Kenzo POV
Aku tidak pernah menyangka hidup si kacang akan sekeras ini. Usai memantau kegiatannya seharian, aku mendapatkan fakta-fakta menyedihkan.
Di sekolah terasingkan, di tempat kerja terus diintimidasi, dan di rumah harus mendapatkan perlakuan buruk dari ibu dan adiknya. Aku tidak menyangka seorang ibu bisa setega itu terhadap darah dagingnya, bahkan sampai menumpahkan sampah ke tubuh anaknya? Jujur saja, ini tampak seperti kisah menyedihkan di sebuah film.
Dari semua hal yang kulihat hari ini, aku dapat menyimpulkan bahwa hidup si kacang tidak baik-baik saja. Gadis itu selalu ditimpa kesialan dan di kelilingi oleh orang-orang tak berperasaan.
Aku salah. Aku sudah meremehkan si kacang. Selama ini aku melihatnya sebagai gadis apatis yang berlagak sok kuat dan misterius.
Melihatnya seperti ini membuatku sadar bahwa dia juga manusia. Dia hanyalah seorang gadis yang rapuh, sikap tangguhnya hanyalah kamuflase untuk menutupi kepedihan hidupnya. Sudah berapa lama dia seperti ini? Aku tidak bisa membayangkan perasaannya sekacau apa.
Rasa bersalah dan penyesalan menghantam dadaku. Aku merasa berdosa sudah mengganggunya selama ini. Apalagi ketika melihatnya menangis dalam diam, rasanya hatiku hancur bersamanya.
Aku mengepalkan jemari, mengutuk keadaan yang sangat tidak adil bagi si kacang. Bagaimana bisa hidupnya sekacau ini?
*****
Jozi POV
Seperti biasa, di jam istirahat, penghuni kelas akan memadati kantin. Kelas pun kosong, hanya menyisakan aku yang duduk termenung menatap keluar jendela.
Hari ini angin cukup kuat, menyebabkan dedaunan banyak yang berjatuhan ke tanah. Di tengah keasikanku menikmati suasana, seseorang tiba-tiba duduk di kursi yang ada di depanku.
Aku menengok dan mendapati Kenzo duduk menghadapku, laki-laki itu mengeluarkan makanan dari dalam tas kecil, kemudian menyerahkannya padaku.
"Kenapa kau tidak pernah makan siang? Makanlah ini!"
Aku mengernyit tidak mengerti. Ada apa ini? Kenapa Kenzo tiba-tiba menjadi bersikap seperti ini? Apa dia sedang merencanakan sesuatu?
"Tidak mau" gumamku pelan.
"Kenapa tidak?"
"Kau mau apa dariku?" tanyaku berterus terang.Kenzo memutar bola matanya kesal. Dia terlihat berusaha keras menahan amarah.
"Kau sungguh berpikir aku adalah orang seperti itu?" ujarnya tidak percaya.
"Bukankah jelas? To the point saja, kau mau apa?"Kenzo menatap keluar jendela, dadanya naik turun ketika menetralkan emosi yang bergejolak. Beberapa saat kemudian, dia menatapku dalam.
"Sayang sekali. Aku tidak menginginkan apa pun darimu, kecuali kau memakan ini"
Aku terdiam menatap wajah Kenzo yang tiba-tiba berubah menjadi teduh. Tutur katanya pun melembut, tidak seperti awal pembicaraan yang kasar.
Apa maksud dari ucapannya? Kenapa dia memberiku makan siang secara cuma-cuma? Apa yang direncanakannya? Sederet pertanyaan memenuhi kepalaku.
"Pantas saja kau pendek. Harusnya kau lebih memperhatikan jadwal makanmu" ucap laki-laki maniak bola itu sebelum pergi keluar kelas.
Aku melotot. Aku akui memang tubuhku pendek dan di bawah rata-rata remaja gadis seumuranku. Tapi haruskah dia menyinggungnya?
Dasar laki-laki bermulut tajam.
***
Jozi POV
Aku menarik napas dalam-dalam. Setelah kubuka pintu ini, pasti Daniel akan langsung memakiku. Oh tidak, bisa jadi dia malah akan menamparku seperti kemarin.
Aku terlambat kerja sepuluh menit, itu semua karena bus yang terjebak macet di lampu merah.
Aku mendorong pintu toko dan masuk. Seketika udara dingin AC menghantam tubuhku, membuat rasa cemasku sedikit berkurang. Aku bisa melihat Daniel yang sedang menatapku sinis, dia bangkit dari duduknya begitu aku mendekat.
Aku diam. Bersiap menerima makian hingga tamparan seperti biasanya. Tapi selama lima detik, aku tidak mendengar atau merasakan apa pun. Daniel hanya mendengus kasar dan pergi melewatiku begitu saja.
Aku menautkan kedua alis, merasa bingung. Daniel keluar dari toko dan pergi tanpa sepatah kata pun.
Ini aneh, tapi aku memilih untuk tidak terlalu memikirkannya, justru harusnya aku bersyukur laki-laki sialan itu tidak membuat perkara.
Aku segera fokus ke pekerjaanku sebagai kasir. Adakalanya aku mengatur display produk hingga mengecek tanggal kedaluwarsa makanan.
Pintu terbuka, remaja laki-laki masuk dengan tangan kanan membawa sebuah bola sepak.
Dia lagi dan lagi. Jujur saja, aku merasa aneh melihatnya terus muncul di hadapanku. Rasanya tidak mungkin ini semua hanyalah kebetulan.
"Hm, kulihat kau cukup menikmati pekerjaan ini" ujar Kenzo mendekatiku.
Aku segera kembali ke kasir, tak menghiraukan ucapannya sama sekali.
Kenzo membuka lemari es, mengambil salah satu minuman kaleng yang ada di sana.
Saat aku sedang memproses pembeliannya, Kenzo mendekatkan wajahnya padaku.
"Kumohon jangan ganggu pekerjaanku" ucapku sedatar mungkin.
Kenzo meletakkan bola sepaknya di meja kasir, kemudian kembali menatap wajahku dengan seksama.
"Dih! Dia ini sedang apasih?" teriakku dalam hati.
"Sepertinya wajahmu baik-baik saja. Tidak ada bekas merah" gumam Kenzo datar.
Aku menatapnya heran. Bekas merah? Di wajah? Apa maksudnya? Apa dia berpikir aku sedang mabuk? Dia sudah tidak waraskah?
"Menjauhlah dariku."
Aku mendorong tubuh Kenzo menjauh, kemudian memasang wajah tidak bersahabat. Wajahku ini spesialis jutek, harusnya dia cukup sadar akan itu.
Selepas aku 'mengusirnya', Kenzo keluar dari toko. Laki-laki itu berjalan di trotoar sambil membawa bola kesayangannya.
Aku berdecak. Konyol sekali, apa dia jelmaan Tsubasa Ozora?
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
FROM ME, TO YOU
General Fiction'Masih adakah tempat untukku di sini?' -Jozi Askara Ini adalah kisah yang teramat biasa, tentang seorang gadis berusia 17 tahun dan 'musuh' terbesar dalam hidupnya.