Anka Bukan Angka

138 16 20
                                    

Dalam setiap kenyataan yang ada, malaikat maut selalu mengintai manusia dari segala sisi, menentukan waktu yang tepat dari Rabb-Nya kapan nyawanya diambil tanpa ada kata maju atau pun mundur.

Gadis berjilbab hijau itu tersenyum seakan mengucapkan selamat tinggal pada dunia yang telah memberikan warna dalam hidupnya.

Ayah, Ibu ... aku pamit, aku akan pulang kepada Sang Pemilik Hidup dengan tenang, selamat tinggal. Laa illaha ilallah ...

Tubuh gadis itu terjun bebas dari sebuah balkon dan dengan keras menghantam tanah tanpa beban. Darah segar mengalir dari kepalanya.

☆☆☆

Cinta. Aku tidak mengerti, mengapa cinta tercipta. Mengapa cinta seakan diagungkan semesta. Mengapa cinta yang tak nyata itu dapat dirasa semua orang di seluruh dunia? Lalu, mengapa aku tidak? Apa aku bukan bagian dari semesta ini? Jangan-jangan, aku seorang alien yang menyusup di galaksi Bima Sakti. Ups! Seharusnya aku tak mengatakannya. Tidak, tidak, aku bukan alien, entahlah, mungkin saja aku belum menemukan saja cinta yang digambarkan orang kalau cinta bisa membuat siapapun gila akalnya itu. Memangnya, siapa yang akan mencintaiku? Dan, siapa yang akan kucintai? Apa dia ada? Jika iya, di mana dia berada? Sehat kah dia? Tampan kah dia? Apa dia juga tengah bertanya-tanya tentangku?

Garis senyum tergaris di bibir gadis berjilbab hijau usai membaca narasi yang tertuang di novel berjudul "Ranah Cinta Almeera" besutan penulis bernama Anka Bukan Angka.

"Bagaimana orang ini bisa merangkai kata semanis ini? Aku ingin sekali berjumpa dengannya suatu hari nanti, andai saja Ayah tidak membuat rencanaku berantakan, pasti aku bisa bertemu dengan Anka." Dia menghela napas kesal, meletakkan kembali novel bersampul ungu tersebut di meja.

Tatapannya terarah ke luar jendela yang mulai dihinggapi cahaya matahari usai hujan mengguyur sejak pagi.

"Anka Bukan Angka." Tiba-tiba dia menyebut nama itu dengan senyuman terkesan. "Pasti dia laki-laki yang romantis. Bagaimana wajahnya? Apa dia setampan Satria yang dia gambarkan dalam novelnya? Ah, pasti dia sangat tampan rupawan, aku yakin."

Muara membuka laman Instagram-nya dan mengetik nama Anka Bukan Angka. Tak lama muncullah akun milik penulis favoritnya.

"Dari fotonya, dia kelihatan tampan, walaupun dia selalu mengenakan masker, dari matanya saja aku bisa melihat aura ketampanan, kebaikan yang ada padanya. Tapi, mengapa dia selalu menyembunyikan identitas dirinya? Bahkan, saat live Instagram, dia tak pernah berbicara, dia lebih suka penonton menonton tulisan yang dia ketik di laptop. Apa alasan dia seperti itu? Masak iya dia tak mau bicara karena suaranya cempreng? Lalu, dia mengenakan masker karena wajahnya jelek? Sepertinya tidak mungkin."

Muara membuka jendela yang sejak pagi belum dia buka. Ketika jendela itu dibuka, aroma hujan menyeruak ke penjuru kamar. Muara menggosok-gosokkan telapak tangan ke kedua lengan.

"Aku akan sangat merindukan tempat ini di rumah baru nanti. Sebenarnya, aku tidak ingin pindah, aku sudah nyaman di sini." Telapak kaki Muara menyentak lantai. "Aku sampai tak paham, mengapa Ayah selalu meminta kami pindah-pindah, memangnya ini masih zaman nomaden? Rasanya, aku ingin tinggal, terserah Ayah dan Ibu mau pergi."

"Yakin kau ingin tinggal?"

Muara menoleh ke belakang, tepat ke laki-laki yang tengah rebahan di tempat tidur.

"Kakak tak yakin kau bisa di sini sendiri," ucap laki-laki yang masih asyik memainkan jari di ponsel, menyusun strategi untuk memenangkan laga permainan PUBG.

"Aku sangat ingin tinggal, kau tahu Anka, bukan?"

Fathur mem- pause permainannya, meletakkan ponsel di pangkuan. "Anka siapa?"

Ankara Muara [NOVELET]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang