Bab II

1.5K 66 0
                                    

Naura mengaduk-aduk minum yang di pesannya dengan kesal. Setelah kejadian di kamar tadi, ia segera menghubungi Fania, yang tak lain adalah kakak kandung dari suami bocahnya. Ia mau minta pertanggung jawaban dari Fania atas ulah sang adik.

"Lecek amat tu muka!" Fania menoyor pelan kepala Naura lalu duduk di kursi di samping Naura.

"Adek lo bikin emosi!" Adunya.

Fania terkekeh, ia sudah menduga hal itu akan terjadi. Cavin pasti membuat sahabatnya itu jadi stres. Maklum saja, adiknya itu masih berusia 19 tahun fan masuk duduk di bangku kuliah semester 4. Terpaut usia 6 tahun dengan dirinya dan Naura.

"Emang Cavin ngapain lo sih, Nau?"

Naura terdiam. Pipinya memerah. Mengingat kembali apa yang baru saja dilihatnya.

"Ng ... pokoknya ada deh, dia nyebelin!" Naura menyedot minumnya kasar.

"Jangan terlalu benci Nau, nanti lo jatuh cinta!" Gitu-gitu, adek gue ganteng." Fania membanggakan Cavin.

"Nggak akan, lo tahu kan? Gue itu terpaksa nikah sama dia. Lo tahu itukan? Kalo gak karena kakek, mungkin gue sama Bara udah bahagia kali."

Fania tersenyum. Ia tahu sekali kalau Fania belum bisa melupakan Bara, mantan kekasihnya. Mereka juga berpisah bukan karena ada masalah. Tapi karena Naura dijodohkan sama Cavin. Dan yang lebih membuat Naura susah move-on adalah mereka pacaran sudah dari SMA, wajar saja kalau Naura masih memikirkan pemuda itu.

"Tapi Nau, jangan terlalu keras ya sama Cavin! Biar begitu dia baik kok."

Naura menggeleng tidak setuju.

"Yang ada lo yang bilang gitu ke Cavin! Jangan bikin gue darah tinggi!"

Fania tersenyum. Ia mengangguk. Sebenarnya, berat melepas adiknya menikah di usia yang begitu muda. Tapi, semua itu kemauan Cavin sendiri. Bahkan orang tua mereka saja tidak mempermasalahkan hal itu.

"Yaudah, gue balik ke hotel dulu ya, takut bocil itu ngadu ke bonyok gue." Naura lalu mengambil tasnya lalu meninggalkan Fania.

Fania tersenyum masam. Semoga ini keputusan yang tepat. Hanya satu do'a Fania. Semoga Cavin selalu bahagia dan dilindungi oleh Tuhan.

❤ ❤ ❤

Begitu sampai di hotel, Naura sedikit terpaku melihat pemandangan yang ada di depannya. Cavin sedang tertidur pulas. Dan anak itu sangat tenang dalam tidurnya. Naura seperti melihat dua orang yang berbeda. Niat mau membangunkan Cavin diurungkan Naura. Sebenarnya, Naura sudah membawakan Cavin makan malam, karena ia tahu cowok itu belum makan semenjak acara resepsi mereka tadi. Naura sebagai istri yang baik masih punya hati, dan tak akan membiarkan suaminya itu kelaparan. Itu pesan yang di sampaikan mama tadi. Harus berbakti pada suami.

Beberapa saat, Cavin menggeliat dalam tidurnya. Tak lama, ia membuka matanya. Cavin tersenyum melihat Naura sudah ada di hadapannya.

"Nih, makan dulu! Lo laper kan?"

Cavin teersenyum lebar. Ia lalu merentangkan tangannya ke arah Naura. "Bantuin," ucapnya serak khas bangun tidur.

Mau tidak mau, Naura lalu membantu Cavin bangun. Namun, bukan Cavin namanya kalau tidak jail. Ia mengecup singkat bibir Naura begitu wajah mereka berdekatan.

Naura hendak marah, namun dipotong Cavin. "Eits, tidak boleh melawan sama suami," ucapnya.

Naura menghela napas. Ia lalu mengurungkan niatnya untuk memarahi Cavin. Lagian, ini sudah terlalu malam.

"Ni, makan. Habis itu tidur." Naura meletakkan sekotak nasi goreng seafood di hadapan Cavin.

"Serasa dimarahi mama," gerutu Cavin.

I'm yoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang