11 - Hug

363 41 3
                                    

Happy Reading 🤗

Busan

Seungmin membuka matanya perlahan ketika suara panggilan untuk penumpang yang turun di Busan mengusiknya. Disampingnya Jeongin masih menutup matanya, melihat Pundak pemuda disampingnya mendengkur lembut dengan Pundak naik turun membuatnya cukup lega.

Ia masih disini.

"Jeongin" Seungmin memanggil nama sembari mengguncang lembut Pundak sempit pemuda itu. Membangunkan pemuda bermata rubah itu. Jeongin membuka matanya perlahan, melihat sekelilingnya dan menyadari jika kereta yang ditumpanginya sudah berhenti di stasiun kota asalnya yang terasa familiar.

"Sudah sampai?" tanya Jeongin.

Seungmin memberikan anggukan singkat, sembari mengajak Jeongin berdiri untuk segera beranjak.

"ku telfon ayahku kalau begitu"

+ + +

Sore itu setelah makan siang di rumah Jeongin, ditemani oleh kakak dan adik laki laki Jeongin, Mereka mengunjungi pantai tempat yang sering Jeongin datangi sewaktu kecil. Jeongin terduduk di tepi jalan dekat dengan pantai sembari melihat kejauhan Seungmin bersama kedua saudaranya bermain bola. 

Sebenarnya ia tak menyangka jika Seungmin bisa berbaur dengan keluarganya dengan begitu cepat.

Mungkin karena pria tinggi berambut kecokelatan itu tidak memiliki saudara dan terlihat kesepian, oleh karena itu pria bermata permen itu bisa begitu mudah akrab dengan kedua saudaranya .

"syukurlah"

Ia melihat sosok Seungmin melambai ke arahnya, Jeongin tersenyum membalas dengan lambaian yang entah bisa dilihat oleh pria itu atau tidak. Ia melihat sosok itu mendekat kearahnya, meninggalkan kedua saudara Jeongin yang kini tengah asyik bermain dengan ombak. Seungmin memenuhi tempat duduk kosong di samping Jeongin sembari membersihkan pasir pantai yang tertempel di celana panjangnya.

"kau tidak ikut bermain?" tanya Seungmin.

Jeongin menggeleng.

"Sejak kecil sudah seperti ini." Ucap Jeongin sembari tersenyum menatap jauh kakak dan adiknya yang bermain. Seolah yang ditatapnya bukan hanya sekedar itu, tetapi jauh lebih dalam lagi. Seungmin bisa menemukan sedikit rasa iri dari tatapan itu, oleh karena itu ia hanya terdiam.

"Aku tidak begitu pandai bermain bola, dan juga dengan keadaanku seperti ini aku biasanya hanya bisa melihat mereka bermain. Mendengarkan cerita bahagia mereka menjadi top scorer di klub sepak bola, menang berbagai kompetisi. Dan semua itu lebih dari cukup bagiku." Jeongin terdiam sejenak, mengambil nafas sebelum melanjutkan kalimat selanjutnya, menatap mata kecokelatan milik Seungmin yang melekat dalam kearahnya.

"jadi, suatu hari nanti aku harap bisa mendengar kisah bahagiamu kak" ujar Jeongin lirih.

Suaranya bergetar, mengandung banyak perasaan yang tertahan, diselimuti senyum cerah Jeongin seperti biasa tetapi dingin. Seungmin mengerti itu, ia juga tak bisa melihat warna cerah kekuningan oranye yang selalu menyelimuti pemuda disampingnya berbicara.

Angin pantai musim gugur terasa menusuk, tetapi keduanya sama sekali tidak merasakan dingin itu. Justru rasa gerah tatapan satu sama lain itu menghangatkan mereka.

Perlahan Seungmin mendekatkan wajahnya, mengapus jarak kecil diantara mereka.

"Kenapa harus kuceritakan, Ketika seluruh kisah bahagiaku itu, jika kau bersamaku?"

Bisik Seungmin, Jeongin mengangkat pandangannya sehingga bisa menatap mata permen Seungmin. Mereka bisa merasakan debaran tak berartur yang mulai mendominasi indra telinga masing-masing.

"Jeongin, aku—"

"jangan katakan itu" sela jeongin dengan suara dingin, ia sudah menebak apa yang akan dikatakan Pria yang lebih tua darinya itu.

Ia tak mau mereka melangkah sejauh itu.

"kumohon jangan katakan itu kak" pemuda bermata rubah segera berdiri. Memutus tautan mata mereka.

"tapi jeong—" Seungmin meraih tangan Jeongin erat. 

Genggamannya melemah ketika ia mendengar isakan pemuda itu. Seungmin menarik pemuda kecil itu ke pelukannya, ingin menghapus rasa gundah dan sakit yang pemuda itu rasakan.

Seungmin mengusap pelan punggung sempit Jeongin yang bergetar karena tangisan. Berharap dapat menyalurkan rasa nyaman dan aman darinya untuk pemuda itu.

"Yang Jeongin, entah akhir apa yang akan kita hadapi nanti. Jangan membuatku menyesal untuk tidak mengatakan hal ini kepadamu"

Seungmin mengeratkan pelukannya

"aku mencintaimu" bisik Seungmin.

Pria 27 tahun bersetelan musim dingin itu mengecup puncak kepala Jeongin yang mulai terdiam. Aroma shampoo vanilla milik Jeongin tercium dengan jelas. Ia selalu menyukai aroma ini, memberikan rasa damai tersendiri baginya.

"ingatlah, kau boleh jujur kepadaku" ucap Seungmin lirih.

Jeongin yang mendengar rentetan kata lembut kebiruan yang selalu terasa nyaman di telinganya akhirnya megucapkan kata-kata yang selama ini, dari lubuk hatinya terdalam, ingin ia dengar.

Pemuda itu tak tahu ia harus bersedih atau bahagia Ketika mendengarnya. Ia menggenggam erat baju luar Seungmin. 

Ia tak mengerti apakah ini keputusan yang tepat atau tidak.

Semuanya sudah terlanjur terjadi

"jika aku bisa egois sekarang—"

"—aku ingin hidup selamanya bersamamu" bisik Jeongin sembari membenamkan wajahnya di pundak lebar Seungmin yang selalu terasa nyaman untuk ia sandari.

Sejenak ia kira Jeongin akan berhenti menangis, tetapi tidak, pemuda direngkuhannya malah terisak semakin kencang.

Suara isakan Jeongin terdengar menyakitkan,

tetapi tak apa.

Seungmin sudah mendapatkan jawabannya. 

.

.

tbc

.

.

.


Note: sebenernya mau ku update kemaren tapi keburu ketiduran hehehe.

Sequence | Seungin/Jeongmin (Seungmin x Jeongin)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang