PETRA POV
Setelah membuat perkara kecil di kelas tadi, aku dan Jozi dipanggil ke ruang guru. Mrs. Alana memperingatkan kami untuk tidak mengulangi perbuatan itu, terlebih saat pelajaran tengah berlangsung.
"Jozi! Tunggu dulu!"
Jozi tampak terburu-buru, langkahnya cepat sekali. Tubuhya yang kecil sangat lincah, aku jauh tertinggal di belakangnya.
Aku masih terus meneriaki namanya sepanjang koridor. Aku hanya ingin meminta maaf atas kejadian ini dan rasa ketidaknyamanan yang dialaminya.
"Jozi!" Panggilku sekali lagi. Jozi membuang napas secara kasar ke udara, kemudian berbalik menatapku tajam. Sejujurnya aku cukup merinding melihat sorot matanya, rasanya seperti aku siap dihabisi kapan saja.
"Kau! Berhenti memanggil namaku! Aku tidak peduli dengan omong kosongmu soal menggambar, seniman, atau bahkan menjadi guru seni adikmu!"
Jozi mengatakan kalimat itu dengan tenang, tapi aku tahu dia sangat serius.
Usai melontarkan kalimat penekanan padaku, watermelon girl pergi menjauh, menyusuri koridor sekolah yang panjang.
Sedangkan aku? Termenung menatap punggungnya yang makin jauh dan menyesali perbuatanku.
*****
JOZI POV
Hari sudah gelap. Pukul sepuluh lebih lima belas menit, waktu malam. Aku membuka pintu taxi, kemudian membantu ayah turun dari sana. Aku berjalan pelan selagi memeganginya. Aku cukup terkejut mendapati banyak sampah berceceran di depan pintu. Beberapa di antaranya mengeluarkan bau busuk menyengat dan dihinggapi lalat.
Beginilah kalau tidak ada aku. Ibu dan Ivory sama sekali tidak peduli dengan urusan rumah.
Aku dan ayah bergegas masuk ke dalam rumah. Jangankan ada yang menyambut kami, pada saat ayah di rumah sakit saja tidak ada yang berniat menjenguk atau merawatnya. Hanya aku seorang.
Aku menahan napas begitu indera penciumananku menangkap aroma tidak sedap. Kulihat tumpukan piring dan sisa-sisa makanan di atas wastafel. Selama tiga hari kutinggal pergi, rumah ini sudah mirip kapal pecah yang dikelilingi bau bangkai.
Ibu dan Ivory tengah menonton acara talkshow di televisi. Mereka tertawa kencang sekali layaknya menonton film komedi. Sepertinya mereka belum menyadari kehadiranku dan ayah.
Tiga detik kemudian, ibu menoleh ke belakang, mendapati aku dan ayah.
"Baguslah kau kembali, cepat bersihkan tumpukan piring itu! Aku tidak tahan baunya" perintah ibu padaku. Tidak seperti biasanya, wanita paruh baya itu tampak waras. Bahkan aku tak melihat gelas beer di meja yang berada di hadapannya.
"Ayah baru saja pulang dari rumah sakit, dan kalian sama sekali tidak peduli?!" ucapku setengah berteriak. Ibu dan Ivory yang semula tertawa langsung berhenti.
Aku bisa merasakan dadaku terbakar amarah, sementara ayah berdiri cemas di sampingku.
"Kau berani berteriak padaku?!" Balas ibu dengan nada tinggi.
"Kalian benar-benar tidak waras. Jangan harap aku mau membereskan kekacauan ini" ucapku sambil melirik keadaan sekitar yang sudah seperti kandang babi.
Sebelum pertengkaran menjadi lebih parah, aku segera menarik ayah ke dalam kamar, membaringkannya di atas kasur. Ayah tampak cemas dengan drama pertengkaran barusan, tapi aku berulang kali meyakinkannya kalau itu bukan apa-apa. Lagipula, aku sudah terbiasa. Adu mulut hingga baku hantam pernah kulalui di keluarga ini.
Aku keluar dari kamar ayah. Tepat di depan pintu, ibu sudah menyambutku dengan murka. Pergelangan tanganku ditariknya dengan kuat. Meskipun aku memberontak dan berusaha keluar dari situasi ini, namun nyatanya aku tak berdaya. Energiku seolah tak bersisa sedikit pun.
Ibu menyeretku ke ruang tamu, di sana, tubuhku didorong hingga jatuh menghantam lantai.
Ibu memerintahkan Ivory untuk mengambil tongkat kasti. Ivory tampak ragu sesaat, namun pada akhirnya ia kembali ke dengan tongkat tersebut di tangannya.
Aku tahu. Aku sangat tahu bahwa sebentar lagi aku akan dihabisi di sini. Aku akan babak belur. Sepertinya ini akan lebih menyakitkan daripada biasanya, mengingat aku akan dihabisi menggunakan tongkat kasti, bukan sapu, tongkat pel, atau vas bunga seperti biasa.
Anehnya, aku tidak takut. Tubuhku tidak gemetar. Aku pun tidak ada niatan kabur.
Dalam hitungan ketiga, tongkat itu menghantam pahaku. Aku menggigit bibir, menahan rasa sakit di sana.
Ibu terus mengarahkan tongkat kasti itu ke tulang pahaku sebanyak empat kali, hingga pada ayunan kelima, ayah datang dengan raut wajah cemas.
"Rina! Apa yang kau lakukan pada anakmu sendiri!?" Teriak ayahku berusaha melindungi. Kini ayah berdiri di antara aku dan ibu sebagai benteng pemisah. Tubuh Ayah gemetaran, entah karena menahan rasa sakit di kepalanya atau rasa takut menghadapi mode singa ibuku.
Ibu melempar tongkat kasti di tangannya. Napasnya tersengal-sengal akibat amarah yang tak terkontrol. Di sisi lain, Ivory hanya diam tercengang di belakang. Padahal dia cukup sering memukul atau melempariku dengan barang-barang, bahkan pada level di mana dia berhasil membuat kepalaku berdarah. Tapi ekspresinya sekarang seolah menunjukkan bahwa ia ketakutan. Apa mungkin karena ini adalah pertama kalinya dia melihat ibu memukuliku dengan membabi buta?
"Bagaimana bisa aku punya anak pembangkang sepertimu!" seru ibu kemudian berlalu menuju kamar.
Aku menarik napas dengan berat, merasakan sakit yang luar biasa hingga ke ubun-ubun.
Kurasa sekarang kalian mengerti segila apa keluarga ini.
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
FROM ME, TO YOU
General Fiction'Masih adakah tempat untukku di sini?' -Jozi Askara Ini adalah kisah yang teramat biasa, tentang seorang gadis berusia 17 tahun dan 'musuh' terbesar dalam hidupnya.