13 - The Moon is Beautiful, Isn't It?

284 34 0
                                    

Happy Reading 🎑

Jeongin membukam matanya perlahan, silau oleh lampu kamar yang sudah tak terasa asing baginya. Samar ia mendengar suara ibunya memekik pelan dan ia bisa mendengar derap Langkah yang kemungkinan besar ayahnya menuju keluar kamar rumah sakit.

Matanya terasa berat, ia hanya bisa mencium bau pekat anitesptik, tenggorokannya terasa amat kering. Ia takut untuk menebak sudah berapa lama ia tak sadarkan diri kali ini. Tidak berselang lama ia mendengar bayak derap Langkah dari para dokter dan perawat yang segera melakukan pengecekan terhadapnya.

Sekilas ia terbayangi oleh wajah ketakutan Seungmin yang terakhir ia lihat sebelum terbangun. Jeongin melirik ibunya yang siap siaga kala itu, bertanya dengan hanya enggerakkan mulut "dimana kak Seungmin?". Ibunya mengusap lembut kepalanya.

"Seungmin sedang bekerja, ia bilang akan kesini nanti malam"

Jeongin mengangguk pelan, setelah dibantu oleh ayahnya untuk meneguk air putih, ia kembali terbaring, seluruh tubuhnya lemas luar biasa, dan kantuk mulai merasakan kantuk kembali. Perlahan ia memejamkan mata.

Hari hari setelah kejadian di bioskop berlangsung manjadi keseharian yang biasa, teman temannya, ayah ibunya, kakak adiknya, karyawan, bahkan Tuan Kim datsng silih berganti menjenguk dan menghiburnya, berusaha membuat Jeongin tetap menjadi Yang Jeongin yang biasa mereka kenal. Ceria, Cerah dan Gemilang.

Tak terkecuali Kim Seungmin, pria itu hampir setiap seminggu sekali membawakan buket lili putih dan mengatur nya di vas, membawa juga gitar dan sesekali bernyanyi Bersama. Pada saat saat itulah Jeongin merasa kembali hidup.

Menjalani keseharian yang mengingatkannya pada masa masa dimana Seungmin belum mengetahui penyakitnya.

Mingu berganti bulan. Semua sudah menjadil kesehariannya. Ia mulai merasa jenuh.

Tapi ia tak tahu kapan ia bisa keluar dari rumah sakit. Ketika ia bertanya kepada ibu atau ayahnya kapan ia diizinkan untuk keluar, keduanya hanya akan mengalihkan topik pembicaraan. Ia mulai merasa tidak nyaman dengan sikap kedua orang tuanya.

Sampai suatu malam ketika Ia tak menemukan ayah ataupun ibunya dikamarnya. Ia tertatih keluar kamar sembari memegangi tiang infus yang sudah seperti menjadi bagian dari tubuhnya. Ia menemukan orang tuanya diujung koridor luar bangsalnya bercakap dengan Dokter Jang yang sudah lama sekali ia kenal.

Ketika Jeongin hendak mendekat memanggil kedua orang tuanya, langkahnya terhenti Ketika samar melihat ibunya menangis, ayahnya memeluk untuk menenangkan dan menguatkan ibunya yang bahkan terlihat seperti tak mampu menompang tubuhnya. Jeongin kembali bersembunyi. Menyandarkan punggungnya di tembok rumah sakit yang terasa dingin.

Bayangan sewaktu kecil melintas difikirannya.

Malam itu, malam pertama kali ia dan keluarganya mengetahui penyakitnya, Jeongin kecil terus terusan terisak, menangis menghadapi sakit yang luar biasa di dadanya.

Ayah dan ibunya memegangi jemari kecil Jeongin, mengusapnya perlahan berharap dapat menghilangkan rasa sakit Jeongin kecil, atau bahkan rela menggatikan Jeongin kecil untuk merasakan sakit itu. Ibunya mulai menyanyikan lagu nina bobo dengan suara yang sedikit sumbang karena menahan tangis.

Jeongin kala itu masih kecil, ia belum mengerti tentang apa dan bagaimana penyakitnya, yang Ia tahu kala itu hanyalah ia merasakan sakit dan hanya butuh menangis untuk menenangkannya. Tetapi Ketika ia mendengar suara nyanyian ibunya, ia mengerti saat itu bukan hanya dirinya yang merasakan kesakitan.

Orang tuanya, mereka juga merasakan sakit itu.

Tangisan Jeongin kecil mereda perlahan. Ia tak ingin membuat orang tuanya khawatir. Sambil menahan sakit yang luar biasa ia berusaha menenangkan kedua orang tuanya. Suara lirih keluar dari bibir mungil pucatnya.

"ayah.."

"ibu.."

"Aku bersyukur, aku terlahir menjadi anak ayah dan ibu"

Saat itu Jeongin kecil memang berfikir bahwa saatnya telah tiba, tetapi takdir masih berbaik hati memberinya waktu dan ia berhasil bertahan hingga usia 20 tahun.

.

Tapi kali ini, apakah takdir masih mau mengasihinya?

.

Jeongin menatap langit langit rumah sakit yang termaram oleh lampu koridor luar. Ia menghela nafas berat. Mengusak rambut serta wajahnya.

"sudah saat-nya kah..."

.

Bahkan bisa hidup sampai sekarang saja ia sudah cukup beruntung.

.

Ia mulai membayangkan kehidupan orang-orang tanpa dirinya. Bertanya tanya, apa yang akan dilakukan oleh orang tuanya, kakaknya, adiknya, dan

Seseorang yang enggan ia sebut,

Kim Seungmin

.

.

.

Matanya membola Ketika ia mendapati si pemilik nama berdiri dikamarnya. Bahu lebar yang terlihar familiar itu membelakangi pintu masuk kamar, tubuh tegapnya menghadap jendela besar yang terbuka, membiatkan angin malam serta pias sinar rembulan masuk ke kamar gelap tempat Jeongin dirawat.

Jeongin berjalan perlahan mendekat, enggan mengusik lamunan Seungmin yang tampak tenang. Ia berdiri disamping Seungmin yang sepertinya belum menyadari keberadaanya.

Seungmin melilirik Jeongin dengan ekor matanya dan baru menyadari jika Pemuda pemilik kamar tengah berdiri disampingnya. Tersenyum ke arah Jeongin.

"lihatlah, bukankah bulannya sangat indah?"

Jeongin justru kini menatap lekat Seungmin, wajah tampan yang tertempa oleh sinar malam. Ia selalu terpesona olehnya. Mengagumi tiap lekuk wajah pria yang sudah sepenuhnya dewasa itu. Aroma maskulin dari parfum Seungmin, serta suara kebiruan yang menangkan milik pria berakacamata itu terngiang lembut ditelinganya. 

Jeongin ingin menangis.

Angin hangat musim semi datang begitu saja dengan cepat, kuncup Sakura mulai muncul menandakan jika musim dingin segera berlalu. Hampir satu tahun semenjak pertemuan mereka, dan tak ada hal lain di hidup Jeongin yang ia syukuri selain pertemuannya dengan Kim Seungmin.

Mendengar kisah keseharian Seungmin, makan siang dengan rekan kerjanya, cerita tentang Nona Park yang di lamar, atau tentang  pak Lee yang anaknya sedang masuk TK, Bu Na yang selalu memberinya bonus cinnamon roll, rekan band cafe, atau tentang hubungannya dengan ayahnya yang membaik.

Hari demi hari ia mendengar pria itu bercerita antusias dan membuat Jeongin semakin yakin bahwa perannya di kehidupan pria itu, kini sudah sepenuhnya selesai.

Kim Seungmin sudah menjadi sosok rajutan indah yang ia harapkan.

Dengan lembut ia meraih tangan Seungmin, mengenggamnya erat, sembari memandangi rembulan dan langit malam yang cerah.

"iya, bulannya sangat indah kak"

Perasaan hangat menyelimuti hatinya Ketika dengan lembut Seungmin membalas genggaman tangan Jeongin dan mengusapnya pelan, seolah-olah Jeongin adalah barang rapuh yang mudah terluka. Mengingatkannya pada malam disaat ia ditenangkan oleh nyanyian sumbang ibunya sewaktu kecil.

Sepertinya tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi.

Jeongin tersenyum tipis.

.

.

Baiklah, kita menuju babak final, dan semuanya akan selesai.

.

.

tbc

.

.

.

.

Note: rencana mau double update :" tapi keadaan tidak memungkinkan huhu

Sequence | Seungin/Jeongmin (Seungmin x Jeongin)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang