39.) Epilog

290 16 6
                                    

Semilir angin di pantai sore ini rasanya hangat. Tidak begitu ramai, malah tidak ada pengunjung sama sekali—kecuali Mada dan para pengikutnya. Mungkin karena Arga telah menyewa sepanjang area pantai ini, atau karena Armita menebar aura gelap di sekitar sini sehingga orang-orang tak lagi berminat untuk mendekat.

"Woaahhh, ternyata menyegarkan, ya! Kukira air laut itu panas karena terus-terusan kena sinar matahari!" seru Mada yang asik tiduran di bibir pantai tanpa menggunakan alas apapun.

Berjarak jauh dari air pantai, Rifan, Aji, dan Bintang, masing-masing sibuk dengan layang-layang mereka. Karena anginnya cukup kencang, sudah banyak layangan yang terbang tanpa tali—sebut saja layangan putus.

Di aula pondok tempat orang-orang biasa berkumpul, Armita memandang matahari yang perlahan tenggelam di hamparan laut. Bulan mulai terbit. Melihat lelaki yang telentang di tepi pantai itu bisa menikmati cahaya bulan purnama, menjadikan Armita wanita paling bahagia dibandingkan siluman manapun.

"Sebenarnya kau tahu kan, apa yang terjadi pada Pitaloka?"

Pertanyaan Putra barusan membuat Armita memutar bola matanya dengan malas. "Heuhh, sampai kapan kau akan menerorku begini? Katanya kau mau pergi setelah Mada jadi manusia?!"

"Beritahu aku dulu! Bagaimana bisa aku tetap diam kalau gadis manusia itu hilang begitu saja?! Andai tuan Mada tidak lupa ingatan, dia pasti akan memaksamu buka mulut juga!" ketus Putra.

Armita menghela nafas. "Baiklah. Tapi jangan bocorkan ini pada siapapun, ya!"

Putra mengangguk mantap. "Iya!!"

"Jadi begini..."

~~~°°°~~~

Full Moon (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang