\\\"Apa yang harus dilakukan?"
"Untuk kembali menjadi manusia seutuhnya, orang itu harus mewariskan kekuatan gelapnya pada manusia lain. Sama seperti yang dilakukan siluman gunung saat menyerahkan kekuatan itu padanya."
~~~°°°~~~
Hari bersinar cerah di atas kepala bertudung tertutup itu. Wanita muda berjubah hitam itu, menyelinap menghindari cahaya matahari yang mengikutinya. Langkahnya tergesa-gesa memasuki dua daun pintu yang lupa dikunci.
"Kemarin raja catur jadi yang paling lemah, sekarang kartu habis malah jadi pemenang. Siapa yang menciptakan permainan seperti ini, hah?!"
"Mada," panggil wanita asing itu di ambang pintu yang menutup.
Mada menoleh di tengah perdebatannya dengan Dika. Mengenali wajah wanita itu membuat kartu-kartu remi jatuh dari pegangannya yang melemas. Mada berdiri dengan wajah tertegun.
Dika ikut menengok. "Siapa dia?"
"Hantuen urban!" ucap Mada seketika berdiri dengan api hitam menyelimuti tubuhnya. "Bagaimana caramu keluar dari kurungan?" tanyanya tegas dengan sorot mata yang tajam.
"He-hei! Dengarkan aku dulu!" ucap wanita itu seraya membuka tudung jubahnya dan angkat tangan. "Aku juga tidak mau keluar dari gua begini, tapi perempuan gila itu tiba-tiba datang dan membobol penjara. Aku berhasil mengamankan beberapa siluman, tapi tiga diantaranya berhasil kabur!!" lapornya panik.
Mada mendekat pada wanita itu. "Siapa perempuan yang melakukannya?"
"Armita. Siluman ular yang sering kau ceritakan setiap kali berkunjung ke kurungan kami."
Dika berdiri mendekati Mada yang tiba-tiba diam secara misterius. "Apa yang terjadi?"
"Aku menemui wanita itu kemarin lusa, hari ini dia berhasil keluar dari kastil itu," Mada menatap wajah bingung Dika, "Tapi dia tidak penting sekarang. Tiga siluman liar yang berkeliaran, itu yang genting!"
Mada bergegas meraih mantel kulitnya, kemudian keluar melewati pintu rumah yang terbuka-tutup dengan sendirinya. Dika yang dibuat penasaran dengan sikap Mada barusan langsung mengikuti jejaknya.
"Jadi selama ini kau mengurung siluman lain dengan kekuatanmu?" Dika bertanya selama kakinya menyamai langkah Mada.
"Ya. Aku harus mencegah siluman liar berkeliaran. Mereka berbahaya."
"Kemana kita akan mencari mereka?"
"Teleportasi siluman hanya terhubung pada portal tertentu, atau tanpa portal dengan batas jarak tertentu. Jika menggunakan portal, maka kita akan menemukannya di area ini."
Mada melangkahkan kaki kirinya melewati suatu batas yang membuatnya mendarat di sebuah desa terpencil. Desa dengan aura mistis dan kepercayaan lama yang masih melekat begitu erat.
Dika yang baru datang ke tempat itu, merasakan suhu dingin yang amat mencekat di sekitarnya. Di depannya, tampak tiga punggung manusia tengah menyajikan sesajen di pinggir jalan.
"Jangan dekati mereka! Kita hanya numpang lewat. Bukan kita yang benar-benar mereka panggil dengan sesajen itu," ujar Mada dari belakang.
Dika mundur. Mereka melanjutkan pencarian. Berpisah, berlarian mengecek pada setiap sudut di desa. Beberapa kali mereka berpapasan, keduanya geleng-geleng kepala, kemudian berpisah lagi untuk menelusuri ke tempat lain.
Hingga di sebuah pertigaan jalan, langkah Dika terhenti di bawah pohon beringin yang besar. Aroma aneh mendarat di penciumannya yang tajam. Ia melangkah pelan-pelan. Satu langkah, dua langkah, tiga langkah, hingga memutari beringin itu.
Tidak ada apapun. Dika mendongak. Tubuh besar bermata merah menyeringai menunjukkan taring tepat di atas wajahnya. Dengus nafas monster yang bau itu, spontan membuat Dika menutup indera penciumannya yang tajam.
GHROOAAA!!!
Erangan makhluk itu sampai menggema. Menggelora hingga ke telinga Mada yang tak jauh dari tempat itu.
Gendheruwo itu menjatuhkan dirinya dari atas beringin. Berniat menimpa Dika, namun Dika berhasil melesat mundur lebih cepat. Makhluk raksasa itu membangunkan badannya dari tanah.
Dika berhadapan langsung dengan makhluk sebesar beruang itu. Makhluk itu terus mendengus. Dari kuda-kuda berdirinya yang gagah, monster itu terlihat siap seolah ingin bertarung.
"Sial, aku bahkan tak tahu bagaimana cara menangkap siluman sebesar ini," gumam Dika seraya mengusap keringatnya yang bercucuran. Ia mendongakkan kepalanya. "Permisi, pak. Tahu jalan ke taman makam pahlawan tidak, ya?"
Gendheruwo itu berhenti mendengus. Kepalanya meneleng kearah jalan menuju taman makam. Dika terkejut. Dika tahu jalan yang ditunjukkannya benar.
"Kau paham apa kataku?" tanya Dika diangguki makhluk itu. Dika tersenyum senang. "Wah, kukira kau monster liar. Begini, aku tidak berniat mengganggu kegiatanmu sama sekali."
Gendheruwo itu mengangguk-angguk lagi.
"Tapi berhubung kau paham maksudku, bagaimana kalau kita berteman? Namaku Mahardika," Dika mengangkat telapak tangannya, mengulurkan jabat tangan.
Gendheruwo itu melemaskan tegangan ototnya. Menurunkan kepalanya yang terlalu tegap. Telapak tangannya perlahan mendekati uluran tangan Dika. Namun tiba-tiba, Mada muncul dan menendang punggung makhluk itu dari belakang.
BUGHH!! GUBRAKK!! Gendheruwo itu terlempar hampir menimpa Dika, namun Dika berhasil menghindar lagi.
Mada mendarat dengan satu lutut.
Gendheruwo itu bangkit dan berbalik kearah Mada. GHRRROOOOAAAA!!! Auman makhluk itu membuat nafas baunya hampir menerbangkan Mada dari tanah.
Mada berdiri usai bertahan dari suara angin topan itu. Mengusap liur Gendheruwo yang baru terciprat di wajahnya. Menjijikkan, batinnya.
"Dasar siluman nakal! Kau harusnya tahu, aku sudah bermurah hati selama ini," gertak Mada di balik kobaran bayangan hitam yang telah menyelimuti seluruh tubuhnya.
~~~°°°~~~
KAMU SEDANG MEMBACA
Full Moon (TAMAT)
FantasiaSedikit berbau sejarah, tapi lebih banyak di masa depannya.