~~~°°°~~~Yogyakarta, 17 Juni 2020
Semilir tengah malam menggoyangkan pepohonan bambu. Hembusan angin bersiul. Dedaunan bergemerisik menjadi alunan yang melengkapi nyanyian burung.
Ranting dan daun kering patah terinjak oleh kakinya yang berhenti melangkah. Dedaunan masih berguguran. Ia menatap langit diantara batang-batang bambu yang menjulang tinggi.
"Udara akan semakin dingin setelah pukul 2 pagi, tuan. Saya membawakan mantel anda," ucap seorang pria dari belakang.
Mada menerima mantel abu-abu itu. Dikenakan olehnya. "Terimakasih, Arga," ucap Mada lirih.
"Kalau boleh tahu, apa yang membuat tuan tiba-tiba datang kemari?" tanya pria berusia 30 tahunan itu.
"Entahlah. Aku hanya ingin menikmati pemandangan alam untuk sejenak saja, sekaligus mengunjungimu. Kudengar kau akan membangun tempat wisata di area ini."
"Benar, tuan. Saya ingin membuat tempat ini tetap alami di tangan saya. Area lain hampir telah dibangun menjadi pemukiman penduduk."
Mada tersenyum. "Aku akan sering-sering datang kemari."
"Terima kasih, tuan. Saya akan menyambut setiap kedatangan anda," jawab Arga. "Kalau begitu, saya hendak kembali ke desa."
Mada mengangguk.
Lelaki itu berbalik dengan penerangan lilin lampion yang ia bawa. Langkah membawanya pergi lebih jauh dan menghilang di balik tetumbuhan. Hutan kembali sunyi.
Mada terlelap akan masa lalu....
Tahun 1364
Hari itu, hari dimana ia melarikan diri setelah kediamannya diserbu oleh tentara Majapahit. Mada tersesat di hutan ini. Gelap dan belum ada seorangpun yang mengejarnya sampai kemari. Mada pikir mereka akan segera datang.
Kedua kakinya sudah berada di tepi jurang. Mana mungkin ia sanggup mencari jalan lain ketika tubuhnya semakin lemas akibat bisa ular yang sempat menggigit kakinya.
Mada berpikir betapa bodohnya dia yang masih mengharapkan suatu keajaiban. Setelah sekian keputusasaan yang diteriakkannya di hutan ini, ia berharap masih ada yang mendengar permohonan itu.
Bulan purnama kian naik. Kabut tebal menyelimuti udara. Tiba-tiba saja hembusan nafas mengelus telinga Mada dari belakang. Sebuah bisikan mulai terdengar, mulanya lirih, lama-lama menyamai riuh suara angin.
Aku bukan dewa, dan aku bukanlah keajaiban yang diutus olehnya.
Aku hanya kunang-kunang, yang menyelinap di kegelapan, yang menerangi kegelapan, dan menciptakan kegelapan.
Dan bila kau ingin hidupmu kembali, izinkan aku mengiringi langkahmu.
Menjadi penyelinap, menjadi cahaya, dan menjadi kegelapan itu sendiri.
Apa kau bersedia menerimaku?Seorang lelaki beraura gelap seketika muncul. Jubah hitam lelaki itu hampir menutup seluruh tubuh dan wajahnya. Yang mampu Mada lihat hanya rambut putih panjang yang terurai di dada lelaki itu, serta bibir merahnya yang tersenyum dingin.
"Aku adalah roh yang menunggu hutan ini. Orang-orang menyebutku hantu. Dukun menyebutku siluman. Namun aku hanya menyebut diriku sebagai seseorang yang terjebak dalam bayang-bayang. Aku adalah penerus dari penunggu sebelumnya. Kini aku mencari penerusku sendiri. MADA, BERSEDIAKAH KAU MENERIMA KEKUATANKU?"
Mata Mada mulai menghitam. Ia diingatkan pada segala perjuangan hidup yang dilaluinya. Perjuangan yang begitu berat. Yang membuatnya ingin sekali menerima ganjaran alih-alih kutukan.
Keputusasaan membuatnya menyetujui perjanjian itu. Diterima olehnya suatu kehidupan yang gelap. Kehidupan yang abadi. Hingga di kemudian hari, ia tidak pernah terjangkit penyakit. Mada merasakan hal yang lebih berat daripada itu. Menahan hawa nafsu dari sekian banyak jiwa yang bersatu dalam tubuhnya, membuat Mada harus bertahan dalam kehancuran yang tidak terobati.
Ia adalah penerus dari sang pemilik gunung. Orang-orang menyebutnya hantu, dukun menyebutnya siluman,
namun Mada hanya menyebut dirinya sebagai seseorang yang terjebak dalam bayang-bayang.~~~°°°~~~
KAMU SEDANG MEMBACA
Full Moon (TAMAT)
FantasySedikit berbau sejarah, tapi lebih banyak di masa depannya.