2. Childhood

12 1 0
                                    

Aku terlahir berbeda dari kedua saudaraku. Aku berkulit sawo matang, berwajah khas timur tengah, tubuhku tergolong pendek, mataku berkantung dan hitam seperti panda, yang terakhir rambutku bergelombang. Sejak aku duduk di bangku sekolah dasar, orang-orang kerap memanggilku' kribo', 'nini' dan masih banyak lagi. Kalau di bilang marah, aku marah. Tapi saking seringnya panggilan itu terdengar di kupingku, aku semakin terbiasa.

Tidak ada yang menarik dari diriku. Aku bukanlah siswa teladan seperti kakak laki-lakiku yang selalu mendapat peringkat pertama di sekolah dan menjadi kebanggaan semua orang. Aku pun bukan siswa yang pandai bergaul layaknya adik perempuanku.

Aku ingat saat masih di sekolah dasar, aku selalu mendapat peringkat dua. Lucunya, hal itu berlangsung dari kelas satu sampai lulus sekolah dasar. Lalu peringkat satunya siapa? Dia adalah gadis manis bernama Dilla. Dari segala aspek dia jauh lebih baik daripada aku. Baik dari segi akademik, personality, hingga circle pertemanan.

Aku teringat ketika salah satu guru mengatakan ini padaku:
"Jozi, kuharap kau mau belajar lebih giat lagi, jadilah seperti kakakmu"

Oh satu lagi, ketika menerima rapor, ibuku selalu bilang:
"Lagi-lagi rangking dua, kapan kau bisa mengalahkan Dilla? Kau memang beda dari kakakmu"

Meskipun aku hanya bocah, tapi aku tahu orang-orang menaruh harapan lebih padaku. Tak jarang mereka menjadikan kakak laki-lakiku Gino atau sang peringkat satu Dilla sebagai tolak ukur. Sebenarnya ada banyak lagi omongan yang intinya sama. Bahkan beberapa di antaranya keluar dari mulut keluargaku sendiri. Lalu apa yang kulakukan?

Tentu saja aku marah, muak, dan kesal.

Tapi aku ini siapa? Aku bisa apa? Saat itu aku hanya lah bocah yang makan saja harus disiapkan, tidur harus dibangunkan, berangkat pun harus diantar. Jadi punya hak apa aku untuk mengutarakan perasaan sejatiku? Aku ini hanya budak kecil yang lemah.

Semuanya kusimpan rapat. Hingga tiba waktunya saat aku sudah tidak bisa menahannya lagi. Kuluapkan segala kebencianku ini dengan mengacaukan semuanya. Aku mulai melawan mereka yang merendahkanku. Semuanya kulawan dengan kekerasan. Sangat miris bukan? Bagaimana bisa seorang anak perempuan menjadi sangat bar-bar? Yah, aku ini berengsek. Aku ini pengecut. Aku ini pecundang yang mencoba melarikan diri dari masalah. Saat itu aku hanyalah bocah tengil yang bertindak seenak jidat tanpa tahu akibatnya. Ya, tentu saja aku dijauhi oleh teman-temanku. Dan sejak saat itu, tidak ada lagi yang berani menggangguku. Mereka menjauhiku, seolah-olah aku adalah monster.

Kupikir ini adalah situasi yang kuinginkan. Akhirnya aku tidak perlu mendengar olokan dari mereka lagi. Tapi kenapa... Kenapa aku merasa ada sesuatu yang salah?

Sebelum aku bisa memperbaiki semuanya, aku sudah benar-benar terasingkan.

Lingkungan membuatku muak. Baik rumah maupun sekolah. Aku mulai benci dengan diriku sendiri. Kenapa juga aku harus terlahir ke dunia penuh orang-orang memuakkan ini?

Semua orang selalu berbicara betapa mengagumkannya kakak laki-lakiku dan betapa menyedihkannya diriku. Aku menaruh rasa kebencian pada kakakku yang sebenarnya tidak salah. Maksudku dia hanya melakukan apa yang seharusnya dia lakukan, dan di sini aku melihat pencapaiannya dengan hati penuh iri dan dengki. Aku tahu ini tidak beralasan, tapi kumohon mengertilah otak kekanakanku saat itu.

Sejujurnya aku ingin berterima kasih pada masa laluku, karena pada akhirnya aku bisa menulis kisah ini. Dan aku juga meminta maaf kepada orang-orang yang pernah menjadi korban kenakalanku. Aku sangat menyesal.

Aku akan mengakhiri kisah masa kecilku di sini, karena terlalu banyak hal yang terjadi, sehingga aku memutuskan untuk menceritakan intinya saja. Tidak disangka aku mulai menginjakkan kaki ke level yang jauh lebih tinggi, yaitu SMA. So here it goes....

FROM ME, TO YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang