5. Father

10 1 0
                                    

Jozi POV.

Aku menyandarkan kepala ke kaca bus. Selagi menatap ke luar, kulihat beberapa kendaraan saling beradu kecepatan. Aku terdiam, masih dengan headset yang terpasang di telinga. Kali ini lagu yang terputar adalah milik NCT 127 berjudul No Longer.

Bus mengeluarkan suara decitan, tak berselang lama berhenti di sebuah halte untuk membawa penumpang baru. Aku tidak mau menyebut ini takdir, tapi salah satu diantaranya ada Kenzo. Dia bahkan sempat tersenyum sinis padaku. Responku hanya melengos tidak peduli.

Terpaan angin membuatku mengantuk. Karena aku tidak bisa menahannya lagi, maka kuputuskan untuk memejamkan mata sebentar. Tiba-tiba handphone-ku bergetar. Ah, lagi-lagi seperti ini. Selalu saja.

Ternyata ada panggilan masuk dari nomor tidak dikenal. Aku mengerutkan dahi. Apa jangan-jangan modus penipuan?

Karena penasaran, aku pun mengangkatnya. Terdengar suara perempuan yang menyahut di seberang sana.

"Apa benar ini saudari Jozi?" Aku menyatukan kedua alisku. Siapa ini? Kenapa dia bisa tahu namaku?

"Ya ini saya sendiri, ada apa ya?" kataku pelan. Bagaimanapun juga aku masih ada di dalam bus, aku tak ingin mengganggu penumpang lainnya.

Perempuan di seberang telepon berbicara panjang lebar, menjelaskan situasi yang ada. Di akhir aku membelalak kaget. Setelah menutup telepon aku langsung bergegas mendekat ke arah sopir bus.

"Pak, boleh saya minta turunkan di sini? Saya ada urusan mendesak" awalnya sang sopir menolak, tapi setelah kubujuk berulang kali akhirnya ia mau juga.

Setelah turun dari bus aku langsung berlari ke arah yang berlawanan.  Ayahku baru saja kecelakaan.

*****
Kenzo POV.

Mengapa semua orang sangat membosankan? Entah itu keluargaku sendiri ataupun teman-teman yang ada di sekolah.

Tapi kalau ditanya siapa orang paling membosankan di dunia ini, maka jawabannya hanya satu. Jozi Askara.

Gadis itu benar-benar membosankan. Dia tidak punya teman, tidak pernah bicara -kecuali penting sekali-, dan dia juga tidak pernah melawan ketika dijahili. Bukankah itu sangat membosankan?

Setiap pagi aku sengaja duduk di kursinya. Mencoba memahami apa yang ada di sekelilingnya, mencoba memahamj apa yang dia lihat selama ini. Tapi tetap saja, aku tak menemukan apapun.

Ada saat dimana secara tidak sengaja aku berpapasan dengannya. Seperti detik ini. Di dalam bus. Lagi-lagi dia melengos begitu melihatku.

Beberapa menit selanjutnya, kulihat dia sudah memejamkan mata. Lihat itu, mau belagak sok diam misterius pun tetaplah dia hanya manusia.

Perjalanan untuk sampai ke halte selanjutnya masih lama, namun secara tiba-tiba gadis itu meminta sang sopir untuk menghentikan bus ini. Aku terkejut. Itu adalah pertama kalinya. Pertama kalinya aku melihat gurat kecemasan di wajah si kacang. Dia tampak panik.

Aku sempat ragu dengan indra penglihatanku sampai akhirnya aku melihatnya turun dari bus dan berlari berlawanan arah.

Apa itu? Hal apa yang membuatnya menjadi seperti itu?

*****

Jozi POV

Aku kehabisan napas setelah berlarian cukup lama. Di sini ada banyak orang berlalu-lalang, belum lagi bau khas obat yang langsung menyeruak ke hidungku. Aku menelisik satu per satu bilik tirai, namun aku masih belum menemukan keberadaan ayahku. Tanganku bergetar saking takutnya, semoga dia tidak apa-apa.

Aku menyibak bilik tirai terakhir. Aku berhasil menemukannya. Ayahku sedang terbaring tak sadarkan diri, saat itu dokter jaga sedang menjahit luka yang ada di kepalanya. Dapat kulihat bercak darah menempel di baju ayahku. Melihat pemandangan itu membuatku lemas tak berdaya, kakiku terasa seperti agar-agar.

"Maaf, apa nona adalah keluarga korban?" Tanya salah satu suster saat itu. Aku mengangguk iya. Sang suster menjelaskan kalau ayahku baik-baik saja, namun beberapa hari kedepan disarankan untuk rawat inap di rumah sakit. Mengingat luka ayah berada di area yang cukup fatal, yaitu kepala. Jadi perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.

Di sini letak masalahnya. Di mana ada uang, maka ada fasilitas yang kau dapatkan. Sedangkan aku tidak punya uang sebanyak itu. Ayahku juga tak ada asurasi kesehatan.

Aku berusaha menenangkan diri dengan duduk di kursi tunggu. Pertama aku harus menghubungi ibu dan adikku terlebih dahulu. Di percobaan ketujuh, mereka masih belum mengangkat panggilan dariku. Baiklah, satu kali lagi. Jika tak ada respon, maka akan kukirim pesan singkat pada mereka.

Setelah menunggu beberapa saat, panggilan pun terhubung. Terdengar suara gumaman ibuku dari seberang. Tanpa basa-basi aku menjelaskan situasi yang ada pada ibuku.

"Bedebah itu kecelakaan? Hah... kau menelponku untuk memberitahu itu? Hei... aku tidak peduli. Berhentilah menelponku!" Seketika panggilan terputus. Meskipun aku sudah menduganya, tetap saja.. hatiku sakit mendengarnya.

Setelah mengirim pesan singkat untuk adikku, aku segera menelepon kakak laki-lakiku Gino. Sempat terdengar bunyi 'tut' tiga kali sebelum akhirnya panggilanku dijawab.

"Halo kak, aku ingin memberitahumu, ayah masuk rumah sakit karena kecelakaan.... Dan aku butuh uang" ucapku to the point.

Kakakku mendesah panjang. Aku yakin ini juga susah untuknya, terlebih ada tanggungan anak dan istri bersamanya. Tapi aku tak punya pilihan.

"Baiklah, akan kutransfer uangnya. Tapi aku tidak bisa memberikan banyak, kuharap kau mengerti keadaanku di sini" mendengar kalimat itu membuatku lega. Tidak apa, setidaknya kalau pun ada kekurangan masih bisa ditutup menggunakan uang tabunganku.

"Sudah kutransfer, maaf aku tidak bisa ke sana sekarang. Sampaikan salamku pada ayah" usai mengucapkan kalimat itu sambungan terputus. Aku bangkit dari posisiku, lalu berjalan menuju tempat pendaftaran pasien rawat inap.

*****

Jozi POV.

Tanganku beringsut membenarkan selimut ayahku. Aku menghela napas kelelahan. Perutku terus berbunyi, aku belum makan siang sama sekali.

Layar handphoneku menyala, sepertinya ada pesan masuk. Rupanya dari Ivory. Pesan itu berisikan:

"Lukanya tidak serius bukan? Kalau begitu kau saja yang merawatnya"

Aku melempar handphone-ku ke sofa. Aku kesal sekali. Kenapa mereka semua begini? Ibu, Ivory, Kak Gino juga -meskipun dia memberi uang, tapi dia sama sekali tidak menanyakan keadaan ayah- . Apa mereka sudah tidak peduli dengan keluarga mereka sendiri? Ah.. benar juga.. daripada keluarga, situasi ini lebih mirip orang asing yang tinggal dalam satu atap.

Aku menatap wajah ayahku yang mulai keriput. Ayah terlihat.. sangat lelah. Aku tidak tega melihatnya.

Jam dinding menunjukkan pukul 5 sore, aku harus segera pulang untuk mengambil pakaian ayah. Satu atau dua hari ke depan aku akan di sini menemaninya.

Aku berjalan keluar gedung rumah sakit, telingaku menangkap suara gemericik air. Tunggu.. Apa di luar sana hujan?

Benar saja. Mendadak hujan turun dengan derasnya menghantam permukaan bumi. Ah, aku lupa sekarang sudah memasuki musim penghujan, aku sama sekali tidak membawa payung. Mau tak mau aku harus menerobos.

Di tengah orang berbondong-bondong menepi, aku justru menerobos derasnya hujan. Tak ayal beberapa orang meneriakiku, sayangnya aku tidak mengindahkannya. Sudah tidak ada waktu lagi.

*****

FROM ME, TO YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang