Bab IV

1.1K 48 2
                                    

Naura mondar-mandir di depan ruang keluarga. Ini sudah pukul tiga pagi. Tapi Cavin belum juga pulang. Naura takut terjadi apa-apa dengan anak itu  mau menghubungi, tapi Naura tidak punya satupun kontak teman-teman Cavin. Lagi pula, Naura juga tidak mengenal mereka.

Naura begitu bingung, rasanya ia ingin mencari Cavin, tapi tak tahu harus kemana. Menghubungi Faniapun tidak mungkin. Naura tidak enak mengganggu sahabatnya itu. Pasti saat ini Fania sudah tidur. Ditambah, Fania sedang hamil. Membuat Naura tambah mengurungkan niatnya.

Selang beberapa jam, Naura menerima sebuat panggilan masuk di ponselnya. Wajah Naura memucat begitu mendengar sipenelpon mengatakan Cavin pingsan dan sekarang berada di rumah sakit.

Tanpa pikir panjang, Naura langsung meninggalkan apartemen untuk melihat kondisi Cavin.

❤ ❤ ❤

Naura masuk ke dalam ruang rawat Cavin. Wanita itu tak tahu harus bereaksi seperti apa. Melihat wajah pucat di depannya itu, hati Naura menjadi sakit. Seolah ia merasakan apa yang dirasakan cowok itu. Terlebih, setelah mendengar penjelasan dokter tadi. Menurut dokter yang menangani Cavin, kemungkinan pemuda menderita sebuah penyakit. Dan Naura diminta untuk memeriksakan Cavin lebih lanjut.

Karena itulah Naura menjadi takut. Ia takut sesuatu yang buruk terjadi pada Cavin. Naura tidak mengerti. Tapi rasanya sakit, ia tak mau Cavin kenapa-napa.

Sebuah pergerakan terjadi pada Cavin. Untuk itu, Naura mendekat dan menggenggang tangan suaminya itu.

"Cavin, lo denger gue?"

Tak lama, Cavin membuka matanya. Ia melihat sekeliling, setelah itu ia mencoba dudud, namun ditahan Naura .

"Mbak, ayo pulang!" Ia menatap Naura sendu.

"Tapi Cav, lo masih lemah, kata dokter istirahat dulu."

"Mbak, please. Gue mau pulang." Muka Cavin memohon. Naura jadi tidak tega.

"Yaudah, gue tanya dokter dulu."

Naura lalu meninggalkan ruangan untuk memanggil dokter.

Cavin lalu menjambak rambutnya. Ia benar-benar muak dengan dirinya sendiri. Pasti Naura kasihan melihatnya seperti ini. Cavin tidak berharap ini semua terjadi. Ia tidak mau dipandang lemah oleh Naura.

Setelah melakukan diskusi yang panjang dengan dokter, akhirnya Naura berhasil membujuk dokternya agar mengizinkan Cavin pulang. Dengan syarat, Cavin harus segera memeriksakan tubuhnya menyeluruh. Naura mengiyakan saja, karena itu semua demi kebaikan Cavin sendiri.

Sesampainya di rumah, Naura lalu membantu Cavin berbaring di kasur mereka. Setelah itu ia menyelimuti tubuh pemuda itu.

"Istirahat dulu!" Naura tanpa sadar menyingkirkan anak rambut yang menghalangi mata Cavin.

"Maaf," ucap Cavin.

"Iya, sekarang tidur dulu, ya?"

Cavin menganggguk. Ia lalu memejamkan matanya. Jujur saja, Cavin merasa tadi dia sangat kekanakan dan berakhir menyusahkan Naura. Ia merasa bersalah. Terlebih lagi ia harus memikirkan cara agar Naura tidak mengungkit lagi perkataan dokter tadi.

Setelah Cavin tertidur, Naura langsung menuju dapur untuk membuatkan suaminya itu bubur. Dengan bahan makanan seadanya, Naura mulai meracik bubur untuk Cavin. Ia melakukannya dengan sungguh-sungguh. Tak tahu kenapa, sejak Cavin masuk rumah sakit, Naura jadi sedikit peduli.

Setelah selesai membuat bubur, Naura lalu membawa bubur tersebut ke dalam kamar. Ia meletakkan bubur tersebut di atas nakas. Setelah itu ja mengusap lembut kepala Cavin.

I'm yoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang