~~~°°°~~~Malam itu, pelayaran menuju Majapahit terasa begitu panjang. Seorang puteri dari kerajaan Galuh merasa aneh dengan iring-iringan yang menemaninya. Seperti ada yang janggal dengan sikap para pengawal dan emban pribadinya.
Sang puteri datang ke Majapahit untuk melaksanakan pernikahan. Hanya pernikahan. Namun, kapal-kapal yang mengikuti kapal rombongan pengantin membawa begitu banyak prajurit. Prajurit segitu banyaknya untuk apa?
Raja Galuh kala itu terlihat sangat was-was. Puterinya yang bernama Pitaloka semakin curiga dengan maksud sang raja turut mengantarkannya ke Majapahit.
Tak mungkin Baginda Raja bersedia turun tangan untuk mengantarkan putrinya ke pelaminan? Seharusnya raja menuntut Hayam Wuruk, calon suaminya, untuk datang menjemput sang puteri. Pitaloka yakin Hayam Wuruk takkan keberatan dengan itu.
Setelah begitu lama Pitaloka mengawasi ayahandanya dari kejauhan, datanglah seorang panglima untuk melapor. Percakapan antara raja dan tangan kanannya itu, membongkar sebuah rahasia besar. Rahasia itu menyangkut hidup dan mati seluruh rombongan yang ada di sana.
Puluhan ribu pasukan yang mengantarkannya ke Majapahit itu bukan sekadar iring-iringan belaka. Mereka adalah prajurit Galuh yang telah dilatih dengan keras selama berbulan-bulan. Keberadaan mereka murni adalah untuk menjatuhkan Hayam Wuruk dan menguasai kerajaan digdaya itu.
Sementara itu, dalam istana Majapahit, sang Raja telah siap dengan pakaian kebesarannya. Kabarnya rombongan Galuh hampir tiba di persinggahan Bubat. Hayam Wuruk, raja muda Majapahit itu, memerintahkan beberapa orang kepercayaannya untuk ikut menyambut calon pengantinnya.
"Selamat atas pernikahannya, Baginda. Setelah ini kita tidak akan khawatir lagi mengenai calon penerus, haha," gurau seorang bangsawan di samping Hayam Wuruk.
Hayam Wuruk hanya tersenyum sambil geleng-geleng kepala. Ia mencoba untuk tetap santai meski hatinya sudah tak sabar melihat sang kekasih. Sudah lama sekali sejak terakhir kali ia bertemu dengan Pitaloka.
Tak lama kemudian, langkah sang raja dihentikan oleh kedatangan seorang lelaki bertubuh kekar. Lelaki itu tampak dingin seperti biasanya. Siapapun tidak akan salah menebak bahwa dialah Patih Mangkubumi Gajah Mada, sang pencetus Sumpah Palapa.
Gajah Mada menghaturkan hormat pada Hayam Wuruk. "Baginda," panggilnya.
Melihat ekspresi Gajah Mada, Hayam Wuruk yakin ada masalah serius yang harus dibicarakan. Ia kemudian mengisyaratkan semua orang untuk keluar dari aula istana. Setelah mereka keluar, Hayam Wuruk mendekati patihnya itu. "Ada apa, paman?" tanya Hayam Wuruk sambil berjalan mendekati Gajah Mada.
"Ada yang janggal dengan rombongan kerajaan Galuh, Baginda. Jumlah mereka mencapai dua kali lipat dari jumlah prajurit istana. Sementara itu, pasukan kita masih terfokus dan tersebar dalam penaklukan wilayah lain. Jika ternyata Galuh ingin menyerang Majapahit di balik acara pernikahan ini, kita akan benar-benar dalam masalah besar."
Seketika saja Hayam Wuruk kehilangan wajah cerahnya, berganti dengan ekspresi dingin dan kaku. "Berapa jumlah mereka?"
"Ada ribuan kapal yang masing-masing mampu memuat sekitar 30 orang. Hamba mengisarkan total mereka bisa mencapai lebih dari 50 ribu orang."
Hayam Wuruk menghela nafas tipis. "Siapkan seluruh prajurit yang ada di istana. Aku sendiri yang akan memimpin."
"Jangan, Baginda!!" Gajah Mada menghadang langkahnya lagi yang hendak pergi keluar. "Jika Baginda yang datang, akan ada rumor mengenai Baginda yang memulai peperangan dengan rombongan Galuh. Posisi anda akan terancam. Izinkan hamba saja yang memimpin pasukan. Setidaknya dengan begitu nama Majapahit bisa terselamatkan."
Hayam Wuruk berpikir sejenak, kemudian ia mengangguk. "Jangan bunuh calon pengantinku. Aku akan menyusul selepas mendengar berita kemenanganmu."
Gajah Mada mengangguk mantap. Baik, Baginda."
Hayam Wuruk menatap Gajah Mada menjauh dan keluar dari aula istana. Ia kemudian termenung. Ia tak bisa lagi berharap tidak akan terjadi apapun. Pengalamannya dalam peperangan begitu membekas dalam dirinya.
Hayam Wuruk menatap singgasana yang tak jauh darinya. Singgasana yang besar itu, kali ini terlihat mengerikan. Siapapun bisa saja datang dan menghabisi nyawanya. Bahkan Pitaloka sekalipun.
Namun kali ini, Hayam Wuruk tidak peduli. Ia hanya menginginkan Pitaloka. Sekalipun harus melewati siksaan yang begitu berat, setidaknya gadis itu ada di sisinya. Karena dengan begitu, Hayam Wuruk tak perlu melepas pakaian suteranya. Ia tak perlu memakai baju zirah di hari pernikahan mereka.
~~~°°°~~~
Majapahit, 1356
(satu tahun yang lalu)Brukk!!
"Ah, maaf! Aku tidak senga-" Kalimat gadis berusia 15 tahun itu terpotong.
Dilihatnya seorang lelaki yang ia tabrak sama sekali tidak bergoyang. Justru lelaki itu dengan sigap mengulurkan tangannya dan membantunya berdiri.
"Tidak apa," ucap lelaki itu dengan penuh wibawa. Siapa lagi kalau bukan Hayam Wuruk, raja yang menyamar menjadi pemuda biasa dengan sebuah caping di kepalanya.
Dan gadis itu, Pitaloka yang kabur dari Sunda karena tidak sengaja membakar kebun apel istana, jantungnya sedang berdebar kencang tidak karuan. Ia ketakutan setengah mati karena tersesat sampai wilayah Majapahit.
"Kau berkeringat," ucap Hayam Wuruk memotong lamunan gadis itu.
"Eh... anu, urang...."
Hayam Wuruk mengenali logat itu . "Apa kau dari Galuh?"
Pitaloka sedikit kaget karena pria di depannya langsung sadar darimana ia berasal. "Ngapunten, tuan," lirih Pitaloka.
Hayam Wuruk tertawa kecil melihat tingkah canggung gadis itu. Lucu saja. "Tidak apa. Apa kau bangsawan di kerajaan Galuh?"
Pitaloka menggeleng cepat. "Bu-bukan, tuan!"
"Oh, lalu kau apa? Dengan kemben mahal dan perhiasan yang kau kenakan, tidak mungkin kau rakyat biasa." Hayam Wuruk melipat kedua tangannya sambil memandang Pitaloka dari atas ke bawah.
"Sa-saya hanya pedagang, tuan. Saya memimpin pengantaran barang ke Majapahit," bohong Pitaloka dengan cemas.
Hayam Wuruk melepas capingnya. "Pedagang, ya?" Lelaki itu jelas tidak percaya. "Kau tersesat di sini?
Pitaloka menggaruk leher. "Begitulah."
"Kebetulan aku juga harus pergi ke pelabuhan." Hayam Wuruk menunjuk jalan menuju pelabuhan. "Lewat sini, tidak jauh. Kau mau berjalan denganku?"
Siang itu, di bawah cahaya matahari yang hangat, Pitaloka benar-benar dibuat tidak bisa menolak ajakan Hayam Wuruk. Senyum cerah dan suara Hayam Wuruk yang dalam seketika memikat hati polos gadis itu.
Sebagai seorang puteri yang menjaga keagunganya, Pitaloka sama sekali belum pernah mengalami hubungan asmara. Begitu juga dengan Hayam Wuruk yang selalu mengutamakan kemakmuran rakyatnya di atas kepentingan apapun.
~~~°°°~~~
KAMU SEDANG MEMBACA
Full Moon (TAMAT)
FantasySedikit berbau sejarah, tapi lebih banyak di masa depannya.