Bab XI

670 24 0
                                    

Akhirnya tempat yang dituju Tasya sekarang adalah rumah sakit. Berhubung sejak kemaren ayahnya tidak pulang ke rumah, Tasya memutuskan untuk mengunjunginya saja, seperti biasanya. Ia membawakan makanan kesukaan sang ayah.

Tasya tipikal anak yang sangat dekat dengan ayahnya. Itu semua bisa terjadi karena ia hanya hidup berdua dengan ayah. Ibu Tasya meninggal saat Tasya masih kecil. Karena kanker otak. Untuk itulah Tasya sangat dekat dengan ayahnya. Karena hanya ayahnya saja yang ada dihidupnya saat Tasya kecil.

Selain ayah, hanya Adit dan Cavinlah teman Tasya sejak ia SMA. Itu semua terjadi karena Cavin dan Adit pernah membantunya saat ia dibuli. Sejak saat itulah mereka bertiga jadi akrab.

Karena keseringan bertemu. Muncullah benih-benih cinta di antara mereka bertiga. Tasya menyukai Cavin, sementara Adit menyukai Tasya. Tapi mereka saling diam. Tidak mengetahuinya sama sekali.

Di perjalanan menuju ruangan ayah, Tasya melihat suster Vera, kenalannya. Ia lalu mengikuti langkah suster Fera. Karena suster Fera adalah teman baik ayahnya.

Ternyata suster Fera masuk ke dalam ruangan VVIP, untuk itu Tasya mengurungkan niatnya untuk ikut.

Saat hendak pergi, Tasya begitu terkejut melihat siapa yang berada di ruangan VVIP tersebut. Orang yang selama ini ia cari. Tasya melihat orang yang tak lain adalah Cavin itu berbincang dengan suster Fera. Dilihat dari kondisinya, Cavin adalah pasien karena menggunakan infus.

Tasya memutuskan menunggu suster Fera di depan ruangan Cavin. Biar bagaimanapun, ia tak boleh asal masuk saja, apalagi ruangan Cavin itu ruangan VVIP. Ia harus mengikuti peraturan rumah sakit.

Tasya langsung mendekati suster Vera saat ia keluar dari ruangan Cavin.

"Itu pasien VVIP sakit apa Sus?" tanya Tasya membuat suster Fera kaget.

"Astaga Tasya, saya hampir jantungan!"  ucap suster Fera yang tak menyadari kehadiran Tasya.

"Maaf suster, hehhe," ucap Tasya terkekeh.

"Itu pasien ayah kamu. Kanker otak. Lusa mau operasi."

Tasya terkejut. Tubuhnya dengan reflek berhenti berjalan. Membuat suster Fera mengerti.

"Kamu kenal?" tanya suster Fera hati-hati.

Tasya mengangguk. Air matanya mengalir deras.

"Jangan-jangan, dia yang kamu ceritain itu?"

Lagi-lagi Tasya mengangguk. Suster Fera lalu membawa Tasya ke dalam pelukannya.

"Sabar sayang!" Suster Fera berusaha menenangkan Tasya.

Tasya mengangguk. Ia mengeratkan pelukannya kepada suster Fera.

"Tapi Tasya, bukannya dia udah,"

"Aku tahu Sus, dia sudah menikah!"

Suster Fera bingung. Tapi ia tetap menenangkan Tasya. Karena ia paham betul sikap anak ini kalau sudah menangis. Ia akan sangat manja. Suster Fera tak menyangka orang yang dicurhati Tasya selama ini adalah pasiennya sendiri. Dunia benar-benar sempit.

❤ ❤ ❤

Hari ini Naura datang ke kantor. Ia datang bukan untuk bekerja, melainkan untuk mengundurkan diri. Naura memutuskan untuk mengundurkan diri karena dua alasan. Yang pertama karena kehamilannya. Naura hamil, ia baru tahu hal itu. Awalnya ia mengira dirinya masuk angin, namun karena sudah beberapa hari ia tetap mual dan muntah Naura baru menyadari kalau ia telat datang bulan. Karena sudah pernah melakukan "itu" bersama Cavin, ia memutuskan untuk memeriksakan dirinya bersamaan dengan Cavin di rumah sakit. Dan hasilnya Naura positif hamil.

Kalau boleh jujur, sebenarnya Naura belum siap dengan kehamilannya. Alasannya jelas, Cavin sedang sakit. Naura ingin fokus dengan kesehatan suaminya itu. Ia mau merawat Cavin dengan tangannya sendiri. Itu juga alasan keduanya untuk mengundurkan diri. Demi kesembuhan Cavin.

Namun nasi sudah menjadi bubur. Naura hamil. Jadi dia juga harus bersyukur. Biar bagaimana, janin yang ada di perutnya itu adalah buah cintanya dengan Cavin. Naura sangat menyayanginya. Jadi, Naura akan menjaganya seperti ia menjaga Cavin.

Naura telah selesai dengan urusannya di kantor. Ia bermaksud untuk kembali ke rumah sakit. Namun, langkahnya dihadang Bara. Pemuda itu tiba-tiba saja berdiri di depannya. Membuat Naura hampir menabraknya. Naura menatap lelaki yang belakangan sering merundungnya itu tajam.

"Permisi Pak Bara. Kita sudah tidak ada urusan lagi!" ucap Naura dingin.

Namun bara tidak menggubris. Ia menatap Naura dengan tatapan terluka.

"Nau, kenapa kamu ngelakuin ini?" ucap Bara sendu.

Naura jengah. Ia ingin buru-buru ke rumah sakit.

"Please Bar. Gue mau pergi!"

Naura melanjutkan langkahnya. Ia terlalu malas untuk berdebat.

"Kenapa kamu korbankan masa depan kamu demi lelaki penyakitan yang gak berguna itu?"

Naura mengepalkan tangannya. Perkataan Bara benar-benar keterlaluan. Ia berbalik dan menampar pipi Bara kuat.

"Jaga mulut lo ya. Yang lo hina itu suamu gue!" tunjuk Naura. Ia benar-benar marah.

"Dia cuma akan nyusahin kamu Naura. Kamu jangan bodoh!" Bara tak mau kalah.

"Jangan sok tahu. Walau dia sakit. Tapi dia gak brengsek kaya lo! Dasar picik!"

Naura lalu pergi dari sana. Perkataan Bara benar-benar membuatnya marah. Ia tak terima Cavin dikatakan tidak berguna. Naura benci itu. Baginya Cavin itu adalah segalanya. Jadi tak ada yang boleh berkata buruk tentangnya. Termasuk Bara sekalipun.

Naura memijit pelipisnya, setelah itu ia mengelus perutnya yang masih rata itu.

"Kita harus kuat ya Nak. Demi papa."

Naura menghela napas. Setelah itu ia masuk ke dalam mobil. Ia tersenyum tipis. Cavin tidak boleh tahu kalau ia sedang sedih.

❤ ❤ ❤

Cavin mengerjapkan matanya. Ia tertidur selagi menunggu Naura pulang dari kantor. Cavin mengambil ponselnya dan melihat jam. Sudah pukul lima sore. Dan Naura belum juga kembali. Cavin merasa khawatir karena Naura pergi sendiri. Ditambah wanita itu saat ini sedang mengandung anaknya.

Cavin berniat menghubungi istrinya itu  namun, tiba-tiba seseorang masuk ke dalam ruang rawatnya. Cavin tersenyum. Ia menyangka itu Naura. Namun senyumnya luntur saat orang yang masuk itu bukan Naura melainkan Tasya. Senyum Cavin seketika luntur.

Tasya tersenyum. Ia lalu mendekat ke arah ranjang rawat Cavin.

"Hai," ucap Tasya pelan.

Cavin tersenyum sekilas. Kemudian membalas sapaan Tasya.

"Kenapa lo ada di sini?" taya Cavin. Ia masih bingung.

"Aku adalah anak dokter yang menangani kamu."

Cavin tak tahu harus bereaksi seperti apa. Niat hati menyembunyikan semuanya kandas. Ternyata Tasya adalah anak dari dokter yang selama ini menanganinya.

"Kenapa kamu nggak cerita sama kita Vin?" Mata Tasya berkaca-kaca. Sepertinya sebentar lagi gadis itu akan menangis.

"Buat apa?" Cavin bingung. Ia tak sadar dengan apa yang ia ucapkan.

"Segitu nggak pentingkah aku Vin?" Air mata Tasya jatuh. Hatinya terluka mendengar ucapan Cavin itu.

"Sya, jangan gini, oke. Gue minta maaf kalau udah nyakitin lo Sya. Tapi sumpah, gue nggak nggak bermaksud nyakitin lo, gue ...."

"Gue suka sama lo Vin," Tasya tiba-tiba saja memeluk Cavin. Membuat Cavin tak sempat mengelak.

"Sya, gue udah punya istri. Jangan gini!"

"Gue nggak peduli. Gue sayang sama lo. Dan gue mau lo pisah sama istri lo!"

Cavin berusaha berontak. Namun, karena tubuhnya masih lemah, tenaganya kalah kuat dari Tasya.

"Sya, jangan!'

"CUKUP!"

I'm yoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang