Jozi POV.
Aku melangkahkan kaki menyusuri koridor, melewati beberapa siswa yang mengenakan seragam sama sepertiku. Di pagi hari ini, semua orang tampak ceria dan bersemangat. Namun pengecualian untuk aku.
Aku memasukkan kedua tangan ke dalam jaket hitam yang kukenakan. Kedua telingaku tersumpal headset yang saat itu memperdengarkan lagu milik Ruelle yang berjudul Carry You.
Papan nama kelasku mulai terlihat. XI IPA 3. Dengan gontai aku pun memasuki ruang kelas yang sudah cukup ramai. Semuanya sibuk bermain-main atau sekadar ngobrol. Aku? Tentu saja aku tidak peduli.
Aku buru-buru melangkah ke tempat dudukku yang ada di pojok belakang. Hah... Dia lagi. Dia terus saja bertengger di kursiku setiap pagi. Dia yang kumaksud adalah Kenzo. Kenzo Oktavianto. Hobinya cari masalah, pukul-pukulan, dan berlagak sok keren. Bagaimana tidak? Seragam sengaja dikeluarkan, kancing pun tidak dipasang dengan benar, alhasil kaos hitam dibaliknya jadi terekspos. Setu lagi, dia selalu bertingkah layaknya penguasa.
Seperti saat ini, dia berusaha menguasai kursiku.
"Minggir" kataku dengan nada yang dingin.
Kenzo yang saat itu sedang asik berbincang dengan teman satu frekuensinya tidak mengindahkan perkataanku. Aku mulai meninggikan suara "Minggir"
Kenzo yang saat itu membelakangiku menolehkan kepala. Mataku bertemu dengan matanya. Ia menatapku dingin, tentu saja kubalas tatapan itu lebih dingin lagi. Sorry to say. Tapi aku tidak takut sama sekali dengannya.
Kenzo mendesah, kemudian bangkit dari kursiku. Matanya masih menatapku sinis, tapi aku tidak peduli.
Hari itu sama seperti hari-hari biasanya. Aku duduk mendengarkan penjelasan guru sepanjang hari. Ketika jam istirahat tiba, aku hanya termenung selagi menatap keluar jendela yang ada di sampingku. Tidak ada yang namanya bicara atau bermain dengan siswa lain. Bagiku hal itu hanya membuang-buang energi saja. Entahlah... di usiaku yang menginjak tujuh belas tahun ini, aku sudah muak dengan drama pertemanan.
Berhubung kelasku berada di lantai dua, aku bisa melihat pemandangan yang ada di bawah sana dengan bebas. Terdapat sekumpulan anak laki-laki yang sedang bermain bola, menggiringnya kesana kemari untuk kemudian dimasukkan ke dalam gawang. Aku bisa melihat keringat mulai bercucuran di pelipis mereka. Bisa-bisanya mereka punya tenaga sebanyak itu? Aku yang melihatnya saja sudah lelah.
Perhatianku teralihkan kepada sosok yang tiba-tiba muncul di tengah permainan. Lagi-lagi Kenzo. Dia terus-terusan muncul di hadapanku, membuat muak saja. Kuakui dia punya skill bermain bola, tapi sekarang aku tidak mood untuk melihatnya.
Bel berbunyi, menandakan jam pelajaran telah berakhir. Aku mempercepat gerakanku, memasukkan buku-buku pelajaran ke dalam tas dan segera berlalu meninggalkan kelas.
Bus akan lewat sepuluh menit lagi. Aku harus cepat. Aku mengubah langkahku menjadi larian kecil. Waktunya berperang melawan waktu.
******
Petra POV
Aku ingat. Hari itu aku baru saja pindah. Saking senangnya aku berjalan-jalan sebentar. Aku sengaja berkeliling ketika jam sekolah sudah berakhir. Bukan apa-apa, aku hanya tidak ingin menarik perhatian orang-orang sekitar. Takutnya dianggap bolos sekolah, yah meskipun itu tak sepenuhnya salah.
Berkeliling seperti ini penting untuk memudahkanku mengingat jalan dan letak supermarket terdekat. Setelah ini aku berencana melihat gedung sekolahku yang baru. Ah, rasanya tidak sabar sekali bertemu teman-teman baru.
Aku melihat persimpangan kecil di hadapanku, di sana terdapat penunjuk arah yang menegaskan 'SMA Permata Bangsa' belok kiri. Aku menghela napas lega, tinggal sedikit lagi.
Aku melanjutkan langkah kakiku yang sempat terhenti. Sayup-sayup kudengar derap langkah yang semakin mendekat. Dari suaranya bisa ditebak kalau orang itu sedang berlari. Benar saja, dari belokan persimpangan muncul seorang gadis mungil yang tampaknya sedang buru-buru. Ia berlari melewatiku begitu saja. Aku menatapnya heran. Ada gerangan apa sampai harus berlarian seperti itu?
Mataku menangkap gantungan kunci berbentuk buah semangka tergeletak begitu saja di jalanan. Ah, ini pasti milik gadis itu. Baiklah, akan kusimpan baik-baik. Tanpa berpikir panjang, gantungan kunci itu kumasukkan ke dalam saku celana, kemudian berlalu menuju ke tempat tujuanku.
*****
Jozi POV.
Aku mendesah panjang, untung saja tadi aku masih bisa mengejar kedatangan bus. Kalau sampai terlambat aku harus menunggu satu jam lagi untuk bus berikutnya. Shift kerjaku mulai tepat pukul empat sore, usai pulang sekolah. Daniel -orang yang bertukar shift denganku- tidak memaki seperti biasanya, tapi aku dapat melihat dengan jelas wajah juteknya. Terserahlah, lagipula mau dicaci maki seperti apa pun aku sudah tidak peduli.
Aku bekerja sebagai kasir toko, shiftku akan berakhir pukul sembilan malam. Artinya hampir full seharian kehidupanku ada diluar rumah. Tapi aku sama sekali tidak masalah, malahan lebih baik seperti ini.
Aku sudah muak dengan keluargaku. Ayahku biasa pulang kerja tengah malam atau dini hari. Kalian jangan terlalu berharap, ayahku hanyalah seorang sopir. Ayahku tak punya banyak uang.
Lalu ibuku. Ibuku setiap hari hanya sibuk mengurusi puntung rokok dan gelas beernya. Untuk penjelasan tentang ibu, aku akan berhenti di sini saja.
Kakak laki-lakiku Gino sudah berkeluarga. Ia kerja merantau dan membawa istri beserta anaknya yang baru berusia enam bulan. Sepertinya dia juga muak dengan keluarganya sendiri. Makanya ia memilih tinggal berjauhan.
Terakhir adikku Ivory. Ah.... Anak ini benar-benar sangat susah diatur. Hobinya kelayapan tidak jelas, entah apa yang dilakukannya. Aku sudah berulang kali memperingatkannya, tapi perkataanku tidak ada yang benar-benar ia indahkan. Bahkan lusa kemarin aku sempat cekcok besar dengannya, lengan kiriku sampai lebam karena terpentok meja ketika ia mendorongku. Ini sih belum seberapa. Kepalaku pernah bersimbah darah karena dihantam botol kaca. Sampai sini kurasa kalian sudah paham bagaimana bobroknya keluargaku.
Jam menunjukkan pukul delapan malam, aku sudah mengantuk parah. Padahal masih ada satu jam lagi, mau tak mau aku harus menahannya. Seketika lonceng berbunyi, menandakan ada orang masuk. Aku langsung menegakkan posisiku dan membuka mataku lebar-lebar.
Aku mendengus begitu melihat sosok yang ada di hadapanku. Lagi-lagi Kenzo. Ia mengenakan topi hitam dan tubuh nya terbalut jaket Levis. Kenzo sempat terkekeh kecil ketika melihatku. Peduli setan.
Kenzo meletakan barang yang akan dibelinya di meja kasir. Satu botol beer. Aku memutar bola mata, apa dia sedang mengejekku?
"Sepertinya kau belum cukup umur untuk membeli ini" kataku sinis. Kenzo berdecak, kemudian meletakkan kedua tangannya di atas meja kasir.
"Bukankah orang apatis sepertimu tidak berhak bicara begitu?" Balas Kenzo telak.
Benar kan? Dia memang sengaja melakukan ini. Sayangnya kau terlalu meremehkanku pria kecil.
"Aku tidak ingin berdebat denganmu. Lebih baik kau keluar sebelum aku menelpon atasanku" tanganku sudah memegang gagang telepon. Tenang saja, ini cuma gertakan sementara melihat respon dia akan seperti apa.
"Lihatlah, sikapmu itu memang perlu diperbaiki" Kenzo menatapku tajam sebelum akhirnya keluar dari toko.
Dari balik kaca transparan supermarket, aku memperhatikan kepergiannya. 'Kau pikir aku akan terpengaruh? Aku ini sudah sering melihat orang-orang yang bahkan jauh lebih parah darimu. Ini sih bukan apa-apa.' ucapku dalam hati.
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
FROM ME, TO YOU
General Fiction'Masih adakah tempat untukku di sini?' -Jozi Askara Ini adalah kisah yang teramat biasa, tentang seorang gadis berusia 17 tahun dan 'musuh' terbesar dalam hidupnya.