Animo

3 2 0
                                    

Lagi-lagi mayor berhalusinasi melihat isterinya yang cantik tengah menemaninya menyaksikan putra putri mereka tumbuh. Dulu, saat Nadia baru beberapa hari berada di rumah sakit, mayor tidak pernah absen mengunjunginya. Membersihkan wajah dan badannya dengan air hangat, mengecek monitornya dan menyelimutinya dengan baik.
Suatu hari direktur mendapatinya tengah menangis pilu di samping Nadia. Ia dengan wajah tenangnya hanya bisa menghela napas berat.
“Kau memang kuat, Holan. Tapi tidak untuk hatimu. Perasaanmu makin melemah tiap harinya. Kau tidak akan bisa melindungi orang-orang yang kau sayangi jika terus seperti ini,” gumam direktur dari luar pintu.
***
Dio mengecek jam di pergelangan tangannya. Mobil jemputan datang tepat waktu di depannya.
“Woy Dio! Adikmu tidak berangkat sekolah?” tanya temannya saat melihat mobil bagian belakang kosong.
“Dia sedang tidak bisa ke sekolah.”
“Sakit?”
“Bukan sakit. Cuma tidak dalam kondisi sekolah saja. Hehe.”
“Kenapa kau senyum-senyum gitu?” temannya heran melihat Dio bertingkah aneh. “Tadi kulihat kau di kelas main ponsel terus, aku penasaran apa kau punya pacar baru, ternyata kau sedang searching di internet ice cream cokelat. Apa kau kecanduan ice cream?”
“Haha. Tidak. Aku cuma sedang cari kedai ice cream enak di sekitar sekolah. Aku suka ice cream akhir-akhir ini.”
“Benarkah? Kau jangan bohong! Pasti kau punya pacar baru kan? Ayo ngaku! Pasti ice cream itu untuk pacarmu!” temannya itu melingkarkan lengannya di leher Dio.
“Kalau kau mau, akau akan bawakan ice cream yang banyak untukmu besok, untuk anak-anak yang lain juga, bagaimana?”
“Curang kau! Awas saja tidak beritahu kami siapa nama pacarmu.”
“Sumpah bukan pacar.”
“Ah tidak adil. Aku tidak mau tahu. Sudah sana pulang kau.”
Dio masih tertawa dan melempar canda pada temannya. Hingga akhirnya ia masuk ke mobil dan meninggalkan sekolah. Di dalam mobil Dio masih senyum-senyum sendiri.
“Pacar apanya, ini bahkan lebih membahagiakan daripada punya pacar,” senyumnya sembari melihat-lihat gambar ice cream di internet.
“Hari ini jadi mampir untuk membeli ice cream, Tuan Muda?” tanya supir.
“Iya. Aku mau beli ice cream coklat untuk Amy.” Dio sumringah.
Sesampainya di rumah Dio menenteng tas kado berisi cake dan ice cream cokelat yang dibungkus cantik dengan pital. Ia berlari menaiki tangga dengan bersemangat sembari tersenyum lebar membayangkan adiknya menerimanya. Dio berdiri di depan pintu lalu mengetuknya.
“Amy? Kau di dalam? Kakak bawakan ice cream dan cake kesukaannmu, loh.”
Amy keluar dan menyambut kakaknya dengan bahagia. Ia melihat tas kado yang cantik di tangan Dio.
“Tadaa….”
“Waaaahhh..” mata Amy berbinar. “Ini untukku?”
“Tentu saja,” Dio tersenyum lebar hingga matanya menyipit. “Ayo makan bersa…”
“Sayangnya aku bukan adikmu yang kemarin.”
Ctassh..
Seolah tersambar petir di siang bolong. Dio tertohok seolah mau pingsan. Ditatapnya wajah adiknya yang serius dan garang itu. Sorot matanya berubah dan dahinya berkerut.
“Amy kau…”
“Maaf, Kak. Aku minta maaf karena menimbulkan hal tidak nyaman kemarin. Tapi kuharap ini tidak berlanjut. Maafkan aku membuyarkan ekspektasimu bahwa aku adalah adik yang imut dan penurut. Aku tidak bisa menerima hadiah ini. Sekali lagi, aku minta maaf.”
Amy berbicara dengan wajah datar. Ia berterima kasih dengan setengah hati. Setelah itu pintu kamarnya ia tutup.
Dio hanya  bisa membisu dan shock hebat. Tubuhnya membeku tak bisa digerakkan, ia menjatuhkan tas yang dibawanya. Kue coklatnya terhempas keluar hingga penyok, sedang ice cream-nya telah mencair.
Paginya, mereka bertiga sarapan bersama. Bibi menuangkan susu di gelas Dio dan gelas Amy. Mereka berdua diam seribu bahasa. Amy yang biasanya cerewet karena malas minum susu kini diam. Malah ia menenggak habis susunya. Begitu juga Dio. Ia biasanya sering bercerita tentang teman-temannya di sekolah yang bawel dan cerewet, namun kali ini ia hanya menikmati sarapannya tanpa membicarakan apa-apa. Mayor menyadari ada yang aneh dari keduanya. Meskipun tidak akur, namun mereka tidak pernah menahan diri jika ada yang tidak mereka sukai. Amy dan Dio benar-benar bertengkar, begitu pikiran mayor.
“Kau minum susu pagi ini,” mayor basa-basi pada Amy. “Baguslah.”
“Kau tidak membelikan teman satu kelasmu snack kan kemarin, Dio?” ia juga basa-basi pada Dio.
Keduanya hanya berdehem. Tidak mengatakan apapun.
“Biasanya kalian kan memang bertengkar, tapi tidak seserius ini. Apa kalian…” kata-kata mayor disela Dio sebelum selesai.
“Tidak. Tidak terjadi apa-apa.” Dio membersihkan mulutnya, lalu bangkit dari kursinya dan mengambil tas punggung di sampingnya. “Aku sudah selesai sarapan. Aku berangkat dulu.”
Mayor berusaha menghentikannya, namun Dio cepat-cepat keluar.
“Amy bagaimana? Kau meninggalkannya?” teriak mayor.
Dio berhenti namun tidakk menoleh. “Mulai sekarang kita naik mobil yang berbeda saja.”
Ia kemudian keluar dan meninggalkan Amy yang masih sibuk dengan sarapannya. Mayor mendecakkan lidah sembari menggeleng tidak paham.
“Kali ini apa lagi? Semarah-marahnya kakakmu dia tidak pernah menghindarimu.”
Amy masih fokus makan telur dadar.
“Amy!” mayor sedikit meninggikan suaranya. “Bisa jawab ayahmu sekarang?”
“Aku membuat cake yang ia bawa hancur kemarin.”
“Cake?”
“Dia juga membelikanku ice cream cokelat. Aku menolaknya dan dia marah.”
“Bukankah kau cukup menerimanya? Kenapa kau bersikap seperti itu?” mayor meletakkan garpu dan pisaunya di piring. “Apa kau tahu betapa senangnya dia kemarin saat naik komidi putar denganmu? Jujur saja, anak-anak lain akan menertawakannya jika melihat kakakmu yang bersikap bodoh seperti itu. Dio sudah remaja, demi kau dia menahan malunya dan naik komidi putar bersama adiknya yang sebentar lagi masuk SMA tapi tiba-tiba berubah menjadi bayi ini. Sampai kapan kau akan membuangnya?” mayor tidak habis pikir.
“Siapa yang membuangnya? Jangan asal menuduhku!”
“Apanya yang menuduh? Kau jelas-jelas membuangnya selama bertahun-tahun! Dia menenangkanmu ketika menangis, menyuapimu saat tanganmu terkilir karena jatuh dari tangga dulu, meindungimu dari anak-anak lain yang suka membulimu sampai pulang-pulang Dio babak belur, menggendongmu saat tidur, megajarimu belajar matematika padahal kau sangat bodoh matematika, kakakmu harus sabar dengan semua itu.”
“Kenapa baru mengatakan semua ini sekarang? Kenapa tidak dari dulu saja?!” Amy menjatuhkan pisau dan garpunya di piring hingga bersuara prang. Ia melipatkan tangan di depan dada. Ia tahu dirinya salah, namun keegoisannya tetap tidak mengalahkannya.
“Kalau begitu terserah kalau kalian mau diam-diaman begini selamanya. Sekalian saja aku tinggal di rumah sakit bersama Nadia. Biar tidak pusing memikirkan kalian!”
Mayor pura-pura marah. Ia berdiri meninggalkan meja makan, bersiap pergi ke kantor. Di luar supir sudah menunggunya. Ia lalu masuk ke dalam mobil.
“Apa Tuan yakin meninggalkan Tuan Muda dan Nona Muda dalam keadaan seperti ini?” tanya supir khawatir.
Namun tak disangka, mayor malah tersenyum simpul sembari memejamkan matanya santai dan bersandar di kursi belakang.
“Mereka akan segera berbaikan. Percayalah.”
***
“Apa yang harus aku lakukan?” Dio menunduk pasrah di kursi penonton sekitar  lapangan luar. Ia menjambak rambutnya frustasi, tenaganya sudah habis meski jam olahraga baru saja masuk. Dirinya bahkan belum mulai pemanasan.
Beberapa teman menghampirinya dan menempuk punggungnya.
“Dio! Yuk kumpul. Anak-anak sudah ke sana.”
“Kau kenapa? Tidak biasanya kau lemas begini?”
“Aku meninggalkan adikku dan berangkat sekolah sendirian! Tentu saja aku frustasi!” teriak Dio. Tentu saja itu hanya di dalam hatinya..
“Kau bertengkar dengan pacarmu?”
“Wah kemarin kau senyum-senyum seperti orang gila. Sekarang sudah bertengka sajar? Kuharap kau langgeng, lah.”
“Kenapa kau terus membicarakan pacar, sih?” Dio mendongak dan menatap sebal teman-temannya.
“Sudahlah, jangan stres begini.”
“Pak Guru meminta kita ke lapangan indoor.”
“Tidak jadi di lapangan luar?”
Saat mereka tengah berbincang konyol tentang bagaimana caranya membuat Dio kembali bersemangat, tiba-tiba datang teman mereka yang berlarian dari dalam gedung. Ia menghampiri Dio dan teman-temannya.
“Woy Krisna, kenapa lari-lari?”
Krisna berjongkok memegang lutut sembari mengatur napas. Ia berbicara dengan terpatah-patah.
“Kalian cepatlah ke lapangan indoor!”
“Ada apa,” sahut salah satu teman Dio.
“Terutama kau Dio! Cepat ke sana!”
“Kenapa?” Dio bangkit.
“Adikmu yang imut mencarimu!”
“Apa?!”

The GladiolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang