10. Dream

5 0 0
                                    

JOZI POV

Aku berjalan pelan menuju ruang kelas, nyeri di kakiku sudah tidak separah tadi. Sepanjang koridor, tindakan Kenzo terus berputar layaknya kaset rusak di otakku. Aku benci menjadi lemah dan tidak berdaya, tapi perasaan macam apa ini? Kenapa aku menjadi sedikit terharu?

Tadi aku sengaja memunggungi Kenzo. Aku tidak ingin menatapnya, lebih tepatnya aku takut. Aku terlalu takut apabila dia melihatku, pertahananku akan roboh. Laki-laki itu tidak pernah tahu bahwa aku berusaha sekeras mungkin untuk tidak menangis.

Kini aku sudah lebih kuat. Kurasa aku siap menghadapi semuanya. Aku terus berjalan hingga akhirnya aku tiba juga di pintu masuk kelas. Seperti biasa, tidak ada yang menghiraukan kehadiranku. Sepertinya mereka baru saja kembali dari istirahat makan siang.

Aku berjalan lemah menuju tempat dudukku. Aku menghela napas lega, kemudian diam termenung menatap keluar jendela. Cuaca hari ini bagus, cerah dan sedikit berawan. Sesekali angin bertiup, menampar wajahku yang kucel.

"Hei, kau sudah kembali?" suara laki-laki terdengar sangat lembut di telingaku.

Aku menoleh dan mendapati si anak baru berdiri di sampingku dengan canggung. Tangannya menggenggam satu buah roti dan satu susu kotak kecil rasa semangka. Aku masih tidak menggubrisnya. Sambil menggigit bibir bawahnya, si anak baru meletakkan roti dan susu kotak itu di atas mejaku.

"Kuharap kau suka ini. Maafkan perilakuku kemarin, semoga kau cepat sembuh" ucap si anak baru dengan sopan, bahkan dia sedikit membungkuk kepadaku.

Aku membuka mulut, berniat menolaknya. Namun sepertinya si anak baru cukup tahu watakku yang keras, dia cepat-cepat menambahkan kalimatnya.

"Kumohon kau jangan menolaknya"

Dengan terpaksa aku menerima pemberiannya. Seolah tahu kalau aku tak ingin diganggu, si anak baru cepat-cepat kembali ke mejanya yang berada di sebelahku, diam dan menyibukkan diri dengan buku Kimia di hadapannya.

Anak baru ini cukup tahu diri rupanya, bisikku dalam hati.

Saat aku membuka bungkusan roti pemberian si anak baru, aku merasa ada yang menatapku dari jauh. Aku memutar wajah dan menangkap basah Kenzo sedang menatapku. Laki-laki itu menatap dingin dan datar, entah apa yang ada dipikirannya. Kami sempat bertatapan sebentar, namun laki-laki itu segera melengos, melanjutkan obrolan dengan sahabat sefrekuensinya.

*****

KENZO POV.

Aku tengah berbicang mengenai kemenangan klub sepak bola Mancaster United bersama sahabatku ketika aku melihat si kacang masuk ke dalam kelas. Langkahnya masih pincang, tapi sepertinya keadaannya sudah membaik.

Dia duduk di kursi kebanggannya di pojok belakang kelas, menatap keluar jendela sambil termenung. Sesekali angin menerbangkan rambutnya yang bergelombang. Aneh. Fakta bahwa aku mengamatinya hingga sedetail ini membuatku tercengang. Meskipun aku tahu bahwa ini tidak masuk akal, aku tetap memperhatikannya.

Gadis itu masih diam, hingga akhirnya aku melihat si anak baru bernama Petra mendekat ke arahnya. Entah apa yang diucapkan oleh anak baru itu, tapi aku cukup tahu niatannya. Si anak baru sepertinya berniat memberikan roti dan susu kotak kecil kepada Jozi. Jozi tampak ragu, namun akhirnya dia menerimanya.

Aku menaikkan salah satu alis. Apa-apaan itu? Apakah Petra si anak baru itu tengah mendekati si kacang? Sejak kapan mereka menjadi sedekat itu? Terlebih si kacang, gadis itu memiliki harga diri yang tinggi, dia bukan tipikal orang yang dengan senang hati menerima pemberian orang lain. Contohnya seperti tadi, dia tampak sinis ketika aku menawarkan diri untuk menolongnya.

Aku memikirkan teka-teki itu sambil terus menatap si kacang. Tak lama, mata kami bertemu. Sebelum aku dicap sebagai mata-matanya, aku segera melengos.

*****

JOZI POV

Hari-hari berlalu seperti kilatan cahaya. Keadaan kakiku sudah membaik, walau terkadang nyeri masih menyergap di malam hari.

Dua hari terakhir, Petra terus mendekatiku. Si anak baru ini terus mengajakku bicara, mulai dari hal-hal kecil seperti film, warna, makanan kesukaan, hingga hal besar yang terasa sangat jauh untuk kugapai. Impian.

Aku tahu Petra sedang berusaha mengulik sesuatu dalam diriku. Dan aku yakin ini ada hubungannya dengan keterampilan menggambar yang ia bicarakan tempo hari.

Bagaimana caranya membicarakan tentang bakat, usaha, kegigihan, dan dukungan dari orang-orang sekitar mengisyaratkan kalau dia sangat mahir menjadi seorang pembicara. Tapi sekali lagi, kalimat diplomatis yang keluar dari mulutnya tidak berarti apa pun bagiku.

Kalimat motivasi adalah omong kosong bagi orang-orang yang tidak percaya. Dan aku adalah salah satunya.

Aku pernah percaya kalimat seperti 'kerja keras akan meghantarkanmu pada keberhasilan'. Namun setelah kupikir lagi, tidak semuanya selalu begitu. Selama ini, kukira aku sudah bekerja keras, tapi tetap saja aku gagal. Daripada 'kerja keras akan menghantarkanmu pada keberhasilan', aku lebih setuju 'kerja keras akan meningkatkan kemungkinanmu pada keberhasilan'. Bagaimana pun juga, ada faktor X misterius di balik kata keberhasilan, itulah yang orang-orang sebut sebagai keberuntungan.

Benar sekali. Keberuntunganku tidak sebaik itu.

"Kau! Dengan tangan seniman itu aku yakin kau bisa masuk ke Universitas Seni ternama di negeri ini!" ucap Petra menggebu-gebu.

Aku tidak menggubrisnya. Aku sibuk menggoreskan pensil di atas kertas, membuat bayangan untuk objek yang kugambar. Ya, aku masih berada di kelas, menggambar untuk pelajaran kesenian.

Petra terus berbicara ke sana ke mari, sesekali dia mengomentari gambarnya yang tidak simetris.

Satu hal yang baru kuketahui mengenai Petra, anak baru ini ternyata cerewet juga. Memang awalnya aku merasa terganggu dengan keberadaannya, tak jarang aku sampai mengusir dan menyuruhnya untuk menjauh. Namun perlahan-lahan aku mulai terbiasa.

Petra cukup cerdik membaca suasana hatiku. Dia tahu kapan harus memberiku ruang untuk sendiri. Pertama dia akan mendekatiku, lalu memulai obrolan. Apabila aku tidak mengusirnya, maka dia akan menganggap itu sebagai sinyal bahwa aku bersedia diajak bicara. Namun, apabila aku mengusirnya -seperti biasa- dia akan menuruti permintaanku, tanpa merasa jengkel.

Jujur saja, aku awalnya ingin membuat dia kesal dengan cara mengabaikannya. Tapi entah kenapa, setiap menolak keberadaan Petra, aku merasa kasihan. Apa karena wajahnya yang polos dan tak berdosa itu?

Entahlah. Aku juga tidak tahu.

*****

FROM ME, TO YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang