Bab X

811 27 0
                                    

Sesuai dengan rencana semula. Akhirnya Cavin  merencanakan operasi yang akan dilakukannya dengan dengan dokter. Ia ditemani Naura sesuai keinginannya. Hanya Naura. Cavin tidak mau merepotkan keluarganya lebih banyak. Cukup Naura. Wanita yang paling ia butuhkan saat ini. Dari awal mula sampai di rumah sakit sampai sekarang, ia selalu menggenggam tangan Naura. Sampai-sampai tangan Naura kebas. Tapi Cavin terlalu gugup. Hanya itu yang bisa menenangkannya saat ini.

"Jadi saudara Cavin, kita bisa melakukan operasi lusa. Untuk itu mulai malam ini saudara sudah bisa tinggal di rumah sakit."

Cavin hanya diam. Ia terlalu gugup hingga tak mampu berkata.

"Setelah operasi, apa suami saya bisa sehat kembali dok?" tanya Naura yang disertai anggukan Cavin.

"Operasi yang dilakukan mungkin tidak langsung mengangkat semua sel kanker di tubuh pasien. Mungkin hanya 70 persen. Mengingat kanker saudara Cavin terletak di area sulit dijangakau. Setelah operasi mungkin masih narus melakukan beberapa kali radiasi dan kemoterapi agar hasilnya lebih efektif. Jadi saudara Cavin harus menyiapkan mental untuk semua ini."

Cavin menguatkan genggamannya pada Naura. Pemuda itu berkeringat dingin. Melihat hal itu, Naura lalu mengelus punggung tangan suaminya itu untuk menguatkan Cavin.

"Tapi operasinya mungkin beresiko."

Naura dan Cavin saling pandang. Berusaha menguatkan satu sama lain.

"Apa resikonya dok?" tanya Naura.

"Mungkin ini akan berpengaruh pada fisik pasien. Pasien bisa jadi hilang ingatan atau kehilangan kemampuan untuk berjalan. Namun, kita belum tahu pasti. Mudah-mudahan ini tidak terjadi."

Cavin terkejut. Tidak menyangka semuanya akan terjadi. Ia tiba-tiba saja berdiri.

"Saya tidaka jadi operasi dok!" Ia lalu meningggalkan ruangan dokter begitu saja.

Melihat hal itu, Naura segera mengejar Cavin setelah meminta maaf pada dokter. Ia juga terkejut bahkan syok berat. Ia tahu Cavin sangat takut. Sama seperti dirinya.

Naura melihat Cavin tengah duduk disebuah bangku. Tak jauh dari sana ia melihat beberapa anak yang duduk di atas kursi roda. Naura bisa tebak itu adalah pasien kanker seperti Cavin. Tapi kondisinya jauh lebih memprihatinkan. Dengan rambut plontos dan muka pucat. Bahkan ada yang menggunakan alat bantu pernafasan. Naura melihat Cavin yang sedang memperhatikan ke mereka. Naura mendekat. Ia lalu duduk samping suaminya itu.

"Kenapa?" tanya Naura lembut.

Cavin yang sadar mengalihkan perhatiannya. Ia menatap Naura sendu.

"Aku lemah ya?" Mata Cavin berkaca-kaca.

Naura menggeleng. Ia menghapus setetes air mata yang jatuh di sudut mata suaminya itu.

"Siapa bilang kamu lemah Vin?"

Cavin menggenggam tangan Naura.

"Aku takut lupa sama kamu Nau. Aku nggak mau."

Naura tersenyum. "Kamu lihat mereka?" ucapnya.

Cavin mengangguk.

"Mereka berjuang Vin. Lihat mereka masih bisa ketawa dengan keterbatasannya. Aku mau kamu seperti itu. Aku mau kamu berjuang untuk sembuh. Demi aku dan ini." Naura menunjuk ke arah perutnya.

"Maksud kamu?" ucap Cavin bingung.

"Sekarang bukan cuma aku yang butuh kamu Vin. Tapi kami." Naura mengelus lembut perutnya.

Cavin terdiam. Tangisnya pecah. Ia merasa bersalah kepada Naura.

"Maaf," ucapnya pelan.

"Aku bahagia Vin. Kenapa kamu minta maaf?" Naura menyenderkan kepalanya di bahu Cavin.

I'm yoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang