~~~°°°~~~"Sekian pengumuman dari kami, apabila ada hal yang kurang jelas, kalian bisa tanyakan lewat dewan Bantara di kelas kalian. Atas perhatiannya, kami ucapkan terimakasih."
Kedua perwakilan dewan ambalan yang diutus pembina pramuka untuk mengumumkan kegiatan perkemahan bulan depan, mengundurkan diri dari kelas 11 MIPA 4.
Dika menoleh pada Pitaloka di sebelahnya. "Pita, kamu ikut kemah, nggak? Sama sangganya siapa?"
Pitaloka mengangguk. "Ikut. Aku kan gabung sangga Perintis, sama Tsania."
"Tsania yang mana?" tanya Dika melayangkan pandangan ke sekeliling. Ia belum mengenal semua anak di kelasnya.
"Itu, yang rambut pendek paling depan. Tsania itu ketuanya. Aku sih, cuman ikut gabung doang."
Dika meng-oh panjang.
"Btw, kamu udah punya sangga, kan?" tanya Pitaloka.
"Udah, dong! Pertama kali masuk sekolah, aku langsung hubungin ketua sangganya satu-satu, terus masuk ke salah satunya, deh. Udah sering gak kebagian kelompok soalnya, jadi kali ini aku udah siapin semua kebutuhan di sekolah. Termasuk orang-orang yang akan aku ajak barengan kalau-kalau ada tugas kelompok," jelas Dika panjang lebar.
"Ohho! Udah biasa jadi murid SMA nih, kayaknya," seru Pitaloka menyikut perut Dika.
"Tapi kamu harus izin sama Silum-eh maksudku sama om Kenzie buat nggak masuk kerja, kan?" tanya Dika diangguki Pitaloka.
"Nanti berangkat kerja sekalian bilang."
"Aku ikut!"
"Apaan?! Gak!" tepis Pitaloka langsung merengut. "Semenjak pertama kali kamu ke sana, kamu jadi keterusan, deh! Tiap hari gak pernah absen!"
"Ya gak papa, dong! Apa salahnya silaturahmi?"
"Udah, ah! Kalo nggak, ya enggak," ketus Pitaloka sambil membuang muka. Ia segera menggendong tasnya dan pergi.
Dika menghela nafas. Dilihatnya punggung gadis itu perlahan menjauh dan ditelan cahaya pintu keluar.
Akan tetapi, apalah yang bisa manusia katakan untuk melarang makhluk itu membuntutinya.
~~~°°°~~~
Ding dong!
Mada yang tengah asik menikmati secangkir teh dalam ketenangan, tiba-tiba saja wajahnya mendatar. Ia menyadari kedatangan seorang pengganggu.
"Tidak usah dibukakan, biarkan saja dia menunggu di luar," ujar Mada menghentikan Pitaloka yang hendak membukakan pintu.
Pitaloka mengangguk. Ia belum tahu siapa yang sedang menunggu di balik pintu, tapi sudahlah. Ia kembali pada pekerjaannya di dapur.
Ding dong!
Mada masih menyeruput tehnya.
Ding dong!
Ding dong!
Ding dong!
Setelah sekian bel berbunyi, saat ini decitan lantai di bawah pintu terdengar. Pintu terbuka perlahan. Siluet hitam seseorang muncul dan perlahan tampak semakin jelas.
Mada berdiri dan mengacungkan telunjuk kearah orang itu. "Curang! Kau gunakan kekuatanmu untuk membuka pintu, kan?"
"Gak dikunci."
Mada mengatupkan bibir. "Oh," ucapnya sambil kembali duduk dan meraih cangkir teh lagi. "Sudah dua minggu kau rutin datang kemari. Masih belum percaya kalau aku tidak akan macam-macam pada gadis itu?"
"Tidak juga," jawab Dika sembari melemaskan tubuhnya di sofa seberang meja. "Aku hanya ingin menghabiskan camilan di rumah ini," sambungnya seraya melempar kacang almond ke udara dan menangkapnya dengan mulut. Mengunyah dengan santai.
Mada menghela nafas sambil geleng-geleng kepala. Ia menyeruput tehnya lagi. "Dasar miskin."
"Semiskin apapun diriku, aku masih penasaran dengan wujud aslimu," pungkas Dika. "Kau itu siluman ular atau serigala?"
Tiba-tiba saja, terpercik bayangan hitam di setiap sisi tubuh Mada. Dan di belakangnya, ular sebesar tubuh manusia mendesis seram.
Dika melongo. "Ah..., ular ternyata."
Mada kembali pada wujud manusianya. Merapikan kaos oblongnya seraya tersenyum bangga. Ini adalah kali pertama setelah sekian abad Mada tidak menunjukkan sosok yang tadi.
"Pantas saja licik."
Seketika kebanggaan dirinya lenyap. Mada menggertak, "Kau harus tahu, tidak semua ular begitu. Justru serigala-lah yang lebih licik."
Dika melempar kacang almond lagi ke udara, namun ketika mulutnya sudah ternganga ke atas, kacang itu tidak jatuh dan masih melayang di atas kepalanya.
Mada menyeringai. "Tapi aku juga penasaran akan sesuatu."
Dika menoleh. "Soal?"
"Bagaimana dengan wujudmu? Selama ada di sini, selalu aku yang melakukan atraksi." Mada mendekatkan ekspresi curiga itu. Menatap lebih dekat. Begitu dekat hingga Dika harus menjauhkan wajahnya. Kemudian berbisik, "Kau tak punya kekuatan, kan?"
Kacang almond pun jatuh dari udara. Menimpa kepala Mada yang kebetulan ada di bawahnya. Mada segera menjauhkan wajahnya dari Dika. Menegakkan punggungnya.
"Ternyata bisa," gumam Mada sadar diri setelah bersikap sok tahu.
"Menjatuhkan kacang yang kau terbangkan, itu hanya setengah persen dari kekuatanku," ucap Dika melipat tangan.
"Cih, menerbangkan kacang hanya membutuhkan seperempat persen dari kekuatanku," balas Mada dengan wajah yang lebih sombong.
Dika melirik sinis. "Oh, aku salah. Bukan nol koma lima, tapi nol koma nol nol lima."
"Seperempat yang kumaksud juga berbeda dengan matematika manusia, ya. Seperempat bagiku adalah nol koma nol empat di perhitungan manusia."
Dika menerawang dalam pikiran otaknya yang mulai mengalir. "Bukankah 0,005 tetap lebih kecil dari 0,04?"
"Dasar bodoh!" celetuk Mada dengan wajah sok tahu itu.
~~~°°°~~~
KAMU SEDANG MEMBACA
Full Moon (TAMAT)
FantasySedikit berbau sejarah, tapi lebih banyak di masa depannya.