18. Pertemuan

94 12 0
                                    


~~~°°°~~~

Ding dong!
Jam pelajaran terakhir telah selesai. Sampai jumpa esok pagi dengan semangat belajar yang baru.

Bel pulang sekolah telah berbunyi. Pitaloka yang sudah selesai bersiap segera meraih tas nya dan beranjak keluar.

"Eh, Pitaloka, tunggu!!" Dika cepat-cepat mengepak bukunya yang masih berserakan, kemudian menyusul gadis itu.

"Kenapa?" tanya Pitaloka di iringan langkahnya.

"Kamu mau kerja di rumah itu lagi?" tanya Dika.

"Iya."

"Ini udah sore, lho."

Pitaloka memutar bola matanya dengan malas. "Terus kenapa? Kamu mau bilang, kamu khawatir lagi?"

"Eng...ya enggak gitu!" elak Dika. "Aku ikut, ya!"

Pitaloka mengernyit. "Nggak!" ujarnya seraya melanjutkan perjalanan di koridor menuju pintu keluar.

"Ikut dong, please! Aku cuman mau mastiin tempatnya aman, Pita!" mohon Dika sembari terus membuntutinya di belakang.

"Dibilangin nggak, ya enggak. Lagian selama ini gak papa, kok!" celetuk Pitaloka membuat Dika menyerah di pintu keluar.

Tampak gadis itu sudah berjalan keluar hingga ke gerbang depan. Dika tidak bisa menghalanginya lagi, apalagi memaksa untuk ikut. Tapi, bukan berarti tak ada jalan lain baginya.

Dika membuka telepon. "Fan, jemput gua di sekolah!"

"Ngapain? Lu bawa motor, kan?" tanya Rifan yang suaranya terdengar dari speaker HP.

"Motor gua disita pak satpam tadi, gara-gara parkir di trotoar," jawab Dika. "Pokoknya lo jemput gua, nanti gua yang nyetir. Titik! Gua tunggu di depan."

"Ah, yaudahlah!! Lagian elu, sih! Napa balik SMA lagi?! Udah tau suka bolos, mending cari kerja aj—"

Tuut! Telepon dimatikan. Dika tak mau mendengar ocehan kawannya lagi. Kalau tetap didengarkan, bisa-bisa baru akan selesai satu tahun kemudian.

~~~°°°~~~

Ding dong! Bel rumah Mada ditekan.

Di samping itu, Dika telah bersiap dengan kepalan tangannya untuk menyambut apapun yang ada di rumah itu.

Rifan yang usai membenarkan pot yang jatuh sewaktu kakinya tersandung, cepat-cepat menyusul Dika ke teras rumah. Ternyata mereka sudah ada di depan rumah Mada.

"Heh! Ngapain lu ngajak gua kesini?! Gua kan dah bilang, gua lagi gak mau punya urusan sama om!!" bisiknya agak keras dengan nada kecil.

Belum sempat Dika menjawab, dua daun pintu yang megah itu terbuka lebar di hadapannya. Dari dalam sana, Mada dengan kedua tangan terlipat dan tatapan tajamnya, menyadari siapa yang telah berada di hadapannya.

Rifan mengomel pada Mada dengan mulut komat-kamit dan isyarat tubuh tanpa suara. Dia bilang, "Ini kenapa pintunya buka sendiri? Mau ketahuan kalau situ siluman?"

Meski Rifan sudah berpikir keras untuk mencari alasan, reaksi Dika justru biasa saja. Dika tidak tampak terkejut sama sekali. Sebaliknya, ia telah menduga hal mistis akan terjadi. Karena menurut perkiraannya, jika bukan roh penunggu rumah yang memiliki aroma itu, sudah pasti pemiliknya adalah om-nya Rifan.

"Siapa, ya?" tanya Mada datar.

"Oh iya, ini temen Rifan, om. Dia mau-"

"Dimana Pitaloka?" tanya Dika dingin menyela kalimat Rifan.

Mada mengernyit dengan mengangkat satu alisnya. "Kenapa kau mencarinya?"

"Dia temennya Pit-"

"Apa urusanmu?" sahut Dika tidak menggubris Rifan di sampingnya.

"Aku bosnya disini."

Seketika awan menggelap. Mada yang mensyaki keberadaan manusia setengah siluman, serta Dika yang telah menemukan siluman beraura gelap itu, akhirnya percaya bahwa siluman lain telah berada dalam jangkauan mereka.

Masing-masing dari mereka hanya memikirkan tentang satu hal. Haruskah kusingkirkan makhluk itu diam-diam, atau cukup mengasingkannya dari orang-orang?

~~~°°°~~~

Full Moon (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang