Amerta

2 2 0
                                    

Rataka berada di bar-nya. Ia mengganti bajunya yang besimbah darah sembari mendumel tidak jelas.
“Bagaimana bisa pak tua Satria itu selalu menusukku tiba-tiba. Sudah tua tapi gerakannya gesit juga.”
Ia keluar dan mendapati bar-nya sepi, seperti biasa. “Kalau bukan dirinya, aku pasti sudah jatuh miskin. Mana bar-ku sepi lagi. Selera anak muda jaman sekarang cepat berubah-ubah.” Rataka geleng-geleng.
Caaaashhh
Pedang rubahnya mendadak bersinar, berwarna keemasan di dalam kaca khusus. Rataka menyadarinya dan berlari ke arahnya. Ditatapnya Liska lama, matanya membelalak. Ia merasakan sesuatu yang buruk terjadi. Namun di sisi lain itu juga bukan hal yang tidak buruk.
“Perasaan apa ini? Baru kali ini aku merasakannya.”
Alfa adalah bawahan yang dikendalikan Ramon secara langsung. Energinya hampir tidak menyisakan jejak di manapun, karena ia membaur dengan manusia biasa. Energinya tidak berwujud, namun disimpan dalam kotak tak bermassa. Ia adalah boneka yang memiliki mata kanan Ramon sekaligus jejak si Ramon itu sendiri. Alfa yang sangat terobsesi dengan Amy, adalah satu-satunya emosi yang bisa ia manfaatkan dari hasrat manusia. Dirinya adalah bentuk murni manusia itu sendiri. Diliputi keinginan, nafsu, amarah, ketidaksabaran dan kemunafikan. Rataka kesulitan mendeteksinya meskipun energinya ia sebar di sekitar Amy, karena Alfa adalah orang biasa yang tak memiliki keistimewaan apapun. Hanya saja, Rataka bisa merasakan energi Amy melemah dan diserap, seolah habis-habisan.
“Sialan! Ada apa denganmu, Liska?!” teriak Rataka frustasi, karena tak bisa melacak keberadaan Amy. Ia memejamkan mata dan menerawang semuanya. Nafasnya mengepul dan sesak.
“Br*ngsek! Ramon sialan! Aku akan menemukanmu!”
***
Alfa membuka satu persatu kancing kemeja Amy sembari tersenyum puas. Hingga sesuatu yang mengejutkan terjadi. Tiba-tiba tubuhnya terangkat ke udara dengan sendirinya. Alfa membelalakkan matanya dan menganga. Ia panik, lengan dan kakinya seolah berenang di udara. Tubuhnya tanpa ia bisa kendalikan, terlempar hingga menabrak dinding.
Pintu yang ia kunci terbuka, seseorang masuk ke dalam sana, lalu menguncinya kembali dari dalam.
Itu adalah Rataka.
“Sialan,” gumamanya pelan, namun penuh penekanan.
Ia melangkah menghampiri Amy yang tertidur pulas di atas ranjang. Tiga kancing kemejanya bagian atas terbuka dan roknya menyingkap. Rataka dengan hati-hati membenahi seragamnya. Beruntung ia membawa jaket, dibukanya jaket hitam miliknya dan menutupi kaki putih Amy.
“Aku harus menjaga baik-baik anak gadis.”
Alfa yang terkapar memegang kepalanya yang sedikit berdarah karena benturan keras. Namun ia masih berusaha menjaga kesadarannya. Didekatinya Rataka dan meninjunya dari belakang. Dengan mudah, Rataka menghindar ke samping dan menangkap tangannya. Ia lagi-lagi melempar tubuh Alfa dengan mudah hanya dengan satu tangannya. Alfa kalap dan menabrak dinding.
“Uhukk!” Alfa memuntahkan darah segar. “Si…siapa kau sebenarnya? Darimana kau datang?!”
“Harusnya aku yang bertanya begitu bodoh.” Rataka hanya memakai kaus putih pendek dan celana santai pendek. “Aku baru saja selesai mandi. Aisshh sial! Kau mengganggu waktuku tau!”
“Darimana datangnya pria ini? Kenapa dia bisa kemari? Sial!” batin Alfa.
Rataka mendekat dan meraih kerahnya lalu mengangkatnya ke atas hingga kakinya tak menapak tanah, alfa kesusahan bernapas dan menggeliat.
“Kekuatannya benar-benar sinting. Siapa orang ini sebenarnya? Apa dia dendam padaku, aishhh br*ngsek!”
“Siapa kau?” tanya Rataka serius.
Alfa kehabisan nafas.
“Jangan bercanda! Bagaimana kau masuk ke sini?!”
“Bedebah sialan ini,” Rataka mendecakkan lidah sembari memalingkan wajahnya sebal. “Kau bosan hidup? Siapa yang mengirimmu?”
“Aku pacarnya Amanda.”
“Apa?”
“Aku tidak bercanda. Aku memang pacarnya.”
Rataka berpikir sejenak kemudian melepaskan cengkeramannya pada Alfa.
“Kau bisa tanyakan sendiri padanya nanti,” kata Alfa sembari memegang lehernya yang kesakitan. Ia percaya diri setelah mengatakannya.
“Kau salah orang,” kata Rataka pelan.
Alfa diam hanya mendengarnya, tidak paham maksudnya.
“Kubilang kau salah orang, Br*ngsek!” Rataka memukul wajah Alfa, kali ini lebih keras.
“Apa? Apa lagi?!”
“Amanda…tidak ada yang memiliki nama itu di ruangan ini,” Rataka mengucapkannya dengan penuh penekanan.
Bugh bugh bugh.
Tak henti-hentinya Rataka memukuli Alfa yang gugup, air mukanya berubah, wajahnya pucat. Ia sadar telah ketahuan. Rataka kembali menyudutkannya di dinding sembari mencengkeram kerahnya.
“Apa kau orang dari panti asuhan? Siapa yang mengirimmu?”
Rataka sendiri sebenarnya sudah mengetahui siapa atasannya, namun kini dia lebih berhati-hati, karena tidak seperti Ando yang tidak mengenal siapa Amy, kali ini Ramon menggunakan seseorang yang berasal dari masa lalunya.
“Pergilah,” kata Rataka, “Aku tidak akan membunuhmu.” ia memilih tidak mengambil resiko dengan melukai teman Amy.
Rataka berjalan menjauh dari Alfa. Ia mendekat ke ranjang Amy. Namun Alfa nekat dengan mencari kesempatan saat Rataka membelakanginya.
Duaghh
Sebelum menyentuhnya, Alfa mental seolah diterbangkan angin. Tubuhnya lagi-lagi membentur dinding, hingga kembali babak belur. Darah yang keluar dari mulutnya lebih banyak. Ia memegang dada dan perutnya yang nyeri kesakitan.
“Berhentilah sebelum aku benar-benar membunuhmu.”
Alfa tidak berhenti meskipun ia merasa bahwa Rataka lawan yang tak mudah. Ia melihat kotak dokter di samping tempat ia jatuh. Diraihnya gunting kecil di kotak obat, di atas meja kecil dekatnya. Ia berlari sembari berteriak kemudian menusuk Rataka tepat di perut kirinya.
Jleb!
Rataka terperangah dan mematung, begitu juga dengan Alfa. Ia membeku dengan posisi agak menunduk karena kedua tangannya yang memegang gunting ditusukkan ke perut Rataka. Ia tersenyum puas.
“Mampus kau.”
***
“Kau bisa melihatku, kan?”
Amy mencuci kedua tangannya di wastafel. Ia menatap ke bawah kemudian menatap pantulannya di cermin. Matanya membulat sedetik, kemudian berubah datar dan biasa seolah tidak terkejut apapun.
“Kau bisa melihatku, kan?”
Di dalam cermin terlihat seorang wanita berambut panjang, rambutnya terurai ke depan menutupi wajahnya. Kuku-kukunya panjang, kulitnya hampir habis, tulang-tulangnya menonjol keluar. Rambutnya lusuh, sesekali tersingkap dan matanya terlihat sekilas, berwarna merah menyala. Hantu itu memakai seragam yang sama denganya. Dia adalah hantu anak siswi sekolah yang berdiri di sudut kelas tadi pagi. Hantu cermin itu perlahan keluar dari dalam cermin dan berdiri di sampingnya.
Amy masih berpura-pura tidak melihatnya, karena meskipun hantu yang tingkatnya lemahpun, kalau dibiarkan menempel, seterusnya akan menempel. Amy memilih jalan aman dengan pura-pura tidak melihatnya.
“Kau melihatku.”
“Kau tadi melihatku saat di kelas.”
“Dasar monster! Energimu terlalu kuat untuk hantu kacangan sepertiku. Aku mungkin akan tunggang langgang berlari. Kau bahkan lebih monster dari hantu-hantu yang lain.”
Amy hampir terperdaya omongannya, namun ia masih bertahan dengan aktingnya.
“Dia cuma hantu lemah,tapi  kenapa kakiku tidak bsia bergerak?” batinnya.
Hantu itu kini semakin menempel dengan tubuhnya. Ia berdiri di samping kiri sembari terus menatap wajah Amy.
Seorang siswi masuk ke dalam kamar mandi, sedetik kemudian hantu itu hilang. Amy akhirnya keluar dengan menghela napas lega. Meskipun hal tersebut telah terjadi selama bertahun-tahun sepanjang hidupnya, namun ia tetap tidak nyaman dan sulit terbiasa. Memang siapa yang betah melihat hantu yang rupanya mengerikan dan menakutkan?
Ia berjalan di koridor dan tidak sengaja berpapasan dengan Alfa.
“Alfa,” sapanya.
Alfa mendadak grogi, gugup dan salah tingkah. Matanya melirik kanan kiri mencari-cari entah apa. Gesture-nya sukup aneh.
“A…amanda…eh maksudku Amy.”
“Kau dari mana?”
“Tidak dari mana-mana. A..aku kembali ke kelas dulu, ya. Bye.”
Alfa tersenyum ramah kemudian berlalu meninggalkan Amy. Amy mengedipkan matanya beberapa kali, bingung dengan tingkah Alfa yang berbeda dari tadi pagi. Ia terlihat menjauh dan tidak nyaman. Beberapa hari kemudian Alfa beralasan sakit dan tidak masuk sekolah. Amy mencarinya namun ia tidak tahu dimana tempat tinggalnya sekarang, juga tidak mungkin datang ke panti asuhan.
***
Jleb!
Keduanya mematung dengan posisi Alfa yang menusuk perutnya dengan gunting.
“Mampus kau!”
Namun tak selang lama, betapa terkejutnya ia ketika menarik gunting itu dari perut Rataka, kulit pria asing tak dikenalnya itu kembali menyatu seolah dijahit oleh sihir. Padahal darah telah tercecer, gunting dibasahi darah merah, begitu juga lantai, beserta kaus putih Rataka yang sobek.
“T..tidak mungkin…lu..lukanya….menghilang!!”
“Ah, sial! Ketahuan oleh kacung sepertimu benar-benar membuatku marah.”
Alfa tak mendengarkan Rataka dan masih tertegun, shock dengan apa yang dilihatnya.
“Bagaimana bisa ada orang seperti ini?!” batinnya.
“Si..siapa kau sebenarnya? Kau ini apa?!” teriak Alfa.
Rataka menendang tubuhnya dengan kaki hingga terjatuh di lantai. Ia berjongkok, menatap tajam dua bola mata Alfa yang ketakutan dan gemetaran.
“Katakan pada ayahmu, berhenti mengirim kacung tidak berguna lagi,” matanya datar. “Kau benar-benar membosankan.”

The GladiolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang