\\\
"Dasar siluman nakal! Kau harusnya tahu, aku sudah bermurah hati selama ini!"
Di bawah pohon beringin itu, jalanan begitu kosong. Tak ada satupun pelintas, kecuali tiga siluman yang berada dalam aura gelap yang Mada ciptakan itu.
"He-hei! Mada, cukup!" Dika menghalangi Mada mendekati monster besar itu dengan tangannya.
"Apa maksudmu? Kita harus segera menangkapnya! Kau tahu apa yang pernah dilakukan monster itu 50 tahun yang lalu?" tanya Mada sambil menunjuk-nunjuk makhluk itu dengan nada kesal.
Dika mengernyit. "50 tahun?! Lama sekali!"
"Lama apanya? Biarkan aku merantainya sekarang—"
"Nggak!" Langkah Mada dicegat lagi olehnya. Dika berbalik, menatap makhluk setinggi rumah itu dengan kasihan. "Memangnya apa yang telah kau lakukan sampai Mada harus mengurungmu selama itu?"
Makhluk itu menunduk. Ukurannya yang raksasa dan berbulu hitam itu, tiba-tiba saja menyusut. Matanya yang merah menyala berubah menjadi hitam legam. Kulit manusianya yang lebih putih, serta rambut acak-acakan yang tergerai itu, semakin mengecil hingga tertutup oleh baju genderuwo yang kebesaran.
Dika terkejut setelah menyaksikan makhluk itu berubah menjadi seorang anak laki-laki. Anak laki-laki dengan rambut lurus terurai sepanjang bahu. Dan yang membuatnya lebih kaget lagi, adalah cara anak itu memandangnya dengan lugu.
"Saya... tahu... apa yang... telah saya... lakukan," ujar anak itu lirih.
Dika melepas jaket logo macannya. Menutupi tubuh anak itu karena melihat pakaiannya yang sudah compang-camping. Ia menoleh kearah Mada yang masih termangu melihat wujud asli Gendheruwo itu.
"Aku akan membawanya pulang, cari saja tahananmu yang lain itu sendiri!" ucap Dika sebelum ia menggendong anak itu di pundaknya, lalu melangkah dan menghilang di balik batang pohon beringin.
Tinggallah Mada yang sendirian di tempat itu, masih tidak menyangka dengan apa yang ia lihat barusan. Kenapa baru sekarang dia melihat wujud manusia Gendheruwo itu?
~~~°°°~~~
Dika meletakkan secangkir teh hangat di atas meja. Di seberang meja sana, menghadap wujud kecil Gendheruwo yang ditemuinya tadi. Mau berapa kali lagi ia melihatnya, Dika masih tidak percaya bahwa makhluk itu adalah anak kecil yang bahkan masih sepantaran dengan anak SD.
"Siapa namamu?" tanya Dika hati-hati.
Anak itu berhenti menyeruput tehnya. "Putra, tuan."
"Sejak kapan kau berubah menjadi siluman seperti tadi?"
Anak itu menggeleng. "Saya memang lahir seperti ini, tuan."
"Mada bilang dia mengurungmu selama 50 tahun. Kalau kau memang terlahir begitu, seharusnya kau sudah menua sekar—" Dika terdiam sejenak. Sejurus kemudian ia terlonjak dari duduknya sambil menunjuk-nunjuk wajah anak itu." Atau jangan-jangan ini masih bukan wujud aslimu?!!"
Putra mengangguk santai. "Memang bukan, tuan. Wujud asli saya kan, yang besar tadi. Tapi umur saya memang masih sembilan tahun. Dulu orang-orang kampung mengatai saya monyet, itulah alasan kenapa saya merubah tampilan menjadi anak manusia seperti ini."
Dika menghela nafas seraya kembali duduk dengan tenang. "Selama 50 tahun ini, kau masih menganggap umurmu sembilan tahun?"
Putra mengangguk-angguk. "Siluman lain juga bilangnya seperti itu, tuan. Kurungan yang dibuat tuan Mada memang dirancang untuk menghentikan tumbuh kembang siluman. Bagi siluman yang tidak mampu mengendalikan kekuatannya, tuan Mada adalah ayah yang membantu mereka mengontrol diri."
Dika merenung sejenak. "Membantu mengontrol diri?"
"Benar, tuan. Tuan Mada menangkap kami hanya ketika kami berulah. Kami akan dikurung sampai benar-benar bisa mengendalikan diri," jelas Putra sebelum menyeruput tehnya lagi.
Wajah pucat seorang wanita tiba-tiba saja muncul di balik sofa Putra. Dika ingat Mada menyebutnya Hantuen Urban tadi. "Bagaimana dengan dua siluman yang lain?" tanya Hantuen itu.
"Saya yakin tuan Mada sudah menangkap mereka. Yang satu tadi memang sedikit lebih ganas, jadi saya tidak yakin kalau tuan Mada akan mengampuninya. Mungkin masa kurungannya akan bertambah," jawab Putra seolah itu adalah hal biasa yang sudah biasa terjadi.
Dika memegang dagu. "Aku jadi penasaran berapa banyak siluman yang sudah dia tangkap."
"Mungkin sudah seratus lebih," sahut hantuen. "Biasanya ada yang dibebaskan, tapi jumlah keluar lebih sedikit dari jumlah yang masuk tiap tahunnya."
"Sebanyak itu?" tanya Dika diangguki wanita itu.
Dika berdecak. Kakinya berkibas-kibas tak bisa diam. Rahangnya turun naik sembari ia menggigit-gigit kuku. Saat ini ia semakin gerogi karena ada masalah tambahan yang terlintas dalam pikirannya.
"Kenapa, tuan?" tanya Putra.
Dika menoleh. "Kau bilang, kurungan itu buatan Mada sendiri kan?"
Putra mengangguk. "Dibuat dengan kekuatan tuan Mada sendiri. Harusnya tuan Mada menggunakan kekuatan itu untuk menjaga gunung, tapi gunung itu sudah diserahkan pada anak buahnya. Mungkin karena dia bosan, tuan Mada membuang tenaga untuk mengurusi siluman-siluman lain."
"Lalu bagaimana jika Mada berubah jadi manusia lagi?" tanya Dika semakin ingin tahu.
"Gawat," sahut Hantuen. "Bahkan saat ini pun, tuan Mada harus menyalurkan kekuatannya untuk memperkuat kurungan. Barang sehari saja dia absen, akan ada lebih banyak siluman yang kabur."
"Hari ini tuan Mada beruntung karena hanya kami yang lolos. Wanita ular itu pasti tahu kalau dia hanya perlu kami untuk memperingatkan tuan Mada," sambung Putra.
"Wanita ular itu siapa lagi?" tanya Dika.
"Namanya Armita. Dulu dia salah satu selir tuan Mada yang melakukan guna-guna padanya. Setelah dia mati, wanita itu berubah menjadi siluman ular. Sudah enam abad sejak dia dikurung di kastil milik tuan Mada," jelas Putra.
"Sebenarnya kasihan juga wanita itu. Bahkan setelah dikurung paksa oleh tuan Mada, dia masih mencintainya. Sepertinya ini kali pertama ia kabur dari kastil," pungkas Hantuen.
Ding dong!!
Suara bel sontak membuat nafas Dika tiba-tiba terhenti. Ia mengecek jam tangan. Pukul tiga sore. Ini adalah waktu biasanya Pitaloka datang setelah pulang sekolah.
Sontak Dika berpaling pada dua siluman di hadapannya. "SEMUANYA, SEMBUNYIIII!!!!"
~~~°°°~~~
KAMU SEDANG MEMBACA
Full Moon (TAMAT)
ФэнтезиSedikit berbau sejarah, tapi lebih banyak di masa depannya.