32. Rencana Bulan Purnama

80 11 0
                                    


~~~°°°~~~

Suara motor yang bising seketika lenyap di depan rumah putih di perumahan. Pitaloka melepas helm dan mengembalikannya pada Dika. Ia merasa sedikit aneh, karena ini kali pertama Dika tak mengajaknya berbicara di sepanjang perjalanan. Biasanya Dika banyak bicara setiap kali mengantarnya pulang bekerja.

"Makasih, Dika," ucap Pitaloka.

Dika mengangguk-angguk. Wajahnya murung dan banyak pikiran. Ia sudah akan menjalankan motornya, namun Pitaloka memegang tangannya dan membuat Dika mematikan mesin motornya lagi.

"Mau mampir dulu?" tawar Pitaloka.

"Sudah malam. Tidak baik berada di rumah berduaan," ucap Dika. Dari penciumannya, ia memang sudah hafal kalau tidak pernah ada orang lain di rumah Pitaloka.

"Sebentar saja. Aku mau bicara," ucap Pitaloka meyakinkan.

Dika berpikir sejenak. Ia rasa ini akan menjadi pembicaraan penting, apalagi ia juga mau mengatakan sesuatu. Dika Akhirnya memutuskan untuk setuju. Motornya ditinggalkan terparkir di pinggir jalan sementara ia memasuki gerbang mengikuti Pitaloka.

Rumah yang sederhana. Tidak sebesar milik Dika, bahkan lebih kecil dari halaman belakang rumah Mada. Ruang tamu berbatasan dengan sebuah kamar seluas 5×6 meter-an. Terasa lebih sempit karena dipenuhi meja dan kursi sofa.

Dika menunggu di sofa. Pitaloka duduk di depannya setelah membawakan secangkir teh hangat.

"Mau bicara apa?" tanya Dika bahkan tidak mempedulikan tehnya.

"Kamu udah jujur soal rahasiamu ke aku. Aku juga mau jujur sekarang," ujar Pitaloka.

Dika memerhatikan. Ia tidak pernah terpikirkan bahwa Pitaloka merahasiakan sesuatu darinya.

"Aku bisa mendengar suara hati orang lain," ucap Pitaloka membuat mata Dika melebar.

Dika sempat dibuat ketakutan setengah mati. Tentu karena ia telah membicarakan banyak rahasia dalam batinnya sendiri.

"Kecuali suara kamu sama pak bos," ucap Pitaloka membuat Dika sedikit lebih tenang. "Kecuali Bu Armita dan Putra juga."

"Oh...," lirih Dika. Ia baru sadar bahwa ia tidak termasuk golongan orang, melainkan siluman.

"Itu alasan kenapa aku belum bisa terima kamu sampai sekarang." Pitaloka menoleh pada vas bunga di meja, bunga pemberian Dika kala itu. "Karena aku belum mengenal kamu sepenuhnya."

"Gak papa, kok," sahut Dika. "Aku juga mau berhenti."

"Kenapa?" sahut Pitaloka. Ia tampak tidak menginginkan hal itu terjadi. Memang tidak menginginkannya.

Karena hubungan ini hanya akan menghambat segalanya, batin Dika memandang Pitaloka. "Kita temenan saja, ya!"

Pitaloka menunduk. Padahal ia ingin meminta Dika mendekatinya lagi, kemudian mengajaknya pacaran lagi, baru kemudian ia mungkin bisa menerimanya. Tapi jika itu pilihan Dika, Pitaloka tidak mau memaksa.

"Oke," lirih Pitaloka. "Sebenernya aku sudah suka sama kamu, Dika. Asal kamu tahu saja."

Dika tersenyum samar. Dia tahu. Dia tahu itu sejak pertama kali Pitaloka mengenalnya dengan nama Aswin.

~~~°°°~~~

Suara motor kembali melesat. Dika pulang. Ia memarkirkan motor itu di bagasi. Sementara ia dalam perjalanan masuk, Dika sudah mencium aroma khas dari dalam rumahnya.

Pintu berdecit kala Dika membukanya. Di ruang depan, seorang wanita telah menunggunya di keheningan. Armita. Wanita itu sepertinya telah menentukan pilihan.

"Kupikir Mada memang tak perlu mengetahui siapa kau yang sebenarnya."

Dika menutup pintu. Melangkah mendekat.

"Aku tidak ingin dia kecewa karena harus bertemu dengan anak yang pernah mengkhianatinya," ucap Armita dingin.

"Kurasa juga begitu."

"Untungnya kau sadar diri," pungkas Armita seraya berdiri. Wanita itu mendekat tepat di hadapan Dika. "Kau ingin mengakhiri semuanya, kan?"

Dika diam. Menjawab iya dengan tatapannya yang begitu serius.

"Kalau begitu lakukan saja," sambung Armita. "Rencana yang sudah kau buat untuk mengembalikan segalanya. Aku akan membantumu demi Mada."

"Bagaimana denganmu?" tanya Dika. "Kukira kau tak akan setuju karena kau sendiri tidak dapat kembali menjadi manusia biasa."

Armita melipat kedua tangannya. "Toh, aku menjadi siluman seperti ini bukan salahmu. Salahku sendiri telah menggunakan sihir agar Mada menyukaiku. Dan lagipula, aku masih butuh kekuatan siluman untuk menghapus ingatan Mada tentang kita setelah dia kembali menjadi manusia."

Dika mengangguk. "Baiklah. Selain itu, aku butuh bantuanmu sekali lagi."

"Soal?"

"Kurungan siluman yang Mada ciptakan. Jika aku mati setelah mewarisi kekuatan Mada, energi untuk menjaga kurungan itu juga akan menghilang. Akan terjadi masalah besar jika siluman-siluman liar itu bebas."

"Kau ingin aku memegang kendali kurungan itu?" tanya Armita.

Dika mengangguk. "Kau mungkin tidak sekuat Mada, dan kekuatanmu tidak berkembang seperti kekuatan Mada—"

"Aku bisa," sahut Armita menyela. Ia melangkah mendekat seraya berbisik. "Aku tidak lemah. Itulah alasan kenapa Mada memisahkanku di kastil, bukan di kurungan tempat siluman biasa ditahan."

Armita melanjutkan langkah kakinya menuju pintu keluar. Dika berbalik. "Terima—," ia terdiam melihat wanita itu sudah menghilang entah kemana, "... kasih."

~~~°°°~~~

Full Moon (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang