Deja Vu

4 2 0
                                    

“Dio? Arvy? Siapa diantara kalian yang mau membuatkanku omeletto?” tanya Amy sembari menguap lebar.
“HA?!” teriak Dio dan Arvy bersamaan.
Akhirnya Dio-lah yang memasak telur untuknya. Ia menggunakan celemek motif spiderman di dapur. Arvy dan Amy masih bisa melihat Dio. Mereka duduk di kursi tanpa lengan.
“Sampai kapan kau akan menyiksa kakakmu?” tanya Arvy.
“Kakak? Siapa? Dia bukan kakakku.”
“Dasar durhaka,” oloknya. “Hoi Dio, meski begini kau masih mau memasakkan makanan untuk dia?” Arvy mendecakkan lidah, tak habis pikir.
“Kenapa kau urus hidup orang lain. Urusi saja urusamu, sialan!”
“Sialan katamu? Aishhh gadis kurang ajar ini,” Arvy melempar tinju pura-pura seolah akan memukul kepala Amy, namun Amy hanya menjulurkan lidahnya lalu kabur. Ia duduk di sofa panjang ruang tengah sembari membawa lari sebotol susu 1 liter untuk diminum sendiri.
“Dasar egois! Argggh sangat menyebalkan.” Arvy menjambak rambutnya sendiri frustasi, ingin memberi pelajaran keponakannya yang satu itu, tapi berakhir jadi bahan tertawa Dio.
“Diooo… cepatlah…” teriak Amy.
“Sebentar lagi..” balas Dio dengan tersenyum lebar.
“Kau tersenyum? Apa kau babu, huh?”
Dio lag-lagi hanya membalasnya dengan senyuman ramah tamah.
Arvy yang melihat dua kakak adik yang lebih mirip pembantu-majikan itu jengah. Ia berdiri, melangkah menuju kamar mandi sambil mendumel.
“Terserah kalian. Mau pembantu, majikan, atasan, bawahan, terserah kalian. Kalian berdua memang orang tak jelas. Woi princess gadungan!” panggil Arvy
Amy menoleh namun sedetik kemudian membuang muka.
“Pastikan kau cuci dengan bersih setelah makan.”
“Ah itu gampang. Urusannya Dio,” sahut Amy tanpa beban.
“Wahh bocah ini benar-benar membuatku naik darah. Sini kau!”
Arvy berakhir mendatangi Amy dan mengambil susu yang ia minum lalu memukulnya pelan di punggung. Amy menggeliat, namun bukannya sakit, ia mengeluh kegelian. Amy tertawa sedang Arvy sangat kesal padanya. Dio melihat keduanya yang mirip kucing dan tikus yang sedang bermain.
“Kak Arvy banyak berubah, Amy juga, jadi lebih nakal dari sebelumnya,” batin Dio.
“Ah sial. Kemarin dia memelukku dengan penuh nafsu, sekarang dia menghabiskan satu liter susu di kulkasku. Sehari dia jadi wanita, seharinya kemudian jadi anak-anak.” guman Arvy dalam hati.
Entah kenapa Dio merasa lega. Ia pikir keluarganya benar-benar bisa hidup normal.
Setelah agak siang ketiganya kembali ke aktivitas masing-masing. Dio bersama Amy pulang dengan mobil Dio yang parkir di bawah. Amy hanya menurut saja meskipun agak sebal karena Dio selalu bertingkah seperti ayahnya, bahkan ayah mereka sendiri tidak seperti itu. Sebelum pergi Arvy mengajak Dio minum kopi bersama di kafe rumah sakit sore nanti, dan Dio menyetujuinya. Mereka berdua berpisah dengan Arvy di lantai bawah.
“Terima kasih, Kak. Terima kasih karena sudah menampung kami.” kata Dio.
“Em. Pulanglah dengan selamat. Hati-hati.”
Dio menyetir mobil dengan halus. Ia melambai pada Arvy, kemudian meninggalkan gedung apartemen.
Di jalan Dio berbincang ringan dengan Amy.
“Dio,” panggil Amy. Dio menduga ketika adiknya memanggilnya pelan pasti ada maunya. “Apa aku mabuk semalam?”
“Em, sangat.”
“Ah!” Amy memegang kepalanya frustasi.
“Apa aku berbuat hal yang memalukan? Kenapa aku sama sekali tidak ingat? Ah sial!”
Dio meliriknya sekilas. “Nanti juga ingat sendiri.”
“Tadi…ehem.. apa yang kau bicarakan dengan Arvy?”
“Kapan?”
“Tadi saat aku baru bangun tidur.”
“Ah itu. Tidak apa-apa, tidak penting.”
“Cih. Kau pasti berbohong. Cepat jawab dengan jujur apa aku berbuat sesuatu yang aneh semalam?”
“Kenapa kau tanyakan itu padaku? Tanya saja sama Kak Arvy sana!” Dio jengkel. “Dan satu lagi, tidak bisakah kau panggil dia dengan benar? Kau tidak sopan denganku tidak apa tapi jangan padanya, dia lebih tua dari kita!”
Amy memicingkan mata. “Astaga kau menggelikan. Apa kau pacarnya? Ya terserah aku mau panggil siapa, toh kita bertiga tidak ada hubungan keluarga secara biologis.”
Sreeeet
Dio menghentikan mobilnya di tepi jalan mendadak. Amy semakin marah, emosinya meledak-ledak. Ia memang selalu seperti itu, tapi entah kenapa kali ini Dio agak jengah.
“Jika kau tidak bisa memanggilnya kakak, turun dari mobil sekarang.”
“Apa?! Dio, kau ini kenapa sih? Apa aku melakukan kesalahan? Br*ngsek!”
“Apa kau bilang? Apa kau baru saja mengumpatiku? Kau benar-benar….” Dio tidak sadar mengepalkan tangan.
“Ini masih pagi, jangan mengajakku bertengkar!”
“Lihat siapa yang marah pada siapa!”
Amy mendadak mendekat, dia menarik dasi Dio. Wajah mereka berdekatan hanya beberapa senti.
“Dio Satria, kau…”
“Jangan-jangan…” tebak Dio dalam hatinya. Ia tidak yakin.
“Kau…” Amy mendekat lagi.
“Berhenti!” Dio mendorong bahu Amy pelan. “Hentikan. Pergi kau sekarang!”
“Kau mengusirku? Berani sekali kau!”
“Aku tidak meminta Amy. Aku minta pergi dari tubuh adikku sekarang.”
Amy tertegun. Kemudian tertawa lebar.
“Tadinya adikmu benar-benar marah tau! Hanya saja dia tidak mau memaki kakak kesayangannya, makanya aku membantunya. Ha ha.”
Dio membuang muka. Ia memukul setir mobilnya namun tidak bisa berbuat apa-apa. Ia mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang.
“Bisakah kau menjemputnya sekarang?”
“Dimana?”
“Dekat jalan perempatan.”
“Baiklah.”
“Mohon bantuannya, Alfa.”
Alfa tersenyum dan mengakhiri panggilan teleponnya dengan Dio.
“Aku merasa pernah melakukan ini sebelumnya, arggghh.” Dio mengacak rambutnya frustasi.
“Cih, kau memanggil anak bodoh itu lagi.”
“Diamlah! Kau tidak tahu Alfa sahabat baiknya Amy?!” Dio sangat marah pada fyber emosian sepertinya. “Baru kemarin kau membuat masalah di bar orang lain sekarang bar-nya Kak Arvy. Berhentlah keluar mendadak seperti ini. Biarkan Amy bernapas!”
Amy mematung, terdiam, dengan tatapan datar ke udara. Mendadak ia kembali ke keadaan semula, kembali menjadi dirinya sendiri. Ia menoleh dan melihat wajah Dio yang memerah marah. Ia pura-pura dan mendengarkan Dio seolah belum kembali.
“Berhentilah bersikap tidak sopan pada Kak Arvy, kumohon. Dia memang orang yang dingin awalnya, tapi bukankah kau juga melihatnya ia berubah beberapa tahun terakhir ini. Dia jadi lebih humble dan supel pada kita. Tidak apa-apa jika kau tidak memanggilku kakak, tapi setidaknya…”
“Kak Dio,” panggilnya, Dio menoleh, terkejut.
“Kau…Amy?”
“Iya. Maafkan aku. Lain kali aku tidak akan membiarkan fyber payah mengambil kesadaranku.” Amy menunduk merasa bersalah. “Sepertinya aku sudah ingat apa yang terjadi semalam.”
Dio menghela napas. Tidak tahu harus mengatakan apa lagi.
“Turunlah. Alfa sebentar lagi datang. Kembalilah ke apartemen dengannya.”
“Oh ya, Kak. Sepertinya aku tidak bisa berhenti dari pekerjaan itu. Meskipun kemarin kau memarahiku, tapi aku minta jangan marah pada Alfa, dia cuma mengikutiku saja.”
Kemarin Amy pernah mabuk dan keceplosan bilang bahwa ia berbohong, sebelumnya dirinya bilang bahwa ia bekerja di supermarket sebagai kasir. Ia menolak kuliah, kakek dan ayah masih mengirimi bulanannya, namun Amy kadang tidak mengambilnya. Ia memilih bekerja sebagai pengusir hantu.
“Aku kira aku akan baik-baik saja di usiaku 20 tahun. Kau masih magang, dan tahun ini kau lulus dari kedokteran. Tapi aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku ingin lebih kuat, Kak. Aku ingin tahu siapa yang melakukan itu pada ibu, karena itu aku tidak bisa lari, aku tidak mau lari. Aku akan memperkuat…”
“Berhenti.”
Keduanya terdiam agak lama setelah Dio memintanya berhenti bicara. Amy menunduk merasa bersalah. Ia mengakibatkan banyak masalah dan berakhir dengan Dio yang menyelesaikannya.
“Lakukan apapun yang kau suka. Aku cuma minta satu,” kata Dio dengan penuh penekanan. “Jangan mati. Apapun yang terjadi jangan mati di tangan mereka.”
Mereka saling menatap satu sama lain. Ekspresi yang mewakili bahwa sebenarnya sangat sulit berpura-pura baik-baik saja ke depannya, meski begitu mereka tetap bertahan. Demi ibu, demi ayah, dan demi mereka berdua.
“Hem. Aku tidak akan mati semudah itu.”

The GladiolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang