Penyegel Mantra

2 2 0
                                    

Degh
Holan mendadak terbangun dari tidur siangnya. Leher dan dahinya berkeringat, napasnya tak beraturan, ia memegang dadanya yang nyeri. Seorang petugas polisi mendekatinya, ia khawatir melihat Letnan yang nampak bermimpi buruk.
“Letnan, kau baik-baik saja?” paniknya.
“Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja.”
“Bersitirahatlah di ruang kesehatan.”
“Baiklah. Aku akan istirahat sebentar.”
Holan keluar dan menuju ruang kesehatan, di sana sepi dan hanya ada dirinya seorang. Ia menghubungi seseorang.
“Apa?” sahut seseorang dari seberang telepon. Itu adalah suara Rataka.
“Kau yakin sudah membunuh Ando?”
“Kau tidak percaya padaku?”
“Jawab aku, sialan!”
“Woy, tunggu, tunggu dulu, Pak Tua. Tenangkan dirimu, apa yang sebenarnya  terjadi?”
“Aku merasa ada seseorang yang memiliki hawa yang sama dengan Ando berkeliaran di sekitar Amy.”
“Apa?”
“Auranya bahkan lebih kuat dari Ando. Apa kau yakin sudah melenyapkannya?”
“Aku sudah membunuhnya, tidak mungkin dia hidup kembali.”
“Dia memiliki energi yang kuat. Aku tahu Amy juga menyimpan energi yang tidak terbatas, tapi kali ini…orang ini lebih cerdas, mungkin dia mengelabuinya hingga tidak menimbulkan guncangan pada energi Amy.”
Rataka terdiam.
Holan sendiri masih menganggap ancama seperti Ando adalah pihak-pihak mandiri yang menginginkan Amy. Ratak tidak bisa memberitahu yang sebenarnya bahwa ada aliran di luar sana yang menginginkan Amy sebagai tumbal ritual terakhir mereka, setelah membuat dua wanita koma di rumah sakit, siapa lagi kalau bukan Nadia, sekaligus isteri Ardana. Tinggal menunggu waktu hingga Amy cukup usia, untuk itulah mereka terus mengirim orang di sekitar Amy untuk melemahkannya, agar mudah di proses saat waktunya tiba nanti.
“Taka! Taka!”
“Oh.”
Tidak sadar Rataka melamun dan memikirkannya, jika yang dikirim adalah seseorang yang tidak bisa ia deteksi dengan kekuatannya, maka percuma. Ia sepertinya gagal melindungi Amy.
“Dengarkan aku baik-baik, Holan.”
Holan menelan ludah dengan kesusahan. Ia tidak bisa menerka apa yang akan dikatakan pria itu.
“Meskipun usiaku 245 tahun dan abadi, dan meskipun aku adalah warga terakhir dari suku Penyegel Mantra, bukan berarti aku bisa membunuh semua musuhmu. Aku bilang sejak awal, kan? Aku akan melindungi keluargamu dan keturunan dari ayah isterimu, tapi aku memiliki kekurangan.”
“Sebenarnya apa yang ingin kau bicarakan? Bicaralah dengan lugas!”
“Aku membunuh Ando. Aku melenyapkan Ando sekali tebas dengan pedang rubah kesayangan milikku, Liska. Aku juga membuat putrimu tidak mengingatku setelah aku melibatkan diri di hidupnya, tapi… kau harus mencaritahu sendiri, kenapa semua ini semua bisa terjadi pada keluargamu.”
“Apa maksudmu?!”
“Aku memang muda, tapi kau tidak lebih muda dariku. Bisakah kau menunjukkan sopan santunmu?”
“Baiklah. Aku minta maaf karena meluapkan emosiku padamu. Aku tahu ada yang kau sembunyikan dariku dan kau memintaku mencaritahunya sendiri. Tapi…aku hanya meminta satu hal. Tetaplah menjadi pelindung keluargaku.”
“Dasar naif. Kau bahkan tidak tahu siapa yang memerintahkanku untuk melindungimu,” gumam Rataka dalam hati.
Sementara Holan tidak tenang di markas militer, Rataka tengah berbincang santai dengan seseorang. Dia adalah Direktur Satria.
“Holan menghubungimu?”
“Iya, dia sepertinya panik karena putrinya dalam bahaya.”
“Tetaplah di sampingnya. Aku khawatir, Holan akan membunuh dirinya sendiri begitu tahu Nadia menjadi tabungan tumbal si Ramon, pemimpin sekte Segitiga Merah.”
“Sepertinya dia juga akan menggila ketika mengetahui bahwa Amy juga salah satu yang Ramon incar.”
Direktur menghela napas panjang. Ia meletakkan cangkir di meja.
“Kau sudah menemukan keberadaan Ramon?”
Rataka menggeleng lemah.
“Ingat, misimu adalah jangan sampai membuat Holan bertemu dengan Ramon. Kalau kekuatannya yang kusegel sebagian muncul, dia akan kalah dari energinya sendiri.”
“Jadi karena itu anda menyegel kekuatannya?”
“Tentu saja. Nadia dan Ardana sebelumnya juga begitu. Hanya saja milik Nadia semakin kuat, ketika kukira milik Ardana yang menguat hingga ku salah tebak dan membuat putriku melemah dan mudah dijarah dengan mantra dan kutukan.”
“Anda tidak bsia memprediksi siapa yang diinginkan sekte itu.”
“Ah ya, bagaimana dengan perkembangan cucu-cucuku?”
“Dio dan Arvy baik-baik saja. Amy masih sedikit mengkhawatirkan, namun akhir-akhir ini membaik. Dia menikmati kehidupan keluarga dan sekolahnya dengan normal, seperti anak-anak lainnya. Fyber dalam dirinya kadang-kadang muncul, namun akhir-akhir ini mereka tidur dengan tenang.”
“Baguslah. Bagaimana keadaan rubahmu?”
“Ternyata banyak yang lebih mempedulikan Liska daripada tuannya. Kemarin Holan, sekarang anda yang menanyakannya.”
“Aishh kau ini.”
“Tentu saja baik-baik saja, Direktur. Aku sudah memandikannya dengan kembang 7 rupa.”
Direktur manggut-manggut.
Tiba-tiba direktur berdiri dan mengambil pisau buah di meja. Ia tersenyum menyeringai dan melempar pisau itu tepat di jantung Rataka. Adegan itu terlalu cepat hingga Rataka tak bisa menghindarinya. Meskipun sudah menua Direktur masih lincah.
Jlep.
“Direktur!” teriak Rataka. Darah mengalir di kemeja putih Rataka. “Kenapa kau selalu main-main seperti ini. Sakitnya tetap bisa kurasakan tahu!”
“Ha ha ha ha.”
“Kau selalu menganggap ini lelucon.”
“Aku cuma memeriksa. Mungkin saja kau bisa mati,” tawa Direktur terdengar hingga keluar ruangan.
Rataka mencabut pisau itu dan meletakkannya di meja. Luka di dadanya kembali menyatu dan hilang tak berbekas seolah tak pernah terjadi. Hanya saja kemejanya terlanjur kotor dan berubah warna menjadi merah darah. Ia berdiri dan keluar ruangan dengan jengkel.
“Sudahlah aku pergi dulu.”
“Janganlah marah.”
Rataka tetap meninggalkan ruangan dan menutup pintu dengan keras. Sekretaris yang melihat Rataka keluar dengan keadaan bersimbah darah terkejut dan menutup mulutnya. Rataka sadar kemudian menutupi dadanya dengan jas.
“Anda baik-baik saja?” tanya sekretaris itu.
“Ah ini cuma saus tomat. Direktur tidak sengaja menumpahkannya di bajuku. Haha.” ia tertawa garing dan menggaruk rambutnya yang tak gatal. Kemudian berlalu meninggalkan kantor.
***
Alfa berjalan dengan wajah riang di koridor sekolah. Semua orang tengah berada di lapangan hingga beberapa kelas sepi, lainnya berada di lab. Sedangkan dirinya berjalan santai menuju Unit Kesehatan Sekolah yang terletak di sudut sekolah. Ia masuk ke dalam sana dan mendapati Amy tertidur lelap di salah satu ranjang.
Alfa tersenyum licik, ia menaikkan sudut alisnya dan sudut bibirnya bersamaan. Kemudian mengunci pintunya dari dalam.
“Memangnya aku peduli pada atasan sialan itu. Aku cuma menginginkan Amanda, tidak ada yang lain.”
Ia mendekat dan berdiri di samping ranjang. Disentuhnya rambut gadis pujaan hatinya yang harum. Rok pendek seragam membuatnya bergairah, dan kemeja atas yang begitu ketat di bagian dada. Usianya masih 15 tahun, tapi Amy benar-benar telah menjadi seorang wanita.
“Amanda, kau tahu kalau aku sangat menyukaimu dulu kan?” Alfa mengusap lembut pipi Amy. “Kau pasti akan senang karena aku akan menyelamatkanmu dari genggamannya (Ramon). Kau tidak boleh menjadi milik siapapun.”
Iris mata Alfa menajam. Ia membuka kancing kemeja seragamnya satu persatu kemudian naik ke atas ranjang dan berada di atas tubuh Amy. Dihisapnya energi Amy di leher hingga belakang telinga. Disingkapnya rok Amy ke atas perlahan, tangan besarnya yang nakal itu masuk ke dalam roknya. Ia berbisik di telinga Amy dengan pelan. Kedua bola matanya berubah merah.
“Kau tidak boleh menjadi milik siapapun. Kau harus jadi milikku.”

The GladiolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang