Arisha menatap minuman yang diulurkan untuknya, tatapannya teralihkan pada Darka yang saat ini berdiri dihadapannya dengan memberikan minuman tersebut kepadanya.
"Ambil," ucap Darka mengisyaratkan agar Arisha menerimanya.
"Gak usah, makasih," jawab Arisha singkat dan tidak lagi memandang Darka.
Darka menghela napas menatap minuman yang berada ditangannya. "Bahkan minuman ini aja gak bisa lo terima, Sha."
"Lo bilang apa barusan?" tanya Arisha karna Darka hanya bergumam pelan.
"Mau gue anter pulang? Lo udah nunggu setengah jam, gue anterin ya? Ini mau ujan, Sha." Laki-laki itu mengalihkan pembicaraan.
Arisha memandang Darka dengan tatapan sinis. "Kenapa sih? Kenapa sikap lo jadi kayak gini?"
"Sha---"
"Hubungan kita gak pernah sedekat itu sampai lo harus nganterin gue pulang. Gue hampir muak sama permintaan maaf lo. Jangan cuma minta maaf, lo juga harus buktiin. Buktiin kalo lo emang bener-bener nyesel dan gak sandiwara. Kalo cuma minta maaf, anak kecil juga bisa ngelakuin itu," tekan Arisha.
"Lo gak pernah sekasar ini, Sha," ujar Darka parau.
"Lo pikir cuma lo yang bisa kasar sama gue? Lo pikir cuma lo yang bisa seenaknya sama gue? Semenjak kedatangan lo, jangan pernah berpikir kalo gue udah maafin lo. Seharusnya lo bersyukur lo bisa masuk sekolah ini lagi, gue bisa aja ngusir lo dari sini seperti dulu lo mau ngusir gue."
"Gue udah berusaha sebisa gue, tapi apa lo udah kasih kesempatan ke gue? Kalo diri lo sendiri gak bisa membuka itu buat gue, seberapa besar usaha gue itu semua pasti cuma sia-sia, Sha," ucap Darka menjelaskan.
Rupanya seperti ini keadaan keduanya. Kini hubungannya seperti dihalangi oleh dinding besar yang terbuat baja. Sangat sulit untuk menghancurkannya.
Arisha berhak untuk marah. Namun, apakah Darka tidak berhak untuk mendapatkan kesempatan?
"Tiga hal yang udah lo hancurin, Darka." Arisha terdiam sejenak sebelum kembali berbicara.
"Perasaan, kepercayaan, dan harga diri. Lo berhasil hancurin itu semua dalam waktu yang bersamaan. Kesempatan mana yang lo maksud?"
Darka dibuat bungkam karenanya. Bagaimana tidak, segala ucapan Arisha adalah kebenaran. Sikap kasarnya tidak dapat diterima secara mudah oleh siapapun.
"Lo bisa luapin semua kebencian buat gue, Sha. Lo bisa tampar gue sebanyak mungkin, lo juga bisa caci maki gue sepuas lo. Gue akan terima semua itu, Sha."
Arisha tersenyum miris. "Kalo kayak gitu, apa bedanya gue sama lo?"
"Kenapa saat kecelakaan itu lo mencoba nolong gue? Seharusnya lo biarin gue. Kalo lo ngelakuin itu, kita gak akan berhadapan kayak sekarang. Itu lebih baik daripada kondisi kita sekarang kan?" lanjut Arisha.
"Kalo seandainya kecelakaan itu renggut nyawa gue, dan gue mati saat itu juga. Apa sekarang lo udah maafin gue, Sha?"
"Kenapa harus seandainya? Kebetulan sekarang kita ada di depan jalan raya, kenapa enggak lo coba? Biar lo bisa tau, setelah itu gue akan maafin lo atau enggak."
Keduanya saling bertatapan satu sama lain. Tatapan semakin dalam, bahkan Darka dapat menyiratkan arti dari tatapan Arisha yang diberikan kepadanya.
Saat ini Arisha benar-benar menunjukkan kebenciannya walaupun hanya melalui pandangannya.
"Gue harus nunggu berapa lama sampai lo maafin gue, Sha?" tanya Darka.
"Kita lebih baik saling menjauh. Kalo lo ada di deket gue, luka itu gak akan pernah sembuh, Darka," balas Arisha karna memang itu kebenarannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Be Mine, Arisha!
Novela Juvenil"Permohonan maaf lo, gak berlaku buat gue. Sikap lo yang kayak gini, justru nunjukkin kalo lo emang laki-laki rendahan, Darka." Bayang-bayang masa lalu membuat Arisha merasa ragu jika berdekatan dengan Darka. Tetapi sayangnya, Darka selalu mempunya...