Destroyer

2 2 0
                                    

“Apa kau ingat kita pernah satu kelompok di semester awal dulu?”
“Benarkah?”
“Sudah kuduga.” Gita tersenyum kecewa. “Kalau begitu aku akan mengingatkanmu mumpung kita sedang bersama. Waktu itu aku membawa banyak buku untuk mempersiapkan materi kita. Sebenarnya itu pertama kali aku berbicara denganmu di kelas, karena teman yang lain bilang kau tidak terlalu terbuka dengan yang lain jadi aku sangat takut. Tapi aku memeberanikan diri menyapa saat kita satu kelompok. Kau membantuku membawa buku-buku, oh iya kau juga membantuku menaruhnya kembali ke rak yang lebih tinggi. Saat itu kau juga….”
Arvy menumpukan dagunya di tangan, wajahnya ia miringkan sedikit sembari fokus mendengarkan cerita Gita yang bersemangat. Tanpa dirinya sadar ia tersenyum melihatnya, memandangi bibirnya yang merah delima.
Tak!
Mendadak ingatannya melayang di hari kemarin. Ia teringat si sialan Rey yang ingin mencium bibir Gita saat tak sadarkan diri. Arvy menghela napas. Ia menegakkan kepalanya dan kembali membuka buku tebal di tangannya, lalu fokus membaca.
Gita melihat gesturenya. “Sepertinya kau tetap tidak ingat, ya.”
“Kapan aku mengatakan tidak mengingatnya?
“Tadi kan…”
“Kapan?”
“Jadi kau ingat padaku?”
“Hem. Aku ingat.”
“Benarkah?
“Hem.”
“Benarkah?”
“Hem.”
“Kau tidak bohong?”
“Kau tidak belajar?”
“Hehe.”
Gita mengangguk pelan, lalu membuka bukunya dan membaca beberapa materi. Tidak sengaja ia melihat satu kata yang membuatnya teringat dirinya sendiri.
“’Detonator’. Kata ini seperti aku.”
“Kau bukan detonator,” sahut Arvy tiba-tiba. Ia masih fokus melihat bukunya.
“Memang benar aku pengacau.”
Arvy berhenti menatap bukunya, ganti menatap Gita.
“Mau pergi ke tempat lain?”
Gita memiringkan kepalanya, ia cukup terkejut mendengarnya.
Arvy mengajaknya berbicara empat mata di atap perpustakaan. Gita berjalan pelan di belakangnya, tidak berani melangkah beriringan.
“Apa aku akan terus begini. Aku sangat-sangat penasaran dengan yang terjadi kemarin. Aku ingin bertanya. Apa Arvy mengajakku bicara karena mendengar isi otakku? Kenapa dia tiba-tiba mengajak ke tempat sepi? Aku ingin tanya tentang itu. Ah bagaimana ini?” batin Gita.
Arvy sebenarnya memang mendengar apa yang dikatakan Gita, namun tidak seluruhnya. Hanya niatnya saja yang terpancar kuat keluar karena keingintahuannya yang besar. Ia sendiri paham kenapa Rey menginginkan jiwa gadis itu, secara makhluk fyber itu memang mengumpulkan jiwa-jiwa istimewa.
Di dunia ini memang ada tipe manusia-manusia yang bukan indigo, namun mereka memiliki keistimewaatn tersendiri, hanya saja kadang mereka tidak menyadarinya. Gadis itu sendiri sepertinya kebal akan mantra, setidaknya itu yang Arvy tahu.
Gita tiba-tiba menarik ujung kemeja Arvy hingga membuat pria itu menghentikan langkahnya. Arvy menoleh, mereka berdiri berhadapan.
“Arvy aku ingin bicara.”
“Bicaralah. Tanyakan semuanya.”
“Aku minta maaf Aku juga berterima kasih atas semuanya. Sebenarnya aku tidak terlalu ingat kemarin. Aku hanya ingat…” mendadak Gita memeluk tubuhnya sendiri, tangannnya sedikit bergetar. “Aku ingat aku tidur di ranjang asing yang bukan kamarku. Aku kira itu mimpi, tapi reaksi tubuhku sepertinya menunjukkan bahwa itu bukan mimpi. Aku juga mengingatmu sekilas. Tapi itu ingatan yang aneh. Kau seperti bukan dirimu. Kau seperti…” ingatan Gita melayang saat melihat Arvy yang matanya memerah dan memiliki taring panjang mengerikan. Gita menggeleng memikirannya.
“Aku sangat takut. Aku takut ingatanku salah. Aku juga takut dengan...”
“Denganku. Kau takut dengan pria. Pria sepertiku.”
Arvy mengatakannya dengan patah-patah. Ia tidak yakin gadis suci itu akan memahami situasinya sekarang. Namun ia paham bahwa Gita tengah trauma, namun ia tak ingat apa yang membuatnya trauma. Ingatan itu akan segara kembali, sampai saat itu ia harus bersiap Gita akan membencinya.
“Kenapa kau berkata seperti itu?”
“Itu hanya sebentar. Sebentar lagi kau akan mengingatnya.”
“Arvy kau tahu? Kau sangat misterius. Anak-anak yang lain mungkin tidak tahu, tapi aku tahu kau berbeda. Kau harus bilang kalau kau kesepian. Awalnya aku hanya ingin menemanimu karena kau selalu sendirian. Tapi sekarang… pokoknya kau harus bilang kalau kau tidak ingin sendirian. Kenapa kau menyembunyikannya?”
Hening. Arvy membisu. Tatapannya datar.
“Kalau begitu peluk aku.” Tatapan Arvy berubah dingin.
“Eh?”
“Cium aku”
“Apa maksudmu?”
“Bukan kau yang pengacau, tapi aku. Akulah detonator-nya di sini.”
“Kenapa kau bicara begitu?”
“Kau tidak seharusnya mendekatiku. Apalagi berpikiran seperti itu. Kau tidak seharusnya berada di dekatku.”
Gita tertegun mendengarnya. Ia menganggap Arvy hanya bersikap sopan padanya. Sepertinya ia tidak suka padanya. Gita menunduk dan berkaca-kaca, ia tidak paham mengapa sedih mendengar itu.
“Kau sebegitunya membenciku?”
“Kenapa kau tidak paham?” suara Arvy meninggi.
“Aku cuma ingin berteman denganmu. Apa tidak boleh?”
Diraihnya bahu kecil gadis itu dan memeluknya. Arvy memeluknya sangat erat. Matanya lagi-lagi memerah. Anehnya, ia tidak bisa mengendalikannya.
“Jangan lihat aku. Jangan berada di dekatku. Kau hanya akan terluka. Aku bukan pria yang pantas kau ajak berteman. Kau tidak aman berada di sampingmu.”
“Aku takut. Tapi aku bersyukur kau menyelamatku.”
Arvy bisa merasakan tubuh Gita yang gemetar ketika membicarakan si br*ngsek itu. Dirinya sengaja memeluknya dan membuatnya mengingat peristiwa kemarin. Itu adalah reaksi tubuh saat Gita bersentuhan dengannya. Meski begitu Gita menahannya, dan tahu Arvy bisa melakukan itu. Entah kenapa dirinya paham bahwa ada yang unik dari diri pria yang disukainya tersebut.
“Gita harus melupakanku, tapi Rey bisa kembali kapan saja menyerangnya. Di perpustakaan tadi jelas pria yang melewatiku adalah dia. Aku tidak bisa jauh darinya sekarang, atau ia tidak akan aman seterusnya. Si Rey sialan itu aishh!” batin Arvy.
Dunia Arvy bukanlah dunia romantis seperti yang diharapkan banyak gadis saat mendekatinya. Ia paham dan sadar dirinya berbeda, dan perbedaan ini kadang membuat dirinya sendiri tidak nyaman. Tapi tidak ada cara lain selain menerimanya. Sebisa mungkin ia menyembunyikan kekuatan indigonya dan bersikap dingin agar tidak ada yang mendekatinya. Tapi kenapa gadis suci ini? Kenapa malah gadis istimewa ini yang terus-menerus membuat dirinya sendiri celaka dengan berteman dengannya?
Warna mata Arvy kembali normal, ia tidak paham kenapa tadi sesaat warnanya berubah merah padahal ia sedang tidak dikuasai amarah. Mungkin karena emosi yang membuncah ini tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Mereka berdua melepas pelukan masing-masing dan menatap satu sama lain.
“Bolehkah aku menciummu?”

The GladiolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang