9. Help

3 0 0
                                    

KENZO POV

Hari ini cuaca sangat bersahabat. Aku mengikat tali sepatuku kencang, kemudian berjalan optimis menuju lapangan sekolah. Hari ini waktunya pelajaran olahraga. Seperti biasa, aku berencana untuk bermain sepak bola favoritku.

Peluit ditiup, seluruh siswa berbaris rapat untuk memulai sesi pemanasan. Pemanasan dimulai dari gerakan ringan dan diakhiri oleh lari tiga kali putaran lapangan. Semuanya berjalan lancar hingga sebuah insiden terjadi saat agenda berlari keliling lapangan.

Lagi-lagi dia. Jozi si kacang tersandung saat berlari. Anehnya kejadian itu tak hanya sekali, terhitung sudah tiga kali dia ambruk menghantam rumput lapangan.

Si kacang berlari dengan sangat lambat, dia terlihat kepayahan dengan kondisi setengah pincang. Aku bisa tahu karena aku berada di posisi paling belakang.

Instingku mengatakan untuk mendekati si kacang. Setibanya di sana, aku bisa tahu bahwa kondisinya tidak baik-baik saja. Dia seperti menahan sakit, satu tangannya sibuk memegangi paha kanan, tak jarang erangan kecil keluar dari bibir kehitamannya.

Aku bisa saja berlari melewati Jozi dan bersikap seolah tak tahu apa-apa, tapi entah apa yang terjadi, aku merasa sedikit khawatir dengan kondisinya.

Puncak dari kekhawatiranku ketika melihat tubuh mungil Jozi ambruk untuk kesekian kalinya. Gadis itu mengerang kesakitan sambil memegangi paha kanannya. Dugaanku semakin kuat, pasti sumber masalahnya ada di sana.

"Hei, kau baik-baik saja?" ucapku selagi berjongkok untuk menolongnya.

Begitu melihat wajahku, dia melengos tak mau peduli. Dasar, gadis ini masih saja bersikap sok kuat.

"Aku bisa sendiri" jawab si kacang singkat. Dengan usaha keras, ia bangkit, berusaha melanjutkan larinya.

Baru tiga langkah, si kacang mengerang kesakitan lagi. Aku mendesah panjang, mengeluh dalam hati betapa susahnya berhadapan dengan gadis spesies langka ini.

"Dasar kepala batu" kataku seraya mendekat ke arahnya.

Dalam satu gerakan, aku berhasil meletakkan lengannya di pundakku. Ya, aku berniat memapah gadis apatis ini keluar lapangan.

Sepertinya tindakanku cukup membuat banyak orang terkejut, termasuk kawanku sendiri. Mereka berteriak meledek, ada pula yang berbisik layaknya tetangga yang sedang menggunjing.

Tapi aku tidak peduli. Sebagai siswa nakal yang kerap dibicarakan, aku sudah terbiasa.

******

JOZI POV

Kakiku sakit sekali. Aku tidak menyangka akan separah ini akibat dari perbuatan ibu semalam. Kupikir tubuhku sudah kebal akan rasa sakit, namun justru sebaliknya, tubuhku remuk bak ditumbuk batu.

Aku berlari kecil ketika pemanasan. Peduli setan dengan ketertinggalan, bagiku bisa sampai garis finish sudah merupakan keajaiban. Aku jatuh menghantam rerumputan lapangan, kupikir setelah itu semuanya akan baik-baik saja. Ternyata perkiraanku salah, tulang pahaku semakin berdenyut, rasa sakit merambat dari paha ke jari-jari kaki. Akhirnya aku menjadi pincang.

Beberapa teman sekelas yang melewatiku sempat menatap heran, tapi tak ada satu pun yang menghiraukanku, jangankan peduli, bertanya apa yang terjadi pun tidak. 

Tunggu dulu, kenapa aku jadi berharap datangnya pertolongan? Aku kan tidak kenal mereka, bukan siapa-siapa mereka, dan bukan juga teman mereka.

Aku menarik napas dalam, kemudian lanjut berlari setengah pincang, tentu saja dengan rasa sakit tak terelakkan. Meskipun jatuh berkali-kali, aku terus bangkit, melanjutkan langkah menuju garis finish.

"Ah..." aku jatuh untuk kesekian kalinya.

Aku meringis, merasakan kram luar biasa di kaki sebelah kananku. Di tengah keputusasaan, datang seseorang dari belakang mendekatiku.

"Hei, kau baik-baik saja?"

Aku menoleh dan mendapati Kenzo sedang berjongkok di sampingku. Laki-laki itu mengulurkan tangan berniat membantu. Meskipun begitu, wajahnya terlihat asam, seolah dia melakukan ini semua dengan berat hati.

Aku tidak menghiraukannya. Aku bangkit dengan tenagaku yang tersisa, berjalan menapaki rerumputan hijau. Seperti dugaanku, baru tiga langkah aku ambruk lagi.

Dalam hati aku mengutuk. Mengutuk betapa buruknya nasibku ini. Aku merasa tidak seharusnya aku mendapatkan ini semua, ini tidak adil. Ah, benar juga, pada dasarnya hidup memang tidak pernah adil. Tapi tetap saja, ini terlalu berlebihan.

Hatiku sakit. Aku putus asa. Aku berharap semua kepedihan ini akan sirna, tapi apa mungkin? Semua harapan layaknya omong kosong di kepalaku.

Di tengah rasa sakit yang kurasakan, sebuah tangan besar menarikku, menopang tubuhku dengan bahu kekarnya, aku dipapah dengan hati-hati menuju keluar lapangan. Orang itu adalah Kenzo. Lagi-lagi dia membantuku keluar dari situasi yang tidak menyenangkan. Tak hanya sekali, sudah dua kali dia menolongku.

Apa ini? Kenapa dia mendadak jadi sok pahlawan begini? Sebelumnya dia tidak pernah seperti ini.

Baik aku dan Kenzo tak ada yang mengucapkan sepatah kata pun, yang ada hanya bisikan anak-anak kelas yang melihat peristiwa ini. Aku yakin mereka sedang menggunjingkan kami.

Tapi aku tidak peduli. Toh aku tidak meminta pertolongan ke Kenzo, melainkan dia yang berinisiatif sendiri. Aku tidak membuat kesalahan sama sekali di sini.

******

KENZO POV

Selain tubuhnya yang pendek, gadis ini ringan sekali. Aku tak terlalu merasa keberatan ketika memapahnya, hanya saja leherku pegal setengah mati karena harus membungkuk, menyamakan tinggi si kacang. Selama kupapah, gadis ini hanya diam saja, entah apa yang ada di pikirannya.

"Lagi-lagi kau berutang padaku" tegasku begitu sampai di depan ruang kesehatan sekolah. Di sini sepi, hanya ada aku dan dia seorang. 

Tak menggubris ucapanku sama sekali, si kacang malah langsung merebahkan diri di atas ranjang besi. Wah, bukan main, ingin rasanya aku menggebuk belakang kepalanya. Dasar tak tahu terima kasih.

Aku terang-terangan menunjukkan ekspresi kesalku di hadapannya, tapi sudahlah, apa sih yang bisa aku harapkan dari si kacang apatis ini? Lihat, bahkan kini dia memunggungiku, seolah tak peduli atas apa yang sudah kulakukan untuknya.

Aku berbalik, daripada berlama-lama di sini, lebih baik aku kembali ke lapangan. Sesampainya di pintu, gadis itu mengeluarkan suara.

"Terima kasih" ucap si kacang masih membelakangiku. Lirih, tapi aku masih bisa mendengarnya.

Aku terdiam di tempat, tapi aku mengurungkan niat untuk meresponnya, lebih tepatnya aku terlanjur sebal. Namun aku tidak bisa memungkiri bahwa sepanjang perjalananku menuju lapangan, otakku dipenuhi dengan teka-teki si kacang.

*****

FROM ME, TO YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang