\\\"Itulah yang paling menyiksa. Kau sekarat, tapi ada kekuatan gelap yang mencegahmu untuk mati."
"Itukah alasan kenapa Mada tak bisa mati meski ia kesakitan?"
"Benar. Karena kekuatan hitam itu tidak selalu soal jurus maupun sulap, melainkan soal bagaimana cara manusia bisa hidup abadi."
~~~°°°~~~
Darah menetes dari telapak tangan Mada yang masih menggenggam pecahan kaca. Ujung lancip kaca itu, tampak mengkilat dan siap terjun dari atas sana.
"Ada pesan terakhir?" Mada bertanya di atas tubuh Dika yang tersungkur.
Dika tersenyum. "Bunuh aku kalau kau bisa." Ia tiba-tiba mencekal tangan Mada yang menjambak rambutnya.
Mada yang sempat kaget, spontan menerjunkan pecahan kaca itu, tapi serangannya kali ini gagal. Dika berhasil menangkap kaca lancip yang baru saja hampir menancap di lehernya.
Tangan Dika masih menahan kaca itu meski itu berarti tangannya ikut terluka. Mada terus mengerahkan tenaganya, begitu juga Dika yang terus bertahan.
"Bagaimana caranya kau masih kuat bertahan dengan kondisi itu?"
Dika meringis. "Mungkin bukan aku yang kuat bertahan, tapi kau yang semakin melemah."
Seketika mata Mada melebar. Ia menoleh pada tangannya yang terluka menggenggam pecahan kaca. Ia baru sadar, bahwa darahnya yang mengalir itu jatuh ke tangan Dika yang juga berdarah.
Sontak Mada mengurai pegangannya dari kaca itu, tapi tangan Dika yang satunya dengan cepat memegangi tangannya lagi agar tetap menggenggam kaca itu.
"Aku bersumpah, aku akan mewarisi kekuatan ini darimu."
"DIKAA!!!" teriak Mada mencoba melepas tangannya dari kaca itu, tapi tenaga Dika justru semakin kuat.
Itu karena kekuatan Mada perlahan berpindah melalui darahnya. Dengan bertemunya darah siluman dan darah manusia-darah pemilik tubuh Dika, pewarisan kekuatan dapat dilakukan.
Tubuh Mada seketika melemah dan jatuh. Bukan, Mada memang selemah itu saat ia menjadi manusia. Tidak berdaya dan sekarat. Di kakinya, luka gigitan ular yang telah hilang, saat ini kembali lagi sebagai bekas luka. Begitu juga dengan bekas luka lain yang ia dapatkan di peperangan. Setelah dulu menghilang, bekas itu muncul lagi sebagai tanda bahwa ia benar-benar telah kembali menjadi manusia biasa.
Akibat adanya beberapa pendarahan pasca pertarungannya dengan Dika barusan, Mada yang sudah menjadi manusia biasa tidak kuat bergerak barang selangkah saja.
Di sampingnya, Dika juga sekarat, tapi ia tak akan mati. Meski berkali-kali ia mengerang kesakitan sembari memuntahkan darah akibat penolakan yang dilakukan tubuhnya terhadap kekuatan Mada, ia tidak akan mati. Itulah yang dirasakan tubuh manusia dalam masa pengenalannya dengan kekuatan yang lebih besar.
Di lantai yang sama, Mada menoleh pada Dika. Lelaki di sebelahnya itu, terus memegangi lengannya sambil meringik kesakitan. Darah Mada terlihat merah menyala seolah sedang membakar tangan Dika.
"A... Apa... ini... rencanamu?" tanya Mada lemas di atas lantai yang dinding.
Dika tidak menjawab. Ia terus merintih. Urat-uratnya tegang. Ini adalah kali pertamanya merasakan sakit yang sesakit itu.
Dari balik dinding kaca yang pecah itu, Armita datang dengan kebaya hitam yang panjang. Rambutnya hitam mengkilat memancarkan cahaya bulan sabit di malam yang sunyi.
"Padahal... kau tak tahu... siapa yang... mati," lirih Mada memandang wanita itu.
Armita tertunduk. "Benar. Aku tak tahu alasanmu bersetelan hitam, karena alasan kita berbeda." Armita menoleh pada Dika. Ia tampak prihatin. "Aku sedang memperingati kematian anak itu. Meski seharusnya bukan sekarang."
Mada cepat-cepat menggeleng. "Ja-jangan! Mita, kumohon!! Dia bisa!! Kau tak harus membunuhnya!!" teriaknya memohon sembari merangkak memegangi kaki Armita.
"Mada, ini bukan tentang mampukah Dika mengendalikannya," sahut Armita lebih tegas. "Ini soal mampukah kau melihatnya mengalami hal yang sama sepertimu."
Seketika Mada terdiam. Pupil matanya gemetaran. Ia memandang Dika berkaca-kaca. Bukan ini yang ia inginkan!!
"Sekarang jawab aku! Kau mau mengakhirinya sendiri, atau aku yang melakukannya dengan menggunakan ragamu?"
Mada menggeleng. "Kenapa harus aku?"
"Karena kau yang mengutuknya, Mada," jawab Armita seketika membuat Mada membeku di tempat.
"Me-mengutuk? Aku? Kapan aku..."
Armita menatap Mada yang tiba-tiba bungkam. Ia rasa, sepertinya Mada mulai memahami situasi ini. Karena pada akhirnya, satu-satunya cara untuk menghapus kutukan Dika adalah dengan Mada membunuhnya.
"Kau akhirnya mengerti juga," lirih Armita. Ia mengeluarkan sebilah keris di belakang roknya, meletakkannya di lantai tepat di depan wajah Mada yang terus memerhatikan Dika. "Manusia bisa membunuh siluman dengan keris ini, tapi kau sendiri yang harus melakukannya."
"Tolong... tinggalkan kami."
Kalimat itu membuat Armita ikut merasa sesak. Ia mengangguki Mada. Langkahnya keluar dari gedung itu. Ia terus berjalan menjauh. Semakin jauh hingga tak seorangpun bisa melihat air mata menetes dari wajahnya.
Dan di atas atap sebuah gedung, Putra hanya berdiri tanpa sepatah kata. Ia mengingat kembali pesan Dika padanya, sewaktu Putra menunjukkan jalan menuju kurungan siluman.
"Aku berniat mengembalikan Mada seperti sedia kala."
"Eh, apa?"
Dika tersenyum. "Andai rencanaku untuk menghapus kutukan ini gagal, setidaknya aku harus berhasil mengembalikan Mada ke kehidupan manusia."
"Bagaimana kalau keduanya gagal?"
"Ah, mana mungkin. Tapi kalau memang itu yang terjadi, dan kemudian aku mati di usia yang ke 23 tahun, maukah kau tetap mendampingi Mada sampai aku kembali?"
"Kenapa harus aku?"
"Karena hanya kau yang tahu aku akan mencobanya sekali lagi."
Di atas sana, Putra tersenyum bangga. "Kau berhasil pada percobaan pertamamu, Hayam Wuruk."
~~~°°°~~~
KAMU SEDANG MEMBACA
Full Moon (TAMAT)
خيال (فانتازيا)Sedikit berbau sejarah, tapi lebih banyak di masa depannya.