Bab XVII

590 22 0
                                    

Dua minggu sudah setelah Cavin dan naura kehilangan buah hati mereka. Semenjak itu juga, Cavin sangat overprotective terhadap istrinya itu. Cavin sangat memanjakan Naura dan selalu memenuhi keinginan wanita itu. Seperti saat ini, Naura ingin sekali untuk pergi ke tempat kerja Cavin. Ia ingin melihat Cavin melayani pembeli. Dan Cavin tidak bisa menolaknya. Cavin memberikan pesanan ke meja pelanggan yang terdiri dari beberapa cewek cantik yang seoertinya seumuran dengan pemuda itu. Tahu sendiri kalau cewek dihadapi dengan cowok seganteng Cavin, siapa yang tidak meleleh. Mereka bahkan menggoda Cavin secara terang-terangan.

Melihat hal itu, Naura terbakar api cemburu. Ia memperhatikan dirinya di cermin. Seketika ia menjadi rendah diri. Ia merasa ia seperti kakak bagi Cavin. Naura kesal, ia marah kepada suaminya itu.

"Silakan dinikmati," Cavin meninggan para gadis tadi dan kembali menuju tempat dimana Naura menunggunya.

Cavin tersenyum cerah, namun dibalas dengan tampang masam Naura. Pemuda itu tidak marah. Ia malah terkekeh dan memeluk Naura dimuka umum. Membuat para gadis yang tadi menggodanya mendesah kecewa. Melihat perlakuan Cavin yang seperti itu, membuat pipi Naura bersemi. Ia memukul pelan punggung Cavin.

"Nakal," ucapnya.

Cavin melepaskan pelukannya dan mencubit pelan pipi Naura, "kenapa istriku," balasnya.

Naura mengerucutkan bibirnya. Ia lalu menarik Cavin duduk di sampingnya.

"Kamu nggak boleh lagi layanin pelanggan," ucapnya ketus.

"Kenapa sih, sayang? Tadi kan kamu yang nyuruh aku?"

"Pokoknya nggak boleh! Ayo kita pulang!"

Cavin menggelengkan kepalanya. Kemudian ia mengikuti langkah Naura. Cavin tidak marah bahkan kesal kepada Naura. Karena itu semua belum sebanding dengan apa yang telah dilakukan Naura ketika dirinya sakit dulu. Bahkan jika Cavin memberikan semua yang dimilikinya saat ini sepertinya itu semua belum cukup. Jadi Cavin berjanji, ia akan membahagiakan Naura di sisa hidupnya.

❤❤❤

Rencana awal mereka untuk pulang ke rumah itu dibatalkan. Karena Cavin akhirnya memutuskan ke rumah sakit untuk memeriksakan kondisi Naura sekaligus memeriksa kapan kiranya mereka bisa memiliki anak lagi .

Setelah antre selama setengah jam, akhirnya giliran mereka berdua. Cavin dan Naura langsung melakukan pemeriksaan. Kenapa mereka berdua melakukan pemeriksaan sekaligus, karena biar bagaimanapun Cavin itu masih pasien kanker. Ia ingin mengetahui apakah ia masih bisa memberikan anak kepada Naura atau tidak.

Setelah selesai, mereka berdua duduk di depan dokter yang tadi memeriksa mereka. Cavin menggenggam erat tangan Naura. Ia terlihat cemas, begitu pun sebaliknya. Tapi Naura masih bisa mengendalikan dirinya. Tidak seperti Cavin yang memang terlihat sangat tegang. Naura tersenyum, kemudian mengangguk . Tanda ia memberi sinyal, kalau semua pasti akan baik-baik saja.

"Baiklah, berdasarkan pemeriksaan yang kami lakukan tadi, Ibu Naura dalam kondisi normal tidak ada masalah apapun. Melihat dari kondisinya saat ini, kemungkinan dalam waktu dekat bisa kembali hamil,"

Naura dan Cavin tersenyum. Mereka bersyukur kalau Naura baik-baik saja.

"Tapi,"

Perasaan tenang tadi berubah menjadi kecemasan, ketika dokter menambahkan sebuah kata setelah kalimat bahagia tadi.

"Ketika pemeriksaan terhadap Bapak Cavin dilakukan, air mani yang dikeluarkan bapak Cavin dalam keadaan steril."

Cavin seperti disambar petir mendengar penjelasan dokter. Rasanya  tubuhnya seperti tidak bertulang. Apalagi ketika ia melihat Naura yang sudah menangis. Membuat rasa bersalahnya kembali.

"Mungkinkah sebelumnya bapak Cavin melakukan perawatan seperti kemotapi atau perawatan lainnya?" tanya dokter lagi.

Cavin hanya diam. Ia tak menjawab pertanyaan dokter spesialis kandungan tersebut.

"Suami saya pasien kanker dokter," jawab Naura.

"Pantas saja. Ini semua wajar bagi pasien kanker."

"Apakah masih ada kemungkinan kamu memiliki anak dokter?" tanya Naura lagi.

Dokter tadi menghela napasnya berat. Membuat Cavin tambah yakin dengan apa yang ada di pikirannya. Ia menunduk. Tidak sanggup bahkan untuk bertatapan muka dengan istrinya itu.

"Saya mohon maaf, tapi kemungkinan besar bapak Cavin tidak bisa memiliki keturunan lagi."

Cavin membeku. Ternyata apa yang ditakutkannya tadi benar adanya. Ia tak bisa lagi memiliki keturunan. Cavin benar-benar merasa bersalah. Pemuda itu lalu keluar begitu saja dari dalam ruangan. Ia tak menghiraukan Naura yang memanggil namanya. Rasanya dunia Cavin seperti runtuh. Ia merasa tidak berguna sekarang.

Melihat hal itu, Naura langsung mengejar suaminya itu. Ia tahu sekali saat ini Cavin sedang kalut. Pemuda itu pasti menyalahkan dirinya sendiri. Naura berlari dengan cepat. Tapi ia kalah cepat. Cavin sudah menaiki mobilnya dan melajukannya dengan kecepatan penuh. Melihat hal itu, Naura hanya bisa menangis. Ia takut terjadi sesuatu dengan Cavin.

❤❤❤

Cavin kembali menuju club malam tempat ia pingsan dulu. Ia langsung memesan minum beralkohol yang selama ini sudah ia tinggalkan. Pikiran Cavin saat ini sudah kalut. Ia tak bisa berpikir jernih. Untung saja, pada saat itu, Adit berada di sana. Ia melihat Cavin sedang minum langsung dari botolnya, untuk itu, ia langsung menghampiri pemuda itu untuk menghentikannya.

"Cavin, lo gila ya?" Adit merebut botol tersebut dari tangan Cavin.

Melihat seseorang menghentikannya, Cavin marah. Ia langsung memukul Adit.

"Cavin, sadar!" bentak Adit.

Cavin menyadari suaranya. Ia menghentikan pukulannya.

"Dasar brengsek!" ucap Cavin memukul wajahnya sendiri.

Adit yang melihat hal itu kembali menghentikan Cavin kembali.

"Sadar anjing! Lo kenapa sih?" Adit menampar pipi Cavin cukup kuat. Untuk membuat pemuda itu sadar.

Cavin terdiam. Kemuduan pemuda itu malah menangis. Melihat mereka yang sudah jadi bahan tontonan, akhirnya Adit membawa Cavin keluar dari sana. Ia memutuskan membawa Cavin ke apartemennya.

Setibanya di apartemen, Adit langsung membawa Cavin masuk ke kamarnya dan menidurkan pemuda itu di atas kasur. Adit juga membantu Cavin mengganti baju.

Beberapa saat, tiba-tiba tubub Cavin menggigil hebat, Adit panik. Ia tidak tahu harus melakukan apa. Ia menempelkan pungung tangannya di kening Cavin. Panas sekali. Karena tidak bisa mebgurus orang sakit, akhirnya Adit menghubungi Tasya. Ia tidak memiliki nomor istri Cavin.

Tak sampai setengah jam, Tasya akhirnya sampai di apartemen Adit. Ia langsung masuk ke dalam kamar, melihat kondisi Cavin. Tasya langsung menempelkan plester penurun panas di dahi Cavin. Setelah itu ia mengeluarkan ponselnya dan menelpon seseorang.

"Telpon siapa?" tanya Adit penasaran.

"Naura," jawabnya.

Adit tersenyum. Ia bangga kepada Tasya. Gadis itu sudah menyadari kesalahannya terdahulu. Melihat Tasya yang sekarang  membuat jantung Adit berdetak tak karuan.

Tepat setengah jam setelahnya, Naura juga datang. Ia langsung dipersilakan masuk untuk melihat kondisi Cavin.

Ia melihat suaminya itu tertidur dengan gelisah dengan plester penurun demam tertempel dahi. Air mata Naura tumpah. Cavin pasti menyalahkan dirinya sendiri atas kejadian tadi siang. Naura mendekat, ia lalu mengusap pelan rambut Cavin.

"Sayang, bangun!" ucap Naura pelan.

Merasa terusik, Cavin akhirnya membuka mata. Menyadari Naura ada dihadapannya, Cavin langsung membawa gadis itu ke dalam pelukannya.

"Maaf," ucapnya pelan.

"Itu sebabnya aku nggak mau kamu ajak ke dokter kandungan Vin. Aku tahu kamu pasti akan nyalahin diri sendiri."

I'm yoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang