4. Can We Be Friends?

10 0 0
                                    

Jozi POV.

Aku menutup pintu rumah dengan pelan, tanganku meraih saklar lampu. Kupikir semua orang sudah tertidur, ternyata prediksiku salah. Saat lampu menyala dapat kulihat ibuku terduduk lemah di sofa. Tangan kanannya memegang botol beer. Aku tidak mempedulikannya dan menyelonong begitu saja.

"Hei, kau kerja bukan? Kenapa kau tak kunjung kaya?" Rintih ibuku. Sepertinya dia sudah hilang kesadaran.

Aku diam saja, tidak menggubris perkataan ibuku. Secara bersamaan adikku keluar dari kamarnya yang bersebelahan dengan kamarku. Ia menatap tajam, kemudian mendekatiku.

"Kau lama sekali, mana uangnya?" Cih, lagi-lagi bocah ini memalakku.

"Tidak ada, minggir" ucapku malas-malasan.

"KAU INGIN BABAK BELUR!?" Adikku Ivory mulai menaikkan suaranya. Aku membuang napas kasar ke udara, kemudian menutup pintu kamarku rapat-rapat.

Keluargaku hancur seperti ini semenjak ayah mengalami kecelakaan kerja dua tahun yang lalu. Kaki kirinya pincang. Meskipun sekarang ayah sudah mendapatkan pekerjaan baru sebagai sopir, tetap saja segalanya tidak bisa kembali seperti semula. Hidup kami mulai berantakan. Ibu mulai merokok dan mabuk-mabukan, adikku mulai memberontak, terakhir kakak laki-lakiku yang sudah berkeluarga memilih melarikan diri dan tidak mau peduli lagi.

Sedangkan aku? Aku terperangkap. Aku terjebak dalam lingkaran setan ini seorang diri.

*****

Petra POV.

Aku melangkahkan kaki menyusuri koridor, kupandangi setiap sudut dari sekolah ini. Semuanya terasa asing, tapi aku yakin sebentar lagi akan terbiasa.

"Nah, kita sudah sampai di kelas. Bersiaplah, setelah ini kau harus memperkenalkan diri" kata wali kelas baruku, Mr. Bambang. Aku mengangguk mengiyakan.

Kemunculanku membuat heboh seisi kelas XI IPA 3. Ada yang berbisik, ada yang berteriak girang, dan ada pula yang langsung menawarkan diri menjadi teman. Aku tersenyum senang. Mulai detik ini, aku resmi menjadi bagian dari mereka.

Mr. Bambang mengarahkanku untuk duduk di kursi yang kosong. Saat itu cuma ada satu, baris paling belakang. Aku menoleh ke siswi yang duduk di samping kiriku. Dia sibuk menatap keluar jendela. Wajahnya datar. Entah mengapa aku merasa tidak asing dengan wajahnya. Setelah berpikir keras, aku tersadar. Dia gadis yang waktu itu.. Watermelon girl!

Aku memanggilnya pelan, namun ia tak kunjung menoleh. Berhubung Mr.Bambang sudah memulai kelas, aku pun mengurungkan niat. 'Mungkin nanti saja saat istirahat' bisikku dalam hati.

*****

Jozi POV

Seperti biasa, sekumpulan siswa berhamburan keluar kelas ketika jam istirahat. Pelajaran hari ini membosankan sekali, aku jadi mengantuk. Aku menyingkirkan buku-buku dari pandanganku dan memasukkannya ke dalam laci. Setelahnya aku langsung membenamkan kepala di atas meja dengan posisi menghadap jendela. Aku mulai memejamkan mata dan mengabaikan suara di sekelilingku.

Baru juga berapa detik, sudah ada orang yang menggangguku. Entah siapa orang ini, tapi dia membuatku tak nyaman karena terus-terusan menepuk pundakku pelan. Aku memutar kepala menghadapnya. Ah, si anak baru.

"Eh, maaf. Apa benar ini punyamu?" Tangannya menjulurkan gantungan kunci berbentuk watermelon. Itu memang punyaku, kenapa bisa ada padanya?

Aku mengambil gantungan kunci itu dengan kasar. Dia sempat tergeragap melihat sikapku, namun aku tidak peduli. Aku pun melanjutkan kegiatanku yang sempat tertunda.

"Hei, sedang apa kau di situ? Ayo!" Samar-samar aku mendengar seseorang siswa mengajak anak baru itu untuk keluar kelas.

Terserahlah, lagipula itu bukan urusanku.

*****

Petra POV.

Aku diajak berkeliling sekolah oleh Jeffry, teman satu kelasku yang baru. Dia orangnya baik, easy going, dan penjelasannya pun mudah dimengerti. Sepertinya Jeffry sudah terbiasa melakukan hal-hal seperti ini, dia terlihat profesional.

"Hei, kuberi tahu satu hal.." Jeffry mendekatkan bibirnya ke telingaku.

"Usahakan kau tidak mencari gara-gara dengan dia" aku mengikuti arah yang ditunjuk Jeffry. Di sana terdapat sekumpulan anak laki-laki. Salah satu di antaranya tampak sangat 'berbeda'. Auranya kuat sekali.  Bahkan dari jarak sejauh ini aku dapat merasakannya.

Jeffry memberitahuku bahwa orang yang dimaksud itu bernama Kenzo Oktavianto. Dia dicap sebagai bad boy di sekolah. Orangnya keras dan suka membuat onar. Jujur saja aku tidak tertarik dengan hal seperti itu, jadi aku hanya mengganguk-angguk saja.

Aku malah penasaran dengan watermelon girl. Kira-kira dia orang yang seperti apa ya?

"Kalau gadis yang duduk di sebelahku tadi? Kau kenal dia seperti apa?" Tiba-tiba Jeffry menghentikan langkahnya, menatapku heran.

"Maksudmu Jozi? si kacang?" Jeffry malah balik tanya padaku. Tapi bukan itu masalahnya. Aku malah gagal fokus dengan sebutan 'si kacang'.

"Kacang?" Aku mengulangi kata yang diucapkan Jeffry.

"Namanya Jozi. Kuberitahu ya... dia itu sangat pendiam, tidak punya teman, tidak pernah bersosialisasi dengan yang lain. Karena itulah orang-orang mulai menyebutnya kacang" Aku terheran. Masa sih sampai segitunya? Bagaimana bisa?

Setelah dipikir-pikir lagi, mungkin perkataan Jeffry memang benar. Tadi saat di kelas, aku tak melihatnya berbicara dengan orang lain. Bahkan saat istirahat pun dia tak beranjak dari tempatnya.

Sebenarnya ada apa dengannya? Kenapa dia jadi menarik diri seperti itu?

Jujur saja, hatiku sedih mendengarnya..

*****

Jozi POV.

Jam pelajaran telah usai. Aku berjalan seorang diri menjauhi gedung sekolah. Seperti biasa, headset terpasang di kedua telingaku. Diam-diam aku merasakan seseorang seperti sedang membuntutiku. Aku sengaja memperlambat langkahku. Dalam hitungan ketiga aku menoleh ke belakang, sayangnya tak ada siapa pun di sana. Apa aku sedang halu ya?

Kuanjutkan langkahku yang sempat terhenti. Lagi-lagi perasaan itu muncul. Wah kalau ini sudah jelas. Aku yakin seribu persen ada orang yang mengikutiku.

Ide licik terlintas begitu saja di kepalaku. Di persimpangan aku sengaja berbelok, namun dengan cepat segera berbalik. Dugaanku tidak pernah meleset. Kini sang pelaku tergeragap di tempat, tangannya sengaja menutupi wajah.

"Mau apa kau?" Ucapku ketus. Mataku menatapnya tajam, seolah memperingatkannya untuk tak macam-macam.

Pelan-pelan dia menurunkan tangan yang menutupi wajahnya. Aku terkekeh. Rupanya... Si anak baru. Dia ini kenapa sih, menggangguku terus?

"Aku ingin menjadi temanmu" ia menjulurkan tangan padaku layaknya ingin bersalaman. Apa memutar bola mata. Apa katanya? Teman? Apa aku tidak salah dengar? Lucu sekali, tingkahnya seperti anak TK.

Sepertinya otak dia sedikit bermasalah. Kenapa juga dari sekian banyak orang harus aku yang menjadi temannya? Bukankah sikapku ini sudah cukup menjelaskan kalau aku tidak ingin diganggu? apalagi berteman? Hell, big NO!

"Kau sinting ya? Siapa juga yang ingin menjadi temanmu?" Sindirku telak. Lihat itu.. mimik wajahnya langsung berubah, sepertinya dia tidak menyangka akan ditolak dengan cara seperti ini.

Lucu sekali. Kau pikir aku akan peduli? Tentu saja tidak!

Aku membalikkan badan dan meninggalkan dirinya yang masih mematung di tempat. Ah, sepertinya aku harus menambahkan ini.

"Satu lagi. Menjauhlah dariku!"

*****

FROM ME, TO YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang