37.) Alasan

85 12 0
                                    

~~~°°°~~~

Dering telepon menghentikan motor yang Rifan kendarai. Di tepi jalan yang cukup sunyi, ia mengangkat ponselnya ke telinga. Suara angin malam digantikan dengan kalimat seseorang yang mengatakan sesuatu padanya.

"Aku di belakangmu."

Rifan langsung menoleh ke belakang. Di tengah jalan yang entah mengapa tak ada satupun orang yang melintas, Dika memandangnya dari jauh.

Rifan menurunkan ponselnya. Ia turun dari motor. Berjalan menghampiri Dika yang masih menatapnya dari jauh.

"Dika, kenapa lo di sini? Jangan di tengah jalan! Nanti kalau ada mobil gima-"

"Fan," panggil Dika membuat Rifan terdiam, "lo ada di dunia yang gua buat. Sekarang lo ngerti, kan?"

Rifan berhenti melangkah. "Dik, gua..."

"Lo udah tau gua ini apa, kan?" tanya Dika. "Tapi, lo belum tau gua siapa."

Rifan mulai melanjutkan jalannya. Mendekat hingga akhirnya mereka bisa berhadapan secara langsung. "Emang gua peduli?"

Dika menunduk. "Bagaimanapun juga... yang Mada alami adalah hasil dari perbuatan gua."

Rifan mengernyit. "Maksud Lo?"

"Cerita turun temurun di keluarga lo soal Mada, gua Hayam Wuruk-nya, Fan. Orang yang memulai semua ini... itu gue."

Rifan menelan ludah. Langkahnya perlahan mundur meski Rifan berusaha untuk tetap menerimanya. Pertemanan yang selalu ingin ia pertahankan, pada akhirnya tidak bisa menjadi pembenaran atas fakta itu.

TIIIIIIIINNNNN!!!!

Truk yang melaju dengan kecepatan di atas rata-rata itu, berhenti setelah berhasil menerjang tubuh Dika di tengah jalan.

GUBRAKK!!! Dika seketika terjatuh setelah ia terhempas cukup jauh.

Mada turun dari kursi pengemudi. Tak banyak kata, ia menghampiri Rifan yang tersungkur di aspal karena terkejut. "Tatap mata om! Lupakan semua ingatanmu soal Dika, dari awal sampai akhir. Pulanglah ke rumah!"

Rifan mengangguk dan mengikuti perintah Mada. Meski ada Dika yang tergeletak berlumuran darah di sebelah motornya, tatapan matanya kosong karena tersihir. Rifan tetap menaiki motor itu dan melaju melewatinya.

Mada menghampiri Dika yang perlahan bangkit dari aspal. Dika berdiri tak seimbang. Meski lemas, kakinya masih kuat untuk menopang tubuh.

"Kau... ternyata memang Hayam Wuruk."

Dika mengusap darah yang membasahi wajahnya. "Sial, aku hampir berhasil menyandera Rifan."

"Kau pikir aku bodoh?" Mada mencekal tengkuk leher Dika dengan kedua tangannya. Nafasnya mendengus panas tak beraturan. "Kau pasti menganggapku bodoh selama ini!!"

"Benar," Dika mendongak dengan seringainya, "bukankah kau memang bodoh?" Ia mencengkeram tangan Mada, kuku-kukunya yang tajam itu menembus kulit lengan Mada. "Kau bahkan tak serius mencekik leherku."

GUBRAKK!!! Dika melempar tubuh Mada hingga menabrak tumpukan tempat sampah di tepi jalan.

Belum sempat Mada berdiri, Dika sudah mendatangi dan menarik kerah jasnya. "Kenapa kau pakai kemeja hitam? Apa kau bahkan datang ke pemakaman ayahku karena kasihan?"

Full Moon (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang