suka kau diganggu teman-temanku.”
“Kukira kau ingin pamer.”
“Kau sendiri yang ambil kesimpulan. Lain kali hubungi aku dulu kalau mau datang ke sini.”
“Ya aku tidak tahu.”
“Mau makan apa?”
“Roti isi.” Amy tersenyum lebar. “Aku ingin makan roti isi yang super besar.”
Dio tertawa kecil dan meninju kepalanya pura-pura. Mereka memilih kafe dekat sekolah dan menikmati makan siang di sana.
***
“Siap, Letnan!” seorang polisi hormat dengan tegap ke arah Holan.
Setelah Holan mengangguk, polisi itu meninggalkan ruangan. Ia duduk dan membaca dokumen di mejanya.
“20 kasus dengan pola pembunuhan yang sama. Mereka mencari mangsa sembari menunggu. Aku tidak akan membiarkan kalian menguasai ibukota dan menumbalkan orang-orang yang tidak berdosa. Tunggu saja sampai aku menemukan kalian,”  sorot mata Holan menajam dan serius.
Ia keluar dari ruangan. Beberapa bawahan mengikutinya.
“Siapkan mobil,” kata Holan.
“Kita akan kemana, Letnan?”
“TKP.”
Mereka sampai di lokasi kompleks perumahan. Sebuah rumah bernomor 66 nampak dikerubungi pihak forensik dan tim pencari. Ada garis kuning di sekitar rumah. Letnan masuk ke dalam didampingi seorang polisi bawahannya, Ando. Ia membawa kamera dan plastik khusus barang bukti.
“Kami mendapat laporan kemarin sekitar pukul 23 malam. Ada sebuah surat masuk ke kantor dan saat kami membukanya ada beberapa lembar foto korban sebelum meninggal.” Ando menunjukkan amplop putih dan foto-foto yang sebelumnya telah berada di kantung plastik bening khusus.
Letnan terkejut sesaat.
Foto itu menunjukkan korban yang tergeletak di lantai dengan kulit yang telah membiru dan memucat. Ada sebuah tanda segituga merah di lantai yang nampak terbuat dari darah korban.
“Tanda segitiga ini lagi, Letnan. Jika digabungkan dengan kasus-kasus beberapa bulan yang lalu, jelas ini pembunuhan berantai. Korban kali ini berusia 29 tahun, perempuan, pekerja pabrik, dan hidup sendirian. Kasus yang sama terhitung sudah 16 kali. Korban kali ini adalah yang ke -17.” Ando menjelaskan.
Letnan jelas telah mengetahui tanda segitiga itu. Sekte segitiga merah kini merambah di dunia kriminal. Mereka tidak peduli hukum dan pranata. Tujuannya mungkin hanya satu, mencari korban sebanyak-banyaknya. Polisi masih belum memahami cara pelaku memilah korban. Seluruh korban tidak memiliki sangkut paut satu sama lainnya. Umur yang acak, tempat tinggal, jenis kelamin, bahkan penampilan fisik.
“Letnan…” Ando menyadari Holan yang tengah memikirkan sesuatu.
“Korban tidak memiliki kerabat, mereka semua hidup sendirian. Cuma itu satu-satunya kesamaan dari semua korban.”
“Apa Letnan berpikir ini sama dengan kejadian 5 tahun yang lalu?”
Holan menoleh.
“Bukankah Letnan yang menangani kasusnya? Kasus beku di panti asuhan Motherwood.”
Degh
“Apa?”
“Kasus beku 5 tahun lalu… saat Letnan masih menjadi mayor.”
Letnan membeku sejenak. Mereka saling menatap satu sama lain.
“Hem. Kau benar. Ini sama seperti kasus itu. Ah… sayang sekali,” Holan memasukkan tangannya ke saku celana sembari mengeluh. “Benar-benar tidak ada jejak apapun saat itu. Jadi aku memutuskannya menjadi kasus beku. Padahal korbannya masih muda.”
“Iya. Sayang sekali. Korban masih muda dan cantik.”
“Kau tahu kalau korbannya perempuan?”
“Eh itu,” Ando melirik ke arah kiri. “Aku hanya menebak karena korban kali ini juga perempuan.”
Holan menyibak tirai jendela rumah kosong yang dipenuhi darah. Tempat itu sama persis dengan keadaan kamar Amy di panti asuhan 5 tahun yang lalu. Hanya saja korban masih utuh. Anehnya, tidak ada luka luar atau racun saat proses otopsi, hanya kehabisan darah seolah disedot oleh vampir hingga tubuhnya membiru. Holan tidak lagi mengambil sampel darah di beberapa sudut. Ia mulai mengerti bagaimana pola pembunuhannya. Kasus Amy dulu terjadi dilakukan dengan tergesa, karena ada Jhony, makhluk fyber yang tidak terduga berada di dalam sana bersama Amy. Sedangkan setelahnya, mereka memikirkan strategi sebelum menyerang.
“Vampir Murder,” kata Letnan. “Kita harus segera menyelesaikan ini.”
“Aku akan mengambil sampel darah dan mengambil gambar.”
Ando menelusuri beberapa sudut ruangan. Ia mengenakan sarung tangan putih khusus. Tanpa ia sadari, Letnan tengah menatap punggungnya dari belakang dengan tajam, sesaat sebelum keluar dan meninggalkan tempat itu.
Di dalam mobil, Holan menghubungi seseorang.
“Rataka, aku menemukannya.”

The GladiolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang