29. Pernah Menjadi Hayam Wuruk

92 14 0
                                    


~~~°°°~~~

Ding dong!

Secangkir teh kosong. Remahan biskuit di lantai. Tata letak toples makanan yang berserakan di meja. Dan..., vas bunga yang entah bagaimana caranya bisa berpindah dari meja ke depan pintu.

Pitaloka menghela nafas penat. Diraihnya vas bunga yang menghalangi jalannya itu, kemudian mendatangi Dika yang terlihat santai membaca buku di ruang depan.

"Kirain kamu lagi ada masalah sampai gak masuk sekolah tadi. Sia-sia aku khawatir," ketus Pitaloka seraya meletakkan vas itu ke meja.

Dika bergidik. Di belakang sofanya, hantuen dan Putra masih berdiri memandang situasi. Untungnya Pitaloka tak dapat melihat wujud ghoib mereka.

"Pak bos kemana?" tanya Pitaloka.

"Ke pasar," bohong Dika diangguki gadis itu.

"Ashh! Sebal aku!!" Pitaloka menubrukkan diri ke sofa. "Kamu tau nggak? Masa' tadi di kantin, ada kakel ngeselin banget!"

"Kakel?" Dika melebarkan buku bacaan untuk menutupi wajahnya yang berkali-kali menoleh ke dua siluman di belakangnya.

Dika melirik kearah hantuen yang berbisik komat-kamit. Hantuen mengatakan kalau Mada biasanya tak perlu waktu lama untuk menangkap dua siluman saja. Tapi kali ini, anehnya Mada masih belum kembali dari misi mengejar dua siluman yang kabur.

"Iya! Dia main serobot antrian gitu! Pas diomelin malah balik marah!" ketus Pitaloka mengerutkan keningnya. "Terus tadi juga, bisa-bisanya tu orang-" ucapnya terpotong melihat Dika tiba-tiba berdiri sambil memakai jaket. "Mau kemana?"

"Mau nyusulin bos kamu?" ujar Dika kedip-kedip.

"Katanya dia pergi ke pasar," heran Pitaloka.

"Yaa, emang. Mau nyusulin kesana. Udah, ya! Pergi dulu!" Dika melambaikan tangan sambil buru-buru keluar rumah.

Pitaloka berdecak sebal. Sekarang tak ada orang yang bisa mendengarkan keluh kesahnya.

Sementara itu, Dika bersama motornya telah kembali ke pohon beringin tempat ia meninggalkan Mada sebelumnya. Ia sudah tidak merasakan aroma Mada di sekitar tempat itu. Dika segera mengelilingi setiap gang di pedesaan, tapi Mada masih belum ketemu juga.

Hingga di pencarian yang dilakukan Dika secara acak, ia akhirnya berpapasan dengan wanita berselendang hitam yang berdiri di tengah-tengah jalan menuju kota. Di depan wanita itu, Mada duduk bergenang darah di bawah pohon palem. Orang-orang berjalan seolah tersihir tidak dapat melihat apa yang tengah terjadi.

Dika cepat-cepat turun dari motornya, menghampiri Mada yang tergeletak tidak jauh. Ia mengangkat tubuh Mada seraya membantunya berdiri.

"Apa yang terjadi?" tanya Dika.

Mada mengisyaratkan padanya agar membiarkannya berdiri sendiri. Dengan tubuh tak tegak dan jalan tertatih, Mada mendekati wanita itu.

"Armita, kau hanya akan menyakiti dirimu sendiri dengan melakukan hal itu," ucap Mada sambil mengusap darah di mulutnya. "Aku tidak akan memaksamu mengeluarkan bisa ini lagi, jadi kembalilah ke kastil!"

Wanita itu meremas pakaiannya. Ia dengan dengusan lirihnya, kemudian menghilang seolah tak pernah ada di tempat itu.

Dika cepat-cepat menyangga tubuh Mada yang oleng. Ia memerhatikan keadaannya. Satu luka gigitan ular tertancap di leher Mada. "Kenapa belum regenerasi?"

"Wanita itu ular sepertiku, bodoh. Luka darinya tidak dapat sembuh sendiri," desah Mada kelelahan. "Cepat bawa aku pulang!"

"Ada Pitaloka di rumah, aku hanya bisa teleportasi sampai ruang depan."

"Sial." Mada menghempas pegangan Dika, berjalan maju sendiri dan pada langkah keduanya, ia menghilang berteleportasi.

Dika menghela nafas. Ia segera menghampiri motornya dan melesat pergi menyusul siluman itu dengan segala kekhawatirannya.

~~~°°°~~~

Brughh

Tubuh Mada roboh di atas kasurnya. Kamar begitu sunyi. Untung Pitaloka tak akan memasuki kamarnya—menurut aturan kerja yang melarang Pitaloka memasuki ruangan pribadinya.

Mada telentang di atas ranjang. Ia menyentuh luka di lehernya, dilihatnya masih berdarah. Ia menghela nafas.

Sejurus kemudian, Dika tiba-tiba datang mendobrak pintu. Brakk!! Lelaki itu cepat-cepat membawa masuk kecemasannya.

"Dimana si pekerja paruh waktu?" Mada susah payah bangkit dari tidurnya.

"Di dapur," jawab Dika duduk di samping ranjang. "Apa yang terjadi? Perempuan tadi istrimu, kan?"

"Selir," pungkas Mada membenarkan. "Dia mungkin sudah kembali lagi ke kastil."

"Kenapa dia menyerangmu?" tanya Dika lagi.

"Berbagi-" Mada menelan darah di mulutnya yang membuat suaranya serak. "Malam ini bulan purnama. Aku mungkin harus berusaha lebih keras supaya kekuatanku tak menguasai tubuhku. Kau tahu kan, semakin lama aku hidup maka semakin kuat roh gelap di dalam sini?"

Dika mengangguk-angguk.

"Armita tidak sedang menyerangku. Dia memasukkan bisanya dalam tubuhku agar kami tetap terhubung saat bulan purnama. Ini bisa disebut sebagai berbagi kehancuran."

"Dia benar-benar mencintaimu."

Ucapan Dika barusan hampir membuat Mada menyemburkan tawanya. Ia seperti mendengar pujangga cinta yang mengeluhkan takdir menyedihkan. "Kenapa kau terlihat sangat emosional?" tanya Mada.

Dika mengerutkan keningnya. "Aku?"

"Benar," Mada mengusap darah di wajah dan lehernya dengan lengan baju. "Kau pasti terlalu cemas melihatku seperti ini."

Dika meringis miring. "Kenapa juga aku cemas? Aku hanya memikirkan nasib pekerjaan Pitaloka kalau kau mati tiba-tiba. Dia belum digaji bulan ini."

Seketika Mada memegang dagu. "Benar juga. Haruskah kugaji tiap hari saja? Kasihan sekali dia gak jajan," gumamnya menimbang-nimbang.

"Kenapa tak sekalian kau angkat jadi anakmu saja?"

"Mana berani aku begitu!" sahut Mada merengut. "Aku berhutang padanya karena masa lalu, bukan berarti aku masih berhubungan dengan reinkarnasinya. Bisa-bisa dia tahu rahasiaku."

"Hapus saja ingatannya."

"Itu tindakan melanggar privasi," sambung Mada seolah ia adalah orang yang selalu menjaga kesopanannya. "Kau tahu tidak? Soal titah raja yang kuceritakan padamu di hutan waktu kemah."

Dika mengangguk-angguk.

"Raja menyuruhku menaklukkan rombongan Galuh tanpa membunuh Puteri Galuh, tapi salah satu anak buahku justru membunuh raja mereka. Putri Galuh melakukan belapati, dan dia akhirnya terlahir kembali dengan wajah dan nama yang sama. Dia Pitaloka."

Dika hanya diam mendengarkan dan memahami. Sebenarnya dia sudah tahu. Dia bahkan merasa jadi yang paling tahu.

"Tapi kau tahu tidak?"

Dika dibuat menoleh oleh pertanyaan Mada.

"Meski aku harus pergi berkelana dan melakukan banyak tugas ke berbagai daerah, aku selalu mengawasi anak yang akan duduk di atas tahta itu. Kebetulan dia belum mengenali wajahku sewaktu aku masih semuda ini. Kami baru dekat setelah dia remaja dan aku menjadi lelaki tua yang mendampinginya." Mada menghela nafas. "Aku semakin tua dan bodoh, mungkin karena itu aku tidak bisa melindungi kerajaanku lagi."

Dika menunduk. "Raja itulah yang bodoh."

Raja itulah yang bodoh, bentuk makian Dika pada dirinya yang pernah menjadi seorang Hayam Wuruk. Bahkan sampai saat ini, ia masih ingin memaki dirinya sendiri.

~~~°°°~~~

Full Moon (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang